Sabtu, 28 Februari 2015

Koin untuk Australia

Koin untuk Australia

Chusnan Maghribi ;  Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Uniiversitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 26 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

KETEGANGAN hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia makin serius menyusul aksi ”Gerakan Koin untuk Australia” yang digalang masyarakat Aceh pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Gerakan itu mereaksi pernyataan PM Tony Abbott yang mengungkit bantuan kemanusiaannya senilai 1 miliar dolar AS kepada masyarakat Aceh sewaktu bencana tsunami pada 26 Desember 2004.

Gerakan mengumpulkan mata uang Indonesia berbentuk koin untuk Australia itu sebagai ungkapan ketersinggungan harga diri bangsa Indonesia terhadap pernyataan Abbott. Masyarakat Indonesia tentu ingin bantuan kemanusiaan dari Negeri Kanguru satu dasa warsa lalu tersebut diberikan atas dasar ketulusan semata, bukan karena pamrih.

Maka, sangatlah tidak wajar dan tidak manusiawi ketika pemerintah Australia di bawah koalisi Partai Liberal- Nasional pimpinan PM Abbott mengungkitnya. Terlebih mengaitkan bantuan tersebut dengan rencana pemerintah kita mengeksekusi mati dua terpidana mati warga Australia (Myuran Sukamaran dan Andrrew Chan) terkait dengan kasus narkoba.

Apa substansi pesan dari ”Gerakan Koin untuk Australia” itu khususnya bagi pemerintahan Jokowi-JK? Gerakan itu secara eksplisit memberikan pesan dukungan penuh moral ataupun material bagi publik Aceh dan Indonesia berkait keputusan pemerintah menghukum mati duo Bali Nine itu.

Mereka berharap pemerintah tidak gentar, tidak ciut nyali, menghadapi diplomasi agresif dan membabi-buta Australia tersebut. Kita tahu dalam upaya membebaskan dua warganya, pemerintahan Abbott melakukan diplomasi secara berlebihan.

Selain melakukan diplomasi standar, dalam arti melakukan lobi-lobi serius, Canberra juga meminta Sekjen PBB Ban Ki-moon ikut menekan Jakarta supaya tidak melaksanakan eksekusi mati terhadap narapidana kasus narkoba yang sudah divonis mati, termasuk duo Bali Nine tadi. Di luar itu, pemerintahan Abbott tampak sengaja menggerakkan sentimen dalam negeri guna turut serta ”bermain” melalui jaringan media sosial dalam upaya penyelamatan duo Bali Nine itu.

Di media sosial akhir-akhir ini merebak aspirasi publik Australia mengecam rencana eksekusi mati atas Sukamaran- Chan dan mendukung diplomasi Abbott untuk menyelamatkannya. Wujud dukungan lebih konkret mereka mengancam memboikot wisata Indonesia pada umumnya dan Bali khususnya.

Sungguh kelewatan, dalam peristiwabilateral menyangkut kejahatan narkoba, Abbott membawa-bawa pemimpin PBB untuk mengintervensi kedaulatan hukum domestik Indonesia dan ”menstimulus” warganya untuk memboikot wisata Indonesia demi pembebasan dua warga negaranya yang akan dieksekusi mati lantaran kejahatan narkoba itu.

Dongkrak Popularitas

Padahal vonis mati terhadap dua warga negara Australia tersebut nyatanyata tidak melanggar hukum internasional. Kendati hal itu juga dikaitkan dengan International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR) yang mengandung pesan untuk menghapus hukuman mati sekalipun, sebagaimana ”Tajuk Rencana” harian ini, edisi 16 Februari 2015.

Sebegitu berartikah duo Bali Nine bagi masyarakat Australia hingga mereka habis-habisan membelanya? Bagi publik Australia, duo Bali Nine itu memiliki arti sebatas sebagai manusia. Jadi, upaya untuk membebaskannya dari eksekusi mati tak lebih dari motif kemanusiaan semata.

Tetapi bagi pemerintahan Abbott, di balik upayanya yang mati-matian tadi terselip motif politik berupa keinginan besarnya untuk kembali mengatrol popularitasnya di dalam negeri yang belakangan ini menurun tajam. Kemenurunan popularitasnya itu akibat sejumlah kebijakan domestik yang tidak populer, semisal pemangkasan anggaran perguruan tinggi negeri dan gaji dokter pemerintah.

Itu sebabnya, Abbott mendapat mosi tidak percaya justru dari partainya sendiri. ”’Masih untung” dalam sidang internal Partai Liberal pada 9 Februari 2015, dia lolos dari mosi tidak percaya dengan perbandingan suara 39 menolak dan 61 mendukungnya guna melanjutkan menduduki kursi perdana menteri. (SM, 10/2/15).

Dalam pandangan Abbott, andai pemerintahannya sukses menyelamatkan dua warganya yang terancam eksekusi mati oleh Indonesia, besar kemungkinan popularitas dia di dalam negeri bisa kembali terdongkrak dan bisa menjadi bekal berharga untuk menghadapi pemilu mendatang.

Untuk itu, pemerintahan Jokowi-JK tidak perlu gentar sedikit pun menghadapi diplomasi agresif dan membabibuta pemerintahan Abbott. Kita mesti konsisten dengan sikap tidak memberi ampun kepada terpidana narkoba dari negara mana pun, termasuk terhadap dua warga negara Australia tersebut.

Apalagi sudah jelas masyarakat Indonesia, sebagaimana tergambar dalam ”Gerakan Koin untuk Australia” mendukung penuh ketegasan pemerintah mengeksekusi mati mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar