Di Balik Penolakan Hukuman Mati
Dian Islamiati Fatwa ; Jurnalis Indonesia
tinggal di Australia
|
JAWA
POS, 25 Februari 2015
Sebelum dimuat Jawa Pos artikel ini telah di-posting di
HUBUNGAN Indonesia-Australia kembali teruji menyusul
komentar Perdana Menteri Tony Abbott minggu lalu yang mengingatkan Indonesia
akan sumbangan Australia dalam mengatasi dampak bencana tsunami. Pernyataan
Abbott itu dilontarkan agar Indonesia melunak dengan membatalkan hukuman mati
terhadap duo kriminal ’’Bali Nine’’ Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Secara literal, tidak ada permintaan untuk ’’membayar’’
kembali bantuan kemanusiaan yang sudah diberikan Australia kepada Indonesia.
Namun, tidak urung pernyataan Abbot diterima berbeda dan dianggap
mengungkit-ungkit bantuan yang sudah diberikan. Menlu Australia Julie Bishop
buru-buru menelepon Wapres Jusuf Kalla untuk ’’meluruskan’’ pernyataan
Abbott. Bishop berharap, Indonesia dan Australia dapat bekerja sama membantu
menangani sindikat narkoba serta kemungkinan Australia membantu mendanai
proyek rehabilitasi. Namun, toh kemarahan publik Indonesia tidak dapat
dibendung.
Gerakan #KoinUntukAustralia untuk mengembalikan sumbangan
Australia mulai bergulir akhir pekan lalu. Posko penerimaan koin pengembalian
bantuan Australia bahkan sudah didirikan. Itu merupakan bentuk
ketersinggungan masyarakat Indonesia yang tidak bisa dianggap enteng oleh
Australia. Apalagi, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah kalangan DPR
mendukung gerakan tersebut.
Siapa pun yang menjadi politisi di seluruh dunia memang
punya kewajiban untuk melindungi warganya yang menghadapi hukuman mati.
Barangkali Abbott cukup frustrasi melihat Indonesia tampak bergeming terhadap
berbagai upaya pemerintah Australia untuk menyelamatkan nyawa warganya.
Abbott juga punya kepentingan untuk menaikkan popularitas di dalam negeri
yang melorot tajam.
Teta saja sejumlah analis di Australia mengecam pernyataan
Abbott yang dianggap justru memperburuk strategi diplomasi ’’Bali Nine’’
menyelamatkan Chan dan Sukumuran di hadapan regu tembak. Diplomasi
internasional mengatur tata krama yang tinggi sehingga Abbott dianggap tidak
patut melontarkan pernyataan tersebut.
Sejumlah menteri di kabinet Abbott bahkan menggerutu atas
pernyataan sang perdana menteri itu yang membuat kerja mereka bertambah
menghadapi Indonesia karena ketidakpekaan Abbott dalam berbicara. Menteri
Luar Negeri Australia Julie Bishop kepada media juga secara terbuka
mengungkapkan bahwa ungkapan Abbott tidak membantu ’’kerja’’ diplomasi untuk
menyelamatkan duo ’’Bali Nine’’.
Dalam jajak yang dilakukan Roy Morgan akhir Januari lalu,
62 persen rakyat Australia berpendapat bahwa pemerintah Australia tidak perlu
berbuat banyak untuk menghentikan eksekusi terhadap duo kriminal ’’Bali
Nine’’. Menariknya, –dalam jajak pendapat yang sama– 52 persen publik
Australia mendukung eksekusi dilangsungkan. Adagium crime
does pay, tampaknya, benar-benar dipahami lebih dari 60 persen responden
yang berusia 18–24 tahun. Tentu saja, hasil jajak pendapat tersebut cukup
mengagetkan di kalangan dalam negeri Australia. Padahal, awalnya jajak
pendapat oleh Triple J (radio untuk anak-anak muda) dilakukan sebagai upaya
untuk menyelamatkan Chan dan Sukumuran.
Penolakan Hukuman Mati
Dukungan publik Australia terhadap Chan dan Sukumuran
sejatinya bukan bentuk dukungan terhadap tindakan kriminal yang mereka
lakukan, namun lebih terhadap penolakan terhadap hukuman mati. Secara formal,
Australia telah menghapus hukuman mati peninggalan hukum adat masyarakat
Aborigin. Kali pertama Australia menerapkan hukuman mati pada 1629 ketika
pemerintah Belanda menggantung pembangkang kapal Batavia di Western
Australia. Dalam catatan sejarah, Australia terakhir melaksanakan hukuman
mati pada 1967 terhadap Ronald Ryan yang dihukum gantung karena melarikan
diri dari penjara dengan menembak sipir. PAda
2010, parlemen Australia mengundangkan larangan hukuman mati di seluruh
negara bagian dengan mengganti hukuman seumur hidup. Wajar bila kemudian
publik Australia menyatakan keberatan terhadap hukuman mati. Hampir semua
pembicaraan di sudut-sudut kota di Australia serta komentar di media sosial
menyatakan sulit bersimpati terhadap mereka yang terlibat narkoba. Meski
begitu, publik Australia menganggap duo Bali Nine layak mendapatkan ’’kesempatan
kedua’’. Mereka tetap harus mendapat hukuman membayar kejahatan yang mereka
lakukan, tetapi tidak dieksekusi.
Dengan demikian, Chan dan Sukumuran tetap dapat melakukan
kerja selama di dalam penjara, membantu narapidana lainnya dengan kegiatan
yang lebih berguna. Keduanya memang dikenal berhasil membalik keterbatasan di
balik jeruji besi menjadi sebuah kesempatan untuk berkarya. Chan, misalnya,
mengajari para narapidana komputer dan memasak. Sementara itu, Sukumuran
membantu membuka bengkel sablon serta melukis yang hasil karyanya berhasil
dipamerkan dan dijual di Australia. Chan dan Sukumuran juga aktif meminta
para pembesuk dan sukarelawan untuk memberikan pelatihan kepada para
narapidana serta membawa barang-barang yang dibutuhkan narapidana perempuan;
kasur, pasta gigi, dan kebutuhan yang lain. Keduanya bahkan melakukan
konseling terhadap pecandu narkoba serta menggalang dana bagi narapidana yang
membutuhkan pengobatan serius. Dengan kerja positif tersebut, keduanya
berhasil menyingkirkan para preman penjara yang biasa memeras para
narapidana. Hal itulah yang membuat publik Australia heran mengapa kerja
mereka membantu narapidana yang lain untuk hidup lebih berguna tidak dilihat.
Gerakan Boikot Bali
Suara pro dan kontra muncul menyusul usul gerakan boikot
Bali untuk menekan pemerintah Indonesia. Anggota DPR Negara Bagian Victoria
Fiona Pattern yang juga pemimpin Partai Sex Australia menyerukan warga
Australia melakukan boikot agar Indonesia menyadari dampak ekonomi dari turis
Australia yang enggan berwisata ke Bali. Tetapi, mantan Duta Besar Australia
untuk Indonesia Philip Flood menilai, gerakan tersebut sebagai ide yang
bodoh. Menurut pandangan Flood, gerakan tersebut tidak akan mampu mengubah
sikap pemerintah Indonesia terhadap eksekusi duo ’’Bali Nine’’. Sebagian
publik Australia juga menilai, gerakan tersebut menunjukkan Australia
menerapkan standar ganda. Mereka mempertanyakan mengapa hal serupa tidak
dilakukan terhadap Tiongkok yang melakukan eksekusi terhadap ribuan
narapidana serta Amerika yang sejumlah negara bagian menerapkan hukuman mati.
Hal yang sama terlihat ketika terpidana mati kasus bom Bali Amrozi menjalani
eksekusi; mantan Perdana Menteri Kevin Rudd bahkan menyatakan keadilan telah
ditegakkan, mengingat 88 warga menjadi korban bom Bali. Lantas, ketika
eksekusi akan menimpa Chan dan Sukumuran, publik justru diarahkan untuk
memboikot Bali. Jelas sekali Australia menerapkan standar ganda.
Gagal Paham
Hal lain yang sulit dimengerti publik Australia adalah
ketika muncul klaim bahwa hakim ’’Bali Nine’’ dituduh meminta suap agar
memperingan hukuman. Masyarakat Australia mempertanyakan mengapa kasus
tersebut tidak diselidiki lebih dahulu sebelum putusan eksekusi dilakukan. Dalam
sistem di Australia, bila terdapat tuduhan suap dalam kasus hukum, pengusutan
segera dilakukan sehingga putusan hukum akan dipandang sebagai putusan yang
adil, bukan karena suap. Tuduhan suap adalah hal yang sangat serius di
Australia. Agaknya, mereka lupa bahwa terpidana ’’Bali Nine’’ berada di bawah
yurisdiksi Indonesia bahwa hukum Indonesia berlaku, sementara suap masih
dianggap lumrah oleh sebagian warga Indonesia.
Kalaupun gerakan boikot Bali berhasil dan warga Australia
enggan ke Indonesia, barangkali hal tersebut justru membawa keberuntungan.
Sebab, turis Eropa akan berdatangan melihat Bali telah sepi dari para bogan Australia. Namun, terlepas dari
itu, hubungan
Indonesia dengan Australia akan mengalami pasang surut sepanjang warga
Australia enggan memahami Indonesia karena generalisasi soal Indonesia. Generalisasi
memang hal yang paling mudah dilakukan, mengingat kompleksnya Indonesia. Hal
yang sama terjadi bila masyarakat Indonesia mempunyai pemahaman yang cekak
terhadap Australia. Misalnya, pemahaman bangsa Australia yang
memperlakukan warga Aborigin dengan buruk atau menganggap mereka rasis.
Padahal, tidak semua pemahaman tersebut benar. Tentu saja cekaknya cara
berpikir itu akan semakin menyuburkan sikap antipati masyarakat Indonesia
terhadap Australia. Tidak mengherankan reaksi keras muncul dari kedua pihak
karena memang gagal paham terhadap apa yang terjadi di negara tetangga
sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar