Koin untuk Australia
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Uniiversitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
|
SUARA
MERDEKA, 26 Februari 2015
KETEGANGAN
hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia makin serius menyusul aksi ”Gerakan
Koin untuk Australia” yang digalang masyarakat Aceh pada khususnya dan
Indonesia pada umumnya.
Gerakan
itu mereaksi pernyataan PM Tony Abbott yang mengungkit bantuan kemanusiaannya
senilai 1 miliar dolar AS kepada masyarakat Aceh sewaktu bencana tsunami pada
26 Desember 2004.
Gerakan
mengumpulkan mata uang Indonesia berbentuk koin untuk Australia itu sebagai
ungkapan ketersinggungan harga diri bangsa Indonesia terhadap pernyataan
Abbott. Masyarakat Indonesia tentu ingin bantuan kemanusiaan dari Negeri
Kanguru satu dasa warsa lalu tersebut diberikan atas dasar ketulusan semata,
bukan karena pamrih.
Maka,
sangatlah tidak wajar dan tidak manusiawi ketika pemerintah Australia di
bawah koalisi Partai Liberal- Nasional pimpinan PM Abbott mengungkitnya.
Terlebih mengaitkan bantuan tersebut dengan rencana pemerintah kita
mengeksekusi mati dua terpidana mati warga Australia (Myuran Sukamaran dan
Andrrew Chan) terkait dengan kasus narkoba.
Apa
substansi pesan dari ”Gerakan Koin untuk Australia” itu khususnya bagi
pemerintahan Jokowi-JK? Gerakan itu secara eksplisit memberikan pesan
dukungan penuh moral ataupun material bagi publik Aceh dan Indonesia berkait
keputusan pemerintah menghukum mati duo Bali Nine itu.
Mereka
berharap pemerintah tidak gentar, tidak ciut nyali, menghadapi diplomasi
agresif dan membabi-buta Australia tersebut. Kita tahu dalam upaya
membebaskan dua warganya, pemerintahan Abbott melakukan diplomasi secara
berlebihan.
Selain
melakukan diplomasi standar, dalam arti melakukan lobi-lobi serius, Canberra
juga meminta Sekjen PBB Ban Ki-moon ikut menekan Jakarta supaya tidak
melaksanakan eksekusi mati terhadap narapidana kasus narkoba yang sudah
divonis mati, termasuk duo Bali Nine tadi. Di luar itu, pemerintahan Abbott
tampak sengaja menggerakkan sentimen dalam negeri guna turut serta ”bermain”
melalui jaringan media sosial dalam upaya penyelamatan duo Bali Nine itu.
Di
media sosial akhir-akhir ini merebak aspirasi publik Australia mengecam
rencana eksekusi mati atas Sukamaran- Chan dan mendukung diplomasi Abbott
untuk menyelamatkannya. Wujud dukungan lebih konkret mereka mengancam
memboikot wisata Indonesia pada umumnya dan Bali khususnya.
Sungguh
kelewatan, dalam peristiwabilateral menyangkut kejahatan narkoba, Abbott
membawa-bawa pemimpin PBB untuk mengintervensi kedaulatan hukum domestik
Indonesia dan ”menstimulus” warganya untuk memboikot wisata Indonesia demi
pembebasan dua warga negaranya yang akan dieksekusi mati lantaran kejahatan
narkoba itu.
Dongkrak Popularitas
Padahal
vonis mati terhadap dua warga negara Australia tersebut nyatanyata tidak
melanggar hukum internasional. Kendati hal itu juga dikaitkan dengan International Covenant on Civil Political
Rights (ICCPR) yang mengandung pesan untuk menghapus hukuman mati
sekalipun, sebagaimana ”Tajuk Rencana” harian ini, edisi 16 Februari 2015.
Sebegitu
berartikah duo Bali Nine bagi masyarakat Australia hingga mereka
habis-habisan membelanya? Bagi publik Australia, duo Bali Nine itu memiliki
arti sebatas sebagai manusia. Jadi, upaya untuk membebaskannya dari eksekusi
mati tak lebih dari motif kemanusiaan semata.
Tetapi
bagi pemerintahan Abbott, di balik upayanya yang mati-matian tadi terselip
motif politik berupa keinginan besarnya untuk kembali mengatrol
popularitasnya di dalam negeri yang belakangan ini menurun tajam. Kemenurunan
popularitasnya itu akibat sejumlah kebijakan domestik yang tidak populer,
semisal pemangkasan anggaran perguruan tinggi negeri dan gaji dokter
pemerintah.
Itu
sebabnya, Abbott mendapat mosi tidak percaya justru dari partainya sendiri.
”’Masih untung” dalam sidang internal Partai Liberal pada 9 Februari 2015,
dia lolos dari mosi tidak percaya dengan perbandingan suara 39 menolak dan 61
mendukungnya guna melanjutkan menduduki kursi perdana menteri. (SM, 10/2/15).
Dalam
pandangan Abbott, andai pemerintahannya sukses menyelamatkan dua warganya
yang terancam eksekusi mati oleh Indonesia, besar kemungkinan popularitas dia
di dalam negeri bisa kembali terdongkrak dan bisa menjadi bekal berharga untuk
menghadapi pemilu mendatang.
Untuk
itu, pemerintahan Jokowi-JK tidak perlu gentar sedikit pun menghadapi
diplomasi agresif dan membabibuta pemerintahan Abbott. Kita mesti konsisten
dengan sikap tidak memberi ampun kepada terpidana narkoba dari negara mana
pun, termasuk terhadap dua warga negara Australia tersebut.
Apalagi
sudah jelas masyarakat Indonesia, sebagaimana tergambar dalam ”Gerakan Koin
untuk Australia” mendukung penuh ketegasan pemerintah mengeksekusi mati
mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar