Relasi PAN dan Muhammadiyah
Djoko Susilo ; Dubes RI di Bern
2010–2014
|
JAWA
POS, 27 Februari 2015
SALAH
satu isu yang muncul menjelang Kongres IV Partai Amanat Nasional (PAN) di
Bali akhir bulan ini adalah soal relasi antara PAN dan Muhammadiyah. Din
Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah yang mantan kader Partai Golkar, di
mana-mana menolak adanya relasi antara PAN dan Muhammadiyah. Bahkan, dia
berpendapat, PAN tidak merepresentasikan aspirasi politik warga Muhammadiyah.
Pernyataan Din itu layak dicermati, mengingat posisinya sebagai orang nomor
satu di Muhammadiyah.
Sebenarnya,
persoalan relasi antara PAN dan Muhammadiyah muncul sejak partai tersebut
dilahirkan pada 1998. Namun, karena saat itu Amien Rais sebagai pendiri PAN
juga dikenal sebagai ketua umum Muhammadiyah, persoalan tersebut tidak
menjadi isu penting. Bahkan, dalam perkembangannya, di banyak tempat, kader
dan infrastruktur Muhammadiyah ikut memfasilitasi berdirinya PAN. Tetapi,
sejak awal, PAN memang terbuka. Tidak hanya untuk warga Muhammadiyah, tetapi
juga kalangan nonmuslim. Tercatat, di jajaran DPP PAN terdapat nama Albert
Hasibuan dan Alvien Lie atau di Jawa Timur terdapat Mikel Liem dan banyak
yang lain.
Relasi
khusus Muhammadiyah dan PAN diperkuat keluarnya pernyataan Sidang Tanwir
Muhammadiyah di Semarang 1999 bahwa PAN adalah hasil ijtihad politik
Muhammadiyah. Dengan kata lain, ada hubungan khusus antara Muhammadiyah dan
PAN yang jika bukan hubungan organisatoris, setidaknya ada hubungan
aspiratif, kultural, dan mungkin juga emosional. Pada masa kepemimpinan
Achmad Syafii Maarif pada 2000–2005, hubungan PAN dengan Muhammadiyah masih
cukup mesra. Hal itu tidak lepas dari sikap Buya Syafii yang selalu
’’ngayomi’’ kadernya di mana saja.
Hubungan
PAN dan Muhammadiyah baru bermasalah ketika Din Syamsuddin terpilih sebagai
ketua umum Muhammadiyah. Namun, gesekan itu hanya masih bersifat temporer,
belum secara masal. Kondisi menjadi buruk karena dengan dorongan Din sejumlah
aktivis PAN yang merasa ’’tidak mendapat tempat’’ pada masa PAN dipimpin
Soetrisno Bachir mendirikan Partai Matahari Bangsa atau PMB. Hasilnya sangat
mengecewakan. PMB mendapat suara kurang dari 1 persen pemilih nasional.
Mungkin
juga karena ’’gangguan’’ dari PMB itu, pada masa kepemimpinan Soetrisno
Bachir, PAN memperoleh suara nasional terendah dalam sejarahnya, yakni hanya
sekitar 6 juta pemilih. Kondisi baru pulih pada masa kepemimpinan Hatta
Rajasa periode 2010–2015. Saat itu, PAN mendapat lebih dari 9 juta suara.
Fakta tersebut menunjukkan keberhasilan Hatta Rajasa sekaligus
mengindikasikan bahwa banyak konstituen Muhammadiyah yang ’’balik kandang’’,
meski Din sebagai ketua umum Muhammadiyah tidak menunjukkan simpatinya kepada
PAN.
Pemilu
Legislatif dan Presiden 2014 menunjukkan tingkat kesadaran politik yang
tinggi di kalangan warga Muhammadiyah. Mereka menyadari bahwa partai politik
merupakan representasi aspirasi kelompok yang paling konkret dalam hidup
bernegara. Sekalipun dalam pemilu tahun lalu Muhammadiyah menyatakan tidak
berafiliasi secara khusus dengan sebuah partai politik, fakta yang tidak bisa
dibantah adalah hanya PAN yang menampung aspirasi politik dan memberikan
posisi kepada tokoh-tokoh yang dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah.
Pada
masa lalu, ada beberapa kader Muhammadiyah yang bergabung di partai lain.
Misalnya, Dr Muchtar Buchori di PDIP, Hajriyanto Y. Thohari di Partai Golkar,
serta Muslim Abdurrachman di PKB. Tetapi, hanya PAN yang benar-benar
memberikan tempat yang seluas-luasnya kepada kader Muhammadiyah untuk
mengembangkan karir politik mereka.
Memang
sudah sewajarnya PAN memberikan tempat bagi warga persyarikatan untuk
mengembangkan karir politik mereka. Sebab, di tingkat akar rumput,
kepercayaan tersebut masih tinggi. Hanya, sangat salah jika PAN kemudian
eksklusif untuk warga Muhammadiyah saja. Sebab, sejak awal PAN bukan partai
politik aliran. Relasi Muhammadiyah dengan PAN memang sebuah keniscayaan yang
harus dijaga dan dipupuk dengan baik. Tetapi, sangat dimaklumi bahwa PAN
harus merangkul dan menampung aspirasi dari non-Muhammadiyah. Itu semua
terkait dengan kiprah serta perjuangan politik PAN dalam menanggapi berbagai
isu penting dalam masyarakat.
Menurut
hemat saya, jika pada masa awal berdirinya PAN selalu berdiri di depan dalam
berbagai masalah nasional seperti pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme) atau isu negara federal, perjuangan HAM, serta politik luar
negeri, sekarang bisa dikatakan PAN sangat tertinggal dalam berbagai masalah
nasional. Contoh paling nyata, ketika menjadi menteri kehutanan, seharusnya
Zulkifli Hasan bisa menjadi ’’ikon perjuangan’’ melawan pembalakan hutan dan
kerusakan lingkungan. Yang malah terjadi, dia menjadi bulan-bulanan di medsos
ketika wawancaranya dengan Harrison Ford di-upload di YouTube.
Kongres
IV di Bali ini merupakan kesempatan emas bagi PAN untuk mengembalikan
kejayaan, sebagai lokomotif ide-ide untuk kepentingan nasional sekaligus
memperbaiki hubungan dengan konstituen utama, khususnya Muhammadiyah.
Semestinya, isu utama bukan soal siapa yang harus dipilih antara Hatta Rajasa
atau Zulkifli Hasan, tetapi justru mengembalikan roh perjuangan politik
sebagai partai reformasi yang ingin melihat Indonesia bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Sekarang sudah 15 tahun PAN berdiri. Tetapi, korupsi,
kolusi, dan nepotisme masih merajalela. Jadi, jihad PAN melawan musuh
reformasi masih harus diteruskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar