Arti
Sebuah Kedaulatan
Hamid Awaluddin ; Mantan Duta Besar RI di Rusia dan Belarus
|
KOMPAS,
26 Februari 2015
Perang selama 30 tahun (1618-1648) antara kaum Protestan
dan kaum Katolik Roma berakhir di meja perundingan. Sekilas, perang ini
adalah perang keyakinan. Namun, sesungguhnya perang di Eropa tersebut adalah
perang tentang perebutan pengaruh dan kekuasaan. Lantaran itulah, perang ini
melibatkan banyak negara. Sebutlah Swedia, Belanda, Jerman, Denmark, dan
Italia.
Perang yang menelan banyak korban tersebut diakhiri dengan
perundingan damai di kota Osnabruck dan Munster di Provinsi Westphalia,
Jerman. Perundingan dan diplomasi yang melahirkan perjanjian damai ini
dikenal hingga kini dengan nama Perjanjian Westphalia.
Salah satu isi perjanjian Westphalia, yang jadi tonggak
sejarah dan praktik hubungan dan hukum internasional, ialah adanya pengakuan
kedaulatan negara tanpa campur tangan negara lain. Ini yang kita sebut sovereignty of state. Konsep
kedaulatan negara inilah yang mengubah konstelasi politik global dan
meneguhkan prinsip kesederajatan bangsa-bangsa yang ada di dunia ini.
Kedaulatan negara memiliki dua unsur utama: (1) pemegang
kedaulatan (negara) secara mutlak memiliki otoritas dan (2) kedaulatan negara
ditandai dengan adanya teritori, di mana otoritas mutlak itu dijalankan
secara penuh. Kedua unsur ini acapkali dipostulatkan secara hukum dengan
istilah supreme authority within a
territory. Bagi filosof RP Wolff, otoritas adalah ”The right to command and correlatively the right to be obeyed.”
Masalah kedaulatan negara ini telah menyita perhatian
Thomas Hobbes dan Jean Bodin. Mereka malah dengan tegas mengatakan,
kedaulatan negara adalah absolut. Mereka berprinsip bahwa kedaulatan negara ”Extending all matters within the
territory, unconditionally.”
Jabaran dari perjanjian damai Westphalia mengenai
kedaulatan negara ini diabadikan dalam Piagam PBB, khususnya dalam Pasal 2
(4), yang jelas menegaskan, semua anggota PBB (negara) dalam hubungan
internasional mereka menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan
kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain
atau dengan cara apa pun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB.
Kedaulatan suatu negara terkandung di dalamnya adalah
otoritas penuh menjalankan hukum yang dibuat oleh negara tersebut. Membuat
dan menjalankan hukum dalam wilayah dan teritori negara adalah kebebasan
mutlak negara tersebut dan tidak boleh dicampuri negara lain.
Kehormatan bangsa
Soal kedaulatan negara ini kembali mengemuka di republik
kita sekarang ini karena dua negara anggota PBB, Brasil dan Australia,
meradang karena warga negara mereka dihukum mati di Indonesia. Protes mereka
sudah melampaui tata krama hubungan internasional yang selalu mengutamakan
cara-cara damai dan bersahabat.
Tindakan Pemerintah Brasil pada 20 Januari lalu yang
menolak Duta Besar RI untuk menyerahkan surat kepercayaan Pemerintah
Indonesia yang sudah hadir bersama sejumlah duta besar lainnya adalah
penamparan atas kedaulatan negara. Penyerahan surat kepercayaan seorang duta
besar kepada pemerintah tempat ia ditugasi adalah bagian terpenting atas
pengakuan negara yang diwakilinya, bukan hanya di negara ia bertugas,
melainkan juga dalam pergaulan internasional.
Seorang duta besar tidak bisa secara leluasa menjalankan
tugas-tugas diplomatnya sebelum ia menyerahkan surat kepercayaan kepada
pemerintah yang ditempatinya. Semua ini sudah diatur dalam Konvensi Vienna
tentang Hubungan Diplomatik, di mana Brasil adalah penanda tangan konvensi
tersebut.
Seorang duta besar yang dikirim oleh negaranya ke satu
negara, secara de jure dan de facto, mewakili totalitas negaranya. Karena
itu, sebutan duta besar selalu berbunyi, ”Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh”. Itu pula sebabnya semua surat
kepercayaan yang dibawa oleh duta besar ke tempat ia bertugas pasti selalu
berbunyi, ”Dengan ini kami mengirim
putra-putri terbaik dan terhormat kami”.
Maka, penolakan Pemerintah Brasil atas Dubes RI untuk
menyerahkan surat kepercayaan adalah penolakan Brasil terhadap kehormatan
Indonesia. Jelas, penolakan tersebut berkaitan langsung dengan penegakan
hukum Indonesia atas warganya, yang sekaligus berarti bahwa Brasil tidak
menghargai prinsip-prinsip kedaulatan negara lain.
Sikap Australia
Hal yang sama juga terjadi buat Australia, yang memang
dari masa ke masa selalu menunjukkan gelagat kurang bersahabat dengan
Indonesia. Lebih ironis lagi, protes Australia atas Indonesia yang berdaulat
untuk menjalankan hukumnya itu diekspresikan dengan cara mengungkit bantuan
Australia terhadap korban tsunami di Aceh 10 tahun silam.
Seiring sejalan dengan ini, kita perlu memahami bahwa
bantuan dunia terhadap korban tsunami tersebut adalah bantuan kesemestaan.
Negara-negara lain, tanpa diminta, datang berduyun-duyun mengulurkan tangan
dengan motif tunggal: demi kemanusiaan! Ketika itu, saya selaku Menteri Hukum
dan HAM yang bertanggung jawab mengenai keimigrasian membuka selebar mungkin
pintu Indonesia bagi siapa pun yang datang dengan misi kemanusiaan. Tak perlu
mereka menggunakan visa. Banyak negara telah menunjukkan komitmen
kemanusiannya, tanpa dasar perhitungan untung-rugi.
Nah, sekarang Australia telah menunjukkan bahwa apa pun
yang dilakukannya ternyata selalu dimotivasi oleh kalkulasi untung-rugi. Artinya,
motif kemanusiaan yang semestinya melebur sekat-sekat motif politik, sosial,
dan ekonomi, tidak berlaku bagi Australia.
Untung Wakil Presiden RI M Jusuf Kalla menunjukkan
kedaulatan negeri ini dengan cara ingin mengembalikan seluruh bantuan Australia
tersebut. Pada masa silam, Bung Karno pernah berteriak, ”Go to hell with your aid.” Mungkin sekarang ini, demi tegaknya
harga diri bangsa ini, ada pemimpin kita yang berkata ke Australia: ”Get lost and get your aid back.”
Australia perlu memahami betul bagaimana Indonesia
membantunya tanpa batas waktu. Jika bukan Indonesia, Australia sudah lama
disesaki oleh imigran gelap, khususnya yang berasal dari Asia Selatan dan
sejumlah negara di kawasan Asia. Indonesia berperan vital mencegah
imigran-imigran gelap tersebut melalui operasi penangkapan dan penangkalan.
Ke Australia, ada baiknya bangsa ini berkata, ”Get this?”
Beberapa tahun silam, tatkala keluar dari penjara yang
mengurung badannya selama 28 tahun, Nelson Mandela mengatakan bahwa manusia
yang bermartabat adalah manusia yang memiliki kedaulatan dan kedaulatan itu
adalah kebebasan dan ”Freedom is to
master my way and to be captain of myself.” Indonesia adalah negara yang
berdaulat karena itu Indonesia adalah master untuk jalannya dan kapten bagi
dirinya sendiri. Bukan negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar