Ketika
Sayap Singa Udara Tak Mengembang
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum
Administrasi
pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 24 Februari 2015
Di tengah masa libur Tahun Baru Imlek, puluhan pesawat
Lion Air mengalami keterlambatan penerbangan di berbagai tujuan penerbangan.
Sampai Jumat (20/02) pukul 20.00 WIB saja kisruh Lion Air disinggung lebih
dari 170.000 kali di Twitter, sebagian besar mengangkat cerita penumpang yang
terdampar. Berbagai spekulasi berkembang seputar keterlambatan Lion Air,
termasuk isu mengenai aksi mogok kru pesawat.
Namun, pihak Lion Air melalui Direktur Humasnya, Edward
Sirait, menepis spekulasi tersebut. Menurutnya, penundaan terjadi karena
kerusakan pada pesawat. Tiga pesawat rusak di Semarang karena mesinnya kena
burung dan di Jakarta juga ada permasalahan operasional yaitu pesawat tidak
fit. Lion Air merupakan maskapai yang mengusai tak kurang dari 40% rute
penerbangan Tanah Air.
Sisanya baru dibagi di antara pesawat-pesawat maskapai
lain. Maka itu, kekacauan luar biasa terjadi di berbagai tempat pada saat
siklus penerbangan maskapai yang berlogo singa udara itu bermasalah.
Lambatnya manajemen Lion Air dalam merespons kepanikan
para pengguna jasa penerbangan akibat kekacauan jadwal penerbangan pesawat
itu di berbagai tujuan telah menorehkan citra buruk untuk yang kesekian
kalinya bagi manajemen pelayanan publik maskapai penerbangan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77
Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, Lion Air harus
memberikan pendanaan ganti rugi kepada penumpang yang pesawatnya mengalami
keterlambatan. Namun, respons manajemen Lion Air terlihat sangat lambat dalam
menangani implementasi regulasi tersebut.
Di sisi lain, pihak Kementerian Perhubungan selaku
regulator juga terkesan hanya memberikan sanksi yang relatif ringan terhadap
maskapai Lion Air. Dalam hukum administrasi negara sektoral di bidang
penerbangan, pemerintah diberikan otoritas penuh untuk menjatuhkan sanksi
administratif yang bersifat condemnationreparation jika terjadi pelanggaran
norma hukum administrasi.
Namun, pilihan sanksi administratif yang dijatuhkan
Kementerian Perhubungan dalam kasus Lion Air baru berupa penghentian rute
baru untuk Lion Air sebagai sanksi awal yang diterapkan sampai ada komitmen
SOP pelayanan penumpang dengan baik.
Sanksi tersebut terhitung ringan jika dibandingkan banyak
keluhan konsumen atas pelayanan maskapai Lion Air selama ini baik yang
dilakukan melalui YLKI maupun kepada pihak otoritas bandara. Lion Air memang
tak pernah lepas dari pemberitaan. Mulai dari aksiaksi ekspansinya di sektor
bisnis penerbangan domestik dan internasional, persaingannya dengan maskapai
penerbangan nasional lainnya, termasuk dengan AirAsia, hingga masalah
pelayanan terhadap konsumen.
Untuk persoalan yang terakhir yakni buruknya kinerja
pelayanan terhadap konsumen, Lion Air punyasegudangcatatan“hitam”. Jika
berkaca pada hukum administrasi sektoral di bidang penerbangan, sejatinya
negara/ pemerintah diberikan kewenangan yang sangat besar dalam mengatur
industri penerbangan di negeri ini.
Rute penerbangan yang dikuasai oleh maskapai Lion air yang
tak kurang dari 40% dari seluruh rute penerbangan di Tanah Air selama ini
memperlihatkan kurang kompetitifnya persaingan di kalangan maskapai pemberi
jasa penerbangan.
Pemerintah sebenarnya bisa saja mendorong agar persaingan
dalam bisnis jasa penerbangan lebih kompetitif dengan menerapkan stimulus
bagi penguatan maskapai-maskapai yang ada. Dalam UU No 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan ditegaskan bahwa penerbangan dikuasai oleh negara dan
pembinaannya dilakukan oleh pemerintah.
Pembinaan penerbangan tersebut meliputi aspek pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan. Pengaturan tersebut diwujudkan dalam bentuk
penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas penentuan norma,
standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur, termasuk persyaratan
keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan.
Instrumen-instrumen hukum administrasi dalam melaksanakan
fungsi pengaturan tersebut sejatinya bisa lebih diefektifkan pemerintah
sehingga semakin selaras dengan salah satu slogan utama dalam Nawacita
Kabinet Jokowi-JK untuk menghadirkan negara dalam kehidupan masyarakat.
Selama ini sistem manajemen penerbangan masih jauh
panggang dari api dalam memberikan indeks kebahagiaan bagi para penumpang.
Sejak dari manajemen pelayanan sampai pada manajemen keselamatan penerbangan masih
terlihat belum ditangani secara serius oleh berbagai maskapai penerbangan.
Sebagai contoh, dalam kisruh jadwal penerbangan maskapai
Lion Air beberapa waktu lalu, negara tak terlihat hadir untuk berperan secara
strategis dan taktis dalam membantu memberikan solusi bagi terlantarnya
ribuan penumpang di berbagai bandara.
Akibat itu, sampai sekarang juga tak ada penjelasan yang
memadai dari maskapai tersebut maupun pemerintah selaku regulator apa
penyebab terjadi kekisruhan jadwal penerbangan Lion Air dan langkah-langkah
strategis-sistematis untuk mengatasi itu serta mencegah terulang kekisruhan
manajemen penerbangan yang paling dahsyat saat ini.
Padahal pemerintah selaku regulator memiliki otoritas
penuh dalam perspektif hak mengusai negara atas penerbangan untuk
melaksanakan fungsi pengendalian sebagaimana diamanatkan dalam UU Penerbangan
yang meliputi pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, perizinan, sertifikasi,
serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian.
Selain itu, dalam hal terjadi pelanggaran serius dalam
manajemen pelayanan penerbangan, pemerintah juga diberikan kewenangan selaku
regulator untuk melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum. Pemerintah
tak boleh terkesan lepas tangan atau sungkan untuk menjatuhkan sanksi bagi
sebuah maskapai penerbangan meski maskapai tersebut menguasai persentase rute
penerbangan yang besar di negeri ini.
Terjadi kekisruhan manajemen penerbangan yang dilakukan
maskapai Lion Air tersebut terjadi tak lama sejak kekisruhan izin pesawat yang
terungkap pascajatuh pesawat AirAsia QZ 8501.
Penerbangan yang seharusnya menjadi moda transportasi
paling aman dengan sejumlah persyaratan yang wajib dipenuhi kini justru
semakin terpuruk dengan rendahnya kualitas pelayanan dan manajemen
keselamatan penerbangan yang seharusnya menjadi acuan utama dari pihakpihak
yang berkaitan dengan manajemen penerbangan.
Berkaca pada hal tersebut, pembenahan terhadap manajemen
penerbangan tak boleh sekadar menyentuh sisi teknis operasional seperti
menghilangkan loket pelayanan dan mengganti dengan sistem e-ticketing ,
integrasi airport tax ke dalam tiket pesawat, sistem izin terbang, dan
sejenisnya.
Namun, pemerintah perlu mengembangkan desain strategis
jangka panjang manajemen pelayanan dan keselamatan penerbangan yang
mengintegrasikan standar operasional prosedur internasional manajemen
penerbangan.
Standard operating procedure (SOP) internasional oleh
Civil Aviation Safety Regulation (CASR) dan peraturan internasional dari
International Air Transport Association (IATA) harus sungguh-sungguh
dijadikan pedoman oleh regulator dalam mengembangkan kebijakan strategis
manajemen pelayanan dan keselamatan penerbangan tersebut.
Esensi yang harus benar-benar dijabarkan dalam manajemen
penerbangan di negeri ini sebagai diatur dalam kedua regulasi internasional
tersebut pada intinya mencakup persoalan safety, security, dan public
services.
Kerentanan pesawat terbang dari berbagai faktor potensi
gangguan eksternal seperti anomali cuaca, kondisi alam, dan sejenisnya harus
diimbangi dengan kokohnya peran negara dalam mengimplementasikan kedudukannya
yang memiliki hak menguasai negara atas penerbangan.
Baik dan buruk pelayanan publik disuatu negara, termasuk
di bidang penerbangan, memberikan gambaran terhadap kualitas pengelolaan
suatunegara. Manajemen penerbangan adalah etalase Tanah Air karena menjadi
salah satu pintu masuk pertama bagi wisatawan di suatu negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar