Kembalinya
Buitenzorg
Reza Indragiri Amriel ; Warga Bogor, Pelanggan
Kereta Listrik
|
KORAN
TEMPO, 24 Februari 2015
Punya riwayat sejak berabad-abad
sebelumnya, pada 1745 wilayah itu diresmikan menjadi kota bernama Buitenzorg,
alias kota tanpa kesibukan, tanpa kesumpekan, bebas persoalan. Penamaan
sedemikian rupa punya alasan jelas, yaitu Bogor sebagai kota alternatif
setelah Batavia dirasa penuh sesak, ramai, dan kacau.
Lima tahun sebelumnya, semasa
pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff, sebuah tempat peristirahatan
megah dibangun. Bangunan itu kemudian populer dikenal sebagai Istana Bogor.
Arsitekturnya menduplikasi desain Istana Blenheim di Inggris, tempat hunian
Duke of Marlborough, dekat Kota Oxford di Inggris. Untuk menambah kecantikan
istana megah itu, didirikanlah sebuah kebun raya. Ditangani Prof Dr R.C.
Reinwardth, dengan luas hampir 90 hektare dan ditumbuhi 20 ribu jenis flora,
Kebun Raya Bogor menjadi taman botani terluas di Asia Tenggara.
Gambaran tersebut menghadirkan keyakinan
bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak main-main membangun Kota Bogor.
Mereka ingin Bogor menjadi—katakanlah—bongkahan firdaus yang terlempar ke
bumi. Indah dipandang, nyaman didiami, bersih dihuni, serta subur ditanami.
Tapi Bogor tidak sebatas Istana,
yang kini menjadi tempat favorit Presiden Jokowi bekerja, dan Kebun Raya.
Ratusan tahun berlalu, bagaimana keadaan Kota Bogor hari ini? Dari timbunan
masalah yang ada, kemacetan lalu lintas, kekacauan pengelolaan pasar
tradisional, dan kotornya lingkungan boleh jadi merupakan problem peringkat
teratas.
Kota Bogor yang kotor, yang
sampahnya berserak, sebenarnya bukan pemandangan baru. Terakhir kali Piala
Adipura diraih oleh kota Bogor adalah pada 2006. Sejak itu, kenyataannya
sangat menyakitkan hati sekaligus memalukan: Bogor berulang kali dicap
sebagai salah satu kota terjorok se-Indonesia. Tak usah jauh-jauh melihat
buktinya. Sekitar 200 meter dari pagar Istana Bogor, keruwetan lalu lintas
dan joroknya lingkungan sudah langsung bisa dilihat dengan mata telanjang.
Orang meludah seenaknya serta
membuang puntung rokok dan serbaneka sampah lainnya bisa disaksikan di
mana-mana di Kota Hujan tersebut. Saking kotornya Bogor, adalah mengagetkan
ketika pemerintah kota tersebut optimistis Piala Adipura akan kembali ke Kota
Hujan tahun ini.
Karena itulah, adalah
menggembirakan ketika Jokowi memutuskan akan sering datang bahkan tinggal di
Istana Bogor. Kemacetan pasti kian menggila, karena polisi niscaya
menomorsekiankan mereka yang bukan presiden dan jajaran menterinya. Dan imbas
"penertiban" itu adalah kesemrawutan lalu lintas di titik-titik
lain di Bogor.
Tapi, melarang Jokowi bermarkas di
Istana Bogor juga tak mungkin. Walhasil, sebaiknya Jokowi menggunakan kereta
listrik untuk bolak-balik Bogor-Jakarta, seperti yang pernah sesekali
dilakukan Dahlan Iskan dan rutin dijalani Bambang Widjojanto dengan rute
Depok-Jakarta. Jokowi juga boleh berkantor di Bogor sepanjang dia sering
blusukan, berjalan kaki, maupun bersepeda kayuh melihat serbarupa kekacauan
di Kota Kujang.
Bila kehadiran Jokowi membawa
perbaikan bagi Bogor sebagai (kelak) kota kerja kepala negara dan
pemerintahan, semoga Jokowi betah untuk terus tinggal di sana. Tapi jika
seandainya Istana Bogor tetap rapi jali, sedangkan sisi-sisi lain Bogor tetap
gagal menjadi Buitenzorg, maka pengertian Jokowi sangat diharapkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar