Charlie
Hebdo dan Chapel Hill
Anas Urbaningrum ; Ketua Presidium Nasional
Perhimpunan Pergerakan Indonesia
|
REPUBLIKA,
21 Februari 2015
Dunia tampak terbelah
menyikapi dua peristiwa kekerasan yang menyangkut identitas orang-orang yang
terlibat insiden itu. Publik murka atas penyerangan terhadap kantor majalah
Charlie Hebdo di Paris awal Januari lalu. Sejumlah pemimpin dunia bahkan
hadir dan ikut meresonansi kemarahan itu.
Kini kita melihat
reaksi berbeda atas insiden penembakan yang menewaskan tiga mahasiswa Muslim di
Chapel Hill, North Carolina, AS. Sampai saat ini, wacana di media, penembakan
itu disulut perselisihan lahan parkir yang melibatkan seseorang yang dikenal
temperamental dan kerap bertengkar dengan tetangganya. Namun, sulit dihindari
kesan insiden itu ingin diredam dan dibingkai sebagai "kecelakaan
biasa". Apalagi diketahui si penembak kerap mengekspresikan sikap
ateisme dan kebencian agama.
Presiden Turki Recep
Tayyip Erdogan sampai mengkritik Presiden Barack Obama di sela kunjungannya
di Meksiko, tapi Pemerintah AS belum juga menyampaikan pernyataan duka.
Belakangan Presiden Obama menyatakan kecaman atas peristiwa tersebut.
Terkait Charlie Hebdo,
media mengabarkan pada 8 Februari 2015 sekelompok warga berkumpul di depan kantor
Perdana Menteri Inggris di London memprotes majalah satiris itu. Sebelumnya,
sebuah sekolah di Limerick, Irlandia, meminta maaf kepada orang tua murid
Muslim karena majalah itu dibahas di dalam kelas yang sedang membahas
Revolusi Prancis dan kebebasan berpendapat. Setiap anak -- termasuk yang
Muslim-- disuruh membaca dan melihat gambar majalah itu. Ini menimbulkan ketersinggungan.
Lalu bagaimana
seharusnya kita di Indonesia, sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar
yang sedang belajar berdemokrasi menyikapi soal Charlie Hebdo dan insiden
Chapel Hill?
Saya meminta bantuan
sejumlah teman menerjemahkan majalah Charlie Hebdo dari internet. Tetapi
sangat sulit, walaupun edisi yang terbit setelah penyerangan itu ludes tiga
juta eksemplar sehingga ditambah cetak dua juta kopi lagi. Padahal, majalah
ini hanya dicetak 60 ribu eksemplar. Apakah artikel Charlie dibersihkan dari
internet setelah penyerangan? Saya tidak tahu.
Saya meminta tolong
sahabat mencetak wajah situs majalah ini. Slogan media ini adalah "journal
irresponsible" atau majalah tidak bertanggung jawab. Pada edisi pasca
serangan, kita melihat sampul majalah itu bergambar kartun orang dengan penampilan
bernuansa Arab memegang kertas bertuliskan "Jesuis Charlie" (Aku
Charlie), slogan solidaritas dalam aksi mengecam serangan berdarah ke kantor
media itu. Dengan mudah kita berkesimpulan sosok kartun itu Nabi Muhammad SAW
yang berulangkali menjadi target majalah itu.
Pemimpin dunia yang hadir
di Paris mengatakan, penyerangan itu adalah penyerangan terhadap kebebasan
berpendapat. Pertanyaannya, bagaimana kita menghargai pihak yang menyebut
dirinya tak bertanggung jawab?
Prancis punya warisan
besar dalam teori politik dan demokrasi. Yang terkenal ucapan Voltaire
(1694-1778), "Saya tidak menyetujui perkataan Anda, tapi saya akan
membela hak Anda untuk mengatakannya." Ucapan ini dianggap dasar
kebebasan berpendapat. Namun, awak Charlie Hebdomungkin perlu belajar
perbedaan antara berpendapat dan bersengaja mengolok-olok.
Filsuf Friedrich
Nietzsche pernah lantang mengumandangkan "Tuhan telah mati!"
Pendapat itu memang memancing kontroversi, tetapi tidak berujung kekerasan
karena disampaikan dalam uraian pemikiran filsafat, bukan penggambaran figur
yang menistakan.
Jika di
"Barat" dikenal prinsip kebebasan seseorang dibatasi kebebasan
orang lain, maka kebebasan berekspresi Charlie Hebdo dibatasi kebebasan umat
Islam sedunia menjalankan kepercayaannya tanpa penghinaan.
Terhadap insiden
Chapel Hill kita bisa paham kepentingan Pemerintah AS untuk meredamnya
menjadi "kecelakaan biasa". Tentu Amerika tidak ingin dicap sebagai
lahan subur Islamophobia, apabila framing
penembakan tersebut merupakan bentuk ekspresi kebencian terhadap agama
diterima sebagai kebenaran. Namun, selayaknya Presiden Obama menyampaikan
simpati dan pernyataan duka cita yang serius, setara dengan tragedi
kemanusiaan, tanpa melihat latar belakang korbannya. Sikap Pemerintah AS yang
cenderung diam malah menyuburkan prasangka adanya "standar ganda Amerika"
dalam menyikapi masalah yang berkaitan dengan identitas keagamaan.
Charlie Hebdo secara
sadar dan telanjang memproduksi benih-benih kekerasan dan ekstremisme, malah
bisa di simpulkan kebebasan radikal berbungkus satire dan kebebasan berpendapat
adalah kekerasan itu sendiri. Olok-olok dan penistaan oleh Charlie Hebdo
adalah kekerasan terhadap keyakinan umat Islam --dan umat beragama pada
umumnya.
Dunia rugi besar oleh ngototnya Charlie Hebdo untuk terus melukai keyakinan
umat beragama di dunia. Karena itu, artinya Charlie Hebdo selalu memproduksi
bom waktu kekerasan setiap saat.
Kekerasan dan
serangan yang mengakibatkan korban nyawa manusia tak berdosa layak dikutuk.
Tidak boleh ada darah tertumpah oleh kekerasan atas nama apa pun juga. Inilah
saat tepat bagi semua pihak untuk memikir ulang konsep kebebasan manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar