Rabu, 25 Februari 2015

Kembalinya Buitenzorg

Kembalinya Buitenzorg

Reza Indragiri Amriel  ;  Warga Bogor, Pelanggan Kereta Listrik
KORAN TEMPO, 24 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Punya riwayat sejak berabad-abad sebelumnya, pada 1745 wilayah itu diresmikan menjadi kota bernama Buitenzorg, alias kota tanpa kesibukan, tanpa kesumpekan, bebas persoalan. Penamaan sedemikian rupa punya alasan jelas, yaitu Bogor sebagai kota alternatif setelah Batavia dirasa penuh sesak, ramai, dan kacau.

Lima tahun sebelumnya, semasa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff, sebuah tempat peristirahatan megah dibangun. Bangunan itu kemudian populer dikenal sebagai Istana Bogor. Arsitekturnya menduplikasi desain Istana Blenheim di Inggris, tempat hunian Duke of Marlborough, dekat Kota Oxford di Inggris. Untuk menambah kecantikan istana megah itu, didirikanlah sebuah kebun raya. Ditangani Prof Dr R.C. Reinwardth, dengan luas hampir 90 hektare dan ditumbuhi 20 ribu jenis flora, Kebun Raya Bogor menjadi taman botani terluas di Asia Tenggara.

Gambaran tersebut menghadirkan keyakinan bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak main-main membangun Kota Bogor. Mereka ingin Bogor menjadi—katakanlah—bongkahan firdaus yang terlempar ke bumi. Indah dipandang, nyaman didiami, bersih dihuni, serta subur ditanami.

Tapi Bogor tidak sebatas Istana, yang kini menjadi tempat favorit Presiden Jokowi bekerja, dan Kebun Raya. Ratusan tahun berlalu, bagaimana keadaan Kota Bogor hari ini? Dari timbunan masalah yang ada, kemacetan lalu lintas, kekacauan pengelolaan pasar tradisional, dan kotornya lingkungan boleh jadi merupakan problem peringkat teratas.

Kota Bogor yang kotor, yang sampahnya berserak, sebenarnya bukan pemandangan baru. Terakhir kali Piala Adipura diraih oleh kota Bogor adalah pada 2006. Sejak itu, kenyataannya sangat menyakitkan hati sekaligus memalukan: Bogor berulang kali dicap sebagai salah satu kota terjorok se-Indonesia. Tak usah jauh-jauh melihat buktinya. Sekitar 200 meter dari pagar Istana Bogor, keruwetan lalu lintas dan joroknya lingkungan sudah langsung bisa dilihat dengan mata telanjang.

Orang meludah seenaknya serta membuang puntung rokok dan serbaneka sampah lainnya bisa disaksikan di mana-mana di Kota Hujan tersebut. Saking kotornya Bogor, adalah mengagetkan ketika pemerintah kota tersebut optimistis Piala Adipura akan kembali ke Kota Hujan tahun ini.

Karena itulah, adalah menggembirakan ketika Jokowi memutuskan akan sering datang bahkan tinggal di Istana Bogor. Kemacetan pasti kian menggila, karena polisi niscaya menomorsekiankan mereka yang bukan presiden dan jajaran menterinya. Dan imbas "penertiban" itu adalah kesemrawutan lalu lintas di titik-titik lain di Bogor.

Tapi, melarang Jokowi bermarkas di Istana Bogor juga tak mungkin. Walhasil, sebaiknya Jokowi menggunakan kereta listrik untuk bolak-balik Bogor-Jakarta, seperti yang pernah sesekali dilakukan Dahlan Iskan dan rutin dijalani Bambang Widjojanto dengan rute Depok-Jakarta. Jokowi juga boleh berkantor di Bogor sepanjang dia sering blusukan, berjalan kaki, maupun bersepeda kayuh melihat serbarupa kekacauan di Kota Kujang.

Bila kehadiran Jokowi membawa perbaikan bagi Bogor sebagai (kelak) kota kerja kepala negara dan pemerintahan, semoga Jokowi betah untuk terus tinggal di sana. Tapi jika seandainya Istana Bogor tetap rapi jali, sedangkan sisi-sisi lain Bogor tetap gagal menjadi Buitenzorg, maka pengertian Jokowi sangat diharapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar