Senin, 23 Februari 2015

Problem Agenda Anti Korupsi Sekarang

Problem Agenda Anti Korupsi Sekarang

Muhammad Ridha  ;  Mahasiswa di Murdoch University, Australia;
Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
INDOPROGRESS, 20 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

JOKOWI telah menetapkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru dan membatalkan untuk melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Beberapa kalangan menganggap Keputusan ini diambil Jokowi untuk menyelesaikan masalah perseteruan antar lembaga Negara terkait dengan penetapan calon Kapolri. Tidak heran jika bagi orang kebanyakan, langkah yang ditempuh Jokowi merupakan langkah yang tepat untuk menyelesaikan konflik antara KPK melawan Polri, sekaligus untuk menyukseskan agenda anti korupsi di era pemerintahan Jokowi.

Akan tetapi kita perlu mengajukan satu pertanyaan sederhana namun mendasar, apakah langkah ini akan mampu memberikan fondasi yang diperlukan untuk menyelesaikan penyakit korupsi di negara ini?

Di sini kita perlu lebih kritis dalam melihat konteks politik kelembagaan yang ada sekaligus hubungannya dengan antusiasme spontan masyarakat yang bergerak dalam isu anti korupsi itu sendiri. Momen konflik antar lembaga Negara yang menganggap dirinya memiliki agenda anti korupsi yang sama, bukanlah sesuatu yang baru. Masih belum hilang dari ingatan kita dimana pada masa pemerintahan SBY, konflik KPK-Polri, “Cicak vs Buaya”, terjadi kerena benturan kepentingan antar pimpinan institusi Negara.

Walau kita dapat menemukan beberapa detail perbedaan dari konflik KPK-Polri di masa SBY dan Jokowi, namun semuanya berakar dari problem politik kelembagaan yang sama: bahwasanya institusi anti-korupsi yang ada bukanlah entitas yang sepenuhnya bebas dari kepentingan tertentu. Terdapat relasi kekuasasan yang ikut membentuk operasi kerja institusi tersebut. Konflik kepentingan antara KPK-Polri memang sangat kentara. Kepentingan-kepentingan inilah yang kemudian mendefinisikan pada bagaimana agenda anti korupsi itu dijalankan.

Bagi beberapa kalangan ‘ahli’ yang biasa muncul di media arus-utama, pembacaan ini bukanlah sesuatu yang dominan. Dengan berangkat dari asumsi ‘seharusnya’, orang-orang yang mengelola institusi harus selalu diandaikan memiliki kapasitas moral tertentu. Di sini, moral kemudian dinilai dengan timbangan baik buruknya. Implikasinya, upaya untuk memahami konflik didegradasi pada bagaimana kita memahami baik-buruk moral aktor-aktor yang ada dalam institusi. Mereka yang dianggap baik dipandang harus dibela dan sebaliknya, yang bermoral buruk menjadi musuh bersama.

Tidak heran jika pembacaan ini mengondisikan produksi serta reproduksi informasi besar-besaran yang sebatas untuk menjelaskan dan mengajukan argumen mengenai siapa pihak yang dianggap sebagai figur baik yang dengan demikian perlu didukung dalam agenda politik anti korupsi. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahuai, kategori moral adalah kategori yang sifatnya relatif-kontekstual. Disinilah akhirnya alih-alih menjadi jangkar penegetahuan yang dibutuhkan dalam memahami konflik seputaran anti korupsi, moralisme justru selalu berujung pada kegagalan untuk membaca secara serius konflik yang terjadi. Banjir Informasi yang tadinya diharapkan menjadi pegangan untuk membangun agenda anti korupsi, justru menjadi alat distraksi serta disorientasi massal.

Kebingungan massal ini menyebabkan hukum formal dianggap sebagai satu-satunya hal yang dapat dipegang karena karakter kepastian positivistik-nya. Disinilah kita menemukan bagaimana argumen moralis menemui ujung implikasinya pada terjadinya formalisme hukum dalam agenda anti korupsi. Mungkin ada kesan ‘beradab’ dari kanalisasi konflik melalui hukum karena dianggap konflik yang ada dapat dinilai dari aturan main yang sah. Tapi pandangan ini adalah sebuah jebakan. Karena apa yang terjadi adalah kebalikannya; hukum yang telah tersedia dapat dibengkokan sedemikian rupa oleh mereka yang memiliki kepentingan dalam konflik itu sendiri. Disinilah terjadi hal yang paling absurd namun berlaku umum dalam masyarakat kita, aturan hukum dapat dipermainkan seenaknya.

Formalisme agenda anti korupsi memiliki konsekuensi lebih jauh dari sebatas pembengkokan aturan. Ia membatasi (atau bahkan menghalangi) mereka yang paling punya kepentingan dari anti korupsi itu sendiri, yakni kalangan publik luas. Jika korupsi secara minimal dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang diberikan rakyat demi kepentingan pribadi, maka agenda anti korupsi adalah pada dasarnya agenda politik rakyat. Namun dalam formalisme hukum, kepentingan rakyat seakan direduksi pada sebatas penonton saja dalam perjuangan anti korupsi, karena mau tidak mau rakyat harus menunggu proses hukum yang sedang terjadi.

Yang perlu diperiksa lebih jauh dari kondisi ini adalah mengapa situasinya begitu tidak terelakkan? Kembali ke gagasan awal saya mengenai pentingnya melihat dinamika relasi kuasa dalam agenda anti korupsi, setidaknya ada dua argumen yang penting untuk dimunculkan guna keluar dari kebuntuan yang ada. Yang pertama, dan terus menerus dikemukakan oleh banyak penulis di IndoPROGRESS, adalah mengenai pengaruh oligarki dalam agenda anti korupsi itu sendiri. Dominasi jejaring kekuasaan oligarki mampu untuk mensubordinasi agenda anti korupsi dalam kerangka kepentingan mereka. Apa yang dikenal sebagai ‘masyarakat sipil’ dengan agenda anti korupsi, bukanlah wadah yang kosong dari kepentingan. Ia justru menjadi ruang bagi kontestasi kepentingan oligarki itu sendiri dan dengannya agenda anti korupsi versi oligarki dapat dibangun. Yang kedua adalah dengan melihat penetrasi ideologi neoliberalisme yang secara terus menerus mengintrusi agenda anti korupsi itu sendiri. Pada sebatas memahami anti-korupsi sebagai bagian dari diskursus ‘good governance’, neoliberalisme justru telah mengorupsi agenda anti-korupsi itu sendiri. Korupsi neoliberalisme terhadap agenda anti-korupsi terjadi dalam dua tingkatan; pada tingkatan pertama, pemberantasan korupsi dilokalisir pada sebatas pengelolaan kelembagaan yang baik (yang dengannya formalisme hukum menjadi narasi utamanya); di tingkatan yang kedua, neoliberalisme menghilangkan politisasi rakyat yang diperlukan untuk berperan aktif dalam agenda anti-korupsi itu sendiri. Bukan sebagai komentator aktif, tapi juga sebagai pencipta agenda anti korupsi sendiri.

Pada tingkatan praktis, kelit-kelindan antara oligarki dan neoliberalisme inilah yang menyebabkan terjadinya tebang pilih dalam penyelesaian kasus korupsi di Indonesia. Mengapa satu kasus korupsi lebih dipilih untuk dibuka dibandingkan dengan yang lain. Mengapa kasus korupsi bupati di daerah-daerah lebih dominan dibandingkan kemungkinan kasus korupsi yang melibatkan korporasi tambang dan juga perusahaan-perusahaan penyedia layanan outsourcing? Mengapa kasus mega korupsi seperti BLBI tidak pernah diangkat sampai sekarang? Saya tidak mengatakan bahwa satu kasus lebih penting dibanding yang lain. Yang ingin ditekankan di sini justru yang membangun agenda anti korupsi itu bukanlah rakyat yang selama ini menjadi korban dari tindakan korup elit-elitnya. Rakyat tidak berdaya karena tidak memiliki kapasitas politik yang diperlukan untuk membangun agenda politik anti-korupsinya sendiri.

Tawaran Irwansyah (2015) mengenai perlunya cara bergerak alternatif merupakan posisi yang perlu ditindaklanjuti. Operasi nyata kekuasaan oligarki serta penetrasi halus neoliberalisme adalah problem mendasarnya, sehingga itu gerakan rakyat perlu mengevaluasi cara bergerak mereka dalam mendorong agenda anti korupsi. Gerakan anti korupsi yang sporadik-moralis tidak lagi mencukupi. Diperlukan pembangunan kekuatan rakyat yang nyata, yang mendasarkan dirinya untuk menentang secara strategis dominasi oligarki beserta ilusi neoliberalisme yang menyertainya. Hanya dengan inilah kita dapat keluar dari gejala kebuntuan akut agenda anti korupsi yang tengah terjadi sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar