Senin, 23 Februari 2015

“Obor Rakyat”, Kok Dipetieskan?

“Obor Rakyat”, Kok Dipetieskan?

Sahala Tua Saragih  ;  Dosen Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB
dan Sekretaris Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB
SATU HARAPAN, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Ketika republik ini dipimpin Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada sebuah ungkapan populer di kampus-kampus tertentu berbunyi, biarkan masalah-masalah “diselesaikan” sendiri oleh waktu. Ungkapan sinis ini lahir karena banyak sekali masalah besar yang tak pernah ditangani hingga tuntas. Pemerintah tampaknya memanfaatkan penyakit amnesia massal yang diidap rakyat negeri ini, termasuk para wartawan. Masalah-masalah besar dianggap telah selesai ketika media massa tak mengungkit-ungkitnya lagi.

Salah satu masalah serius yang dibiarkan “diselesaikan” sendiri oleh waktu adalah kasus (perkara) Obor Rakyat (OR), tabloid hitam yang menggelapi warga masyarakat, terutama para pemimpin dan santri di berbagai pondok pesantren di Pulau Jawa. Padahal kasus ini sudah sangat lama. OR terbit sejak pertengahan April lalu. Isinya penuh dengan fitnah dan hujatan kepada Joko Widodo (Jokowi), waktu itu berstatus calon Presiden. Pada edisi perdana Jokowi ditulis sebagai “Capres Boneka”. Di halaman depan edisi kedua OR ada tulisan berjudul, “PDIP Partai Salib” dan  “Pria Berdarah Tionghoa Itu Kini Capres”. Jokowi juga dituduh berasal dari Singapura dan bukan penganut Islam. Anehnya, dalam semua beritanya tak satu pun ditulis nama sumber beritanya, demikian pula nama penulis (wartawan)-nya. 

OR tidak diedarkan di pasar media massa cetak (pasar terbuka), tetapi langsung dikirimkan lewat pos ke berbagai Pondok Pesantren di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, terutama pondok-pondok Pesantren miliki Nahdlatul Ulama (NU). Tabloid tersebut gratis. Pengirimannya menggunakan jasa PT Pos Indonesia. Nama pengirimnya tidak ada. Ini mirip surat kaleng. Setiap edisi terbit kurang-lebih 100.000 eksemplar. Alamat dan nomor telepon kantor redaksinya di Jl. Pisangan Timur Raya IX, Jakarta Timur ternyata palsu (bohongan). Bahkan para pengelolanya pun menggunakan nama samaran. Kehadiran barang haram tersebut berhasil menggoncang dan meresahkan pondok-pondek pesantren yang menerimanya.

Akhirnya nama para pengelolanya terkuak juga. Ternyata Pemimpin Redaksinya Setiyardi Budiono. Waktu itu ia bekerja sebagai deputi staf khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah yang dipimpin oleh Velix Wanggai. Dia juga anggota Komisaris di PT perkebunan Nusantara XIII untuk wilayah Kalimantan Timur.  Redaktur pelaksana (penulis utama) OR  Darmawan Sepriyossa (redaktur Inilah.com Jakarta). Media online (dalam jaringan) ini merupakan salah satu usaha di kelompok Inilahcom, milik Muchlis Hasyim Yahya. Muchlis mantan wartawan Tempo dan Media Indonesia.  Dia juga mantan media officer   di kantor Wakil Presiden, Jusuf Kalla (kini juga Wapres) pada 2004-2009.

Ketika itu seorang anggota tim sukses pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Fery Mursidan Baldan, menduga ada motif di balik sikap pembiaran pihak Istana (Presiden SBY) terhadap aksi yang dilakukan Setyardi Budiono, staf di Istana, dalam menerbitkan tabloid OR. Terlebih lagi, kepolisian juga lambat dalam mengusut kasus ini. "Kalau dia (Presiden SBY) membiarkan proses ini, artinya kita bisa simpulkan memang keterlibatan orang dekat kekuasaan itu by design. Pertama, dianggap sesuatu yang perlu dibiarkan dan lemahnya kepolisian," ujar Fery saat itu.

Tim pemenangan Jokowi-Kalla pada awal Juni 2014 telah melaporkan Setyardi Budiono ke Markas Besar Polri. Pada 4 Juni 2014 tim hukum pasangan Jokowi-JK juga telah mengadukan masalah besar itu ke Badan Pengawas Pemilu. Kepala Polri, Jenderal (Pol) Sutarman waktu itu menegaskan, polisi akan menindak tegas pengelola OR dengan tiga ketentuan undang-undang (UU) yakni UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penyidik Bareskrim Polri sudah memeriksa Setyardi Budiono pada Juni lalu. Kini tujuh bulan telah berlalu. Mana bukti ucapan tegas Kapolri, Sutarman, saat itu? Bandingkan dengan kasus Florence Saulina Sihombing, mahasiswa Program Kenotariatan UGM yang menghina masyarakat Jogyakarta melalui media sosial pada Agustus 2014. Dalam tempo singkat Polda Jogyakarta langsung menahannya, dan sejak awal November lalu telah mulai diadili di Pengadilan Negeri Jogyakarta, tanpa pembela pula. Apakah ini bisa diartikan, Florence tergolong orang kecil (tak memiliki backing) sehingga bisa segera disidangkan, sedangkan Setyardi Budiono dan kawan-kawannya dibentengi dan didukung oleh backing yang sangat kuat? Apakah Kapolri sangat takut terhadap orang-orang kuat yang melindungi para pelanggar hukum berat itu? Apakah perkara besar ini baru dilanjutkan ke Pengadilan Negeri Jakarta setelah Kapolri diganti?

Bukan Karya Jurnalistik

Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Bagir Manan, pada Juni 2014 menyatakan, OR berada di luar ranah jurnalisme. Oleh karena itu, kasus tersebut tidak dapat dijangkau melalui mekanisme UU Pers. Artinya, Dewan Pers tak berkuasa menangani masalah ini. Penegasan ini  dinyatakan melalui surat Ketua Dewan Pers kepada Kepala Kepolisian RI, Jenderal (Pol) Sutarman, nomor 223/DP/K/VI/2014, pada 17 Juni 2014. Ada enam butir yang memuat pertimbangan, penilaian, dan pernyataan Dewan Pers menyikapi kasus OR dalam surat tersebut. 

Pertama, OR tidak memenuhi ketentuan mengenai bentuk badan usaha pers sesuai Pasal 1 Butir 2 UU Pers yang berbunyi, “Perusahaan pers adalah badan hukumIndonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.” 

Kedua, sesuai dengan penelusuran yang dilakukan Dewan Pers, alamat yang tercantum di kotak redaksi OR palsu atau fiktif sehingga, OR tak memenuhi ketentuan Pasal 12 UU Pers yang berbunyi, “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penganggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.”

Ketiga, terkait isinya, Dewan Pers menilai OR tidak memenuhi prinsip-prinsip jurnalistik dan ketentuan mengenai asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 6 Butir a, b, c, d, dan e UU Pers. Pasal 5 Ayat 1 berbunyi, “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.” Pasal 6 UU pers bernunyi demikian, “Pers nasional melaksakan peranan sebagai berikut: a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan; c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkitan dengan kepentingan umum; e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.”

Mantan Ketua Mahkamah Agung itu juga menegaskan, prinsip-prinsip jurnalistik sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) juga tidak dipenuhi oleh OR. Isinya  didasarkan pada asumsi dan opini semata. Tak ada satupun prinsip-prinsip jurnalistik, seperti berita harus faktual, berimbang, tidak memuat hal-hal yang terkait dengan pertentangan SARA, kewajiban melakukan verifikasi, tidak menghakimi serta harus cover both sides, yang dipenuhi oleh OR.

Kempat, berdasar pada beberapa pertimbangan tersebut, Dewan Pers menilai masalah OR berada di luar ranah jurnalisme sehingga ia tidak dapat dijangkau melalui mekanisme UU Pers. Kelima, sesuai dengan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri, karena kasus OR tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme UU Pers, maka Polri dapat mengambil alih masalah ini apabila ditemukan pelanggaran hukum. Keenam, Dewan Pers menyatakan kesiapan membantu Polri secara teknis dalam melakukan penyidikan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan penerbitan OR (Website Dewan Pers, 17-6-2014).

Prinsip-prinsip Jurnalisme

Menurut dua ahli jurnalisme tersohor dari Amerika Serikat, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku mereka yang terkenal, The Elements of Journalism, What Newspeople Should Known and The Public Should Expect (2001), tujuan utama di antara semua tujuan jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan orang agar bebas dan mampu mengatur diri sendiri. Untuk mewujudkan ini, ada sembilan elemen jurnalisme yang mesti diperhatikan dan diterapkan oleh para wartawan. Kesembilan elemen tersebut sebagai berikut:

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.

2.  Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga.

3. Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi.

4. Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita.

5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.

6. Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik dan dukungan warga.

7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan.

8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional.

9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.   

Bila kita merujuk kepada prinsi-prinsip dan teknik jurnalisme yang diajarkan Bill dan Tom, dengan cepat dapat kita simpulkan, OR  memang bukanlah produk jurnalisme. Bahkan ia pun tak bisa dikelompokkan sebagai pers kuning (yellow paper). Jangankan berita - apa pun jenis beritanya – artikel opini saja harus didukung oleh sumber-sumber informasi yang sahih dan logika yang tidak menyesatkan khalayak. Jadi, sesungguhnya pemilik dan pengelola tabloid tersebut harus “ditobatkan” melalui jalur hukum. Sebagai mantan wartawan profesional di media besar, mereka pasti mengetahui prinsip-prinsip dan teknik jurnalisme yang benar. Akan tetapi karena motif dan tujuan mereka menerbitkan OR bertolak belakang dengan tujuan jurnalisme, maka mereka harus dipaksa secara hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kotor mereka.

Perkara besar ini tak boleh dipetieskan. Pemerintah baru sekarang harus menjadi anutan dalam penegakan hukum. Ungkapan sinis lama, hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, harus dihapuskan dari benak masyarakat. Salah satu caranya, petinggi baru Polri dan Pengadilan Negeri Jakarta mesti segera menyidangkan perkara OR. Bila perkara ini dipetieskan, masyarakat semakin yakin bahwa pengelola OR  memang dilindungi orang-orang yang sangat kuat, yang tak tersentuh oleh hukum positif. Ini juga sekaligus menguatkan pesimisme dan sinisme masyarakat terhadap para penegak hukum di republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar