Sabtu, 28 Februari 2015

Harapan Baru dari KPK Era Ruki

Harapan Baru dari KPK Era Ruki

Herie Purwanto ;  Kasat Reskrim Polres Magelang Kota
SUARA MERDEKA, 25 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

“Latar belakang Ruki purnawirawan bintang dua Polri dan jadi ketua KPK 2003-2007 menguatkan harapan itu”

KETERPILIHAN Taufiequrachman Ruki sebagai Plt Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan harapan baru bagi hubungan dan sinergitas antara KPK dan Polri. Latar belakang Ruki, purnawirawan Polri berbintang dua dan menjadi ketua KPK periode 2003-2007 menguatkan harapan tersebut.

Terlebih rekam jejaknya selama ini yang tidak menunjukkan tindakan kontraproduktif sebagai penegak hukum, Dengan latar belakang itu, seharusnya tak sulit bagi Ruki untuk meningkatkan hubungan KPK dengan Polri. Lebih-lebih, seperti disampaikan dalam wawancaranya dengan sebuah stasiun televisi, penegakan hukum perlu menjaga etika dan komunikasi antarlembaga. Artinya andai terjadi permasalahan atau persinggungan, hal itu bisa diredam tanpa keluar dari konteks penegakan hukum.

Ketersinggungan sebagai institusi penegak hukum yang masing-masing mempunyai kewenangan harus tetap dijaga supaya kasus Cicak Vs Buaya tidak berulang. Penetapan tersangka oleh kedua lembaga itu, yang belakangan memicu ketidakharmonisan, dalam paradigma kepemimpinan Ruki diharapkan dak lagi terjadi.

Ada beberapa alasan yang mendasari premis itu. Pertama; Ruki sangat memahami psikologis institusi Polri sekaligus KPK. Walaupun secara kelembagaan harus independen dan jauh dari intervensi pihak mana pun, peran sebagai pengambil keputusan (decision maker) tetap akan menjadi roh ke mana arah penyidikan sebuah kasus.

Berantai

Hal ini jelas terbaca sewaktu ada penetapan petinggi institusi sebagai tersangka pasti muncul efek berantai dengan penetapan tersangka lain pada level di bawahnya, yang jadi bagian institusi tersebut. Kesan yang muncul kemudian dan tidak terbantahkan adalah masuknya kepentingan pribadi dengan menunggangi kewenangan institusi. Ruki diharapkan memahami paradigma itu sehingga ia akan berusaha tampil sejuk menjalin komunikasi sebelum muncul permasalahan ke permukaan dan ter-blow up media.

Kedua; Ruki sangat memahami dan ini perlu direnungkan oleh semua pihak bahwa ketika seseorang ditetapkan jadi tersangka, ia akan berusaha menarik orang lain menjadi tersangka juga. Apalagi dalam perkara korupsi. Ibarat orang tenggelam, ia berusaha sekuat tenaga meraih apa saja benda-benda di sekelilingnya agar ia tidak tenggelam. Atau menggunakan idiom tiji tibeh alias mati siji mati kabeh.

Pemahaman ini bukan berarti akan ada tebang pilih pemberantasan korupsi melainkan meletakkan kasus korupsi melalui pendekatan yang tak melibatkan emosi intitusi. Contoh kasus ini adalah ketika Irjen Djoko Susilo ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus simulator SIM diikuti penggeledahan kantor Korlantas Mabes Polri, menimbulkan efek emosional intitusi Polri saat itu.

Dampaknya, Mabes Polri menarik sejumlah penyidiknya dan menghentikan sementara beberapa penyidik Polri di KPK. Bahkan KPK ikut ’’memanaskan’’ suasana dengan merekrut penyidik internal. Kondisi seperti itu sangat kontraproduktif bagi sinergitas KPK-Polri. Selama kepemimpinan Ruki, hal itu diprediksi takkan terjadi mengingat ia diharapkan mengembangkan pendekatan komunikasi antarlembaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar