Sabtu, 28 Februari 2015

Relasi PAN dan Muhammadiyah

Relasi PAN dan Muhammadiyah

Djoko Susilo  ;  Dubes RI di Bern 2010–2014
JAWA POS, 27 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

SALAH satu isu yang muncul menjelang Kongres IV Partai Amanat Nasional (PAN) di Bali akhir bulan ini adalah soal relasi antara PAN dan Muhammadiyah. Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah yang mantan kader Partai Golkar, di mana-mana menolak adanya relasi antara PAN dan Muhammadiyah. Bahkan, dia berpendapat, PAN tidak merepresentasikan aspirasi politik warga Muhammadiyah. Pernyataan Din itu layak dicermati, mengingat posisinya sebagai orang nomor satu di Muhammadiyah.

Sebenarnya, persoalan relasi antara PAN dan Muhammadiyah muncul sejak partai tersebut dilahirkan pada 1998. Namun, karena saat itu Amien Rais sebagai pendiri PAN juga dikenal sebagai ketua umum Muhammadiyah, persoalan tersebut tidak menjadi isu penting. Bahkan, dalam perkembangannya, di banyak tempat, kader dan infrastruktur Muhammadiyah ikut memfasilitasi berdirinya PAN. Tetapi, sejak awal, PAN memang terbuka. Tidak hanya untuk warga Muhammadiyah, tetapi juga kalangan nonmuslim. Tercatat, di jajaran DPP PAN terdapat nama Albert Hasibuan dan Alvien Lie atau di Jawa Timur terdapat Mikel Liem dan banyak yang lain.

Relasi khusus Muhammadiyah dan PAN diperkuat keluarnya pernyataan Sidang Tanwir Muhammadiyah di Semarang 1999 bahwa PAN adalah hasil ijtihad politik Muhammadiyah. Dengan kata lain, ada hubungan khusus antara Muhammadiyah dan PAN yang jika bukan hubungan organisatoris, setidaknya ada hubungan aspiratif, kultural, dan mungkin juga emosional. Pada masa kepemimpinan Achmad Syafii Maarif pada 2000–2005, hubungan PAN dengan Muhammadiyah masih cukup mesra. Hal itu tidak lepas dari sikap Buya Syafii yang selalu ’’ngayomi’’ kadernya di mana saja.

Hubungan PAN dan Muhammadiyah baru bermasalah ketika Din Syamsuddin terpilih sebagai ketua umum Muhammadiyah. Namun, gesekan itu hanya masih bersifat temporer, belum secara masal. Kondisi menjadi buruk karena dengan dorongan Din sejumlah aktivis PAN yang merasa ’’tidak mendapat tempat’’ pada masa PAN dipimpin Soetrisno Bachir mendirikan Partai Matahari Bangsa atau PMB. Hasilnya sangat mengecewakan. PMB mendapat suara kurang dari 1 persen pemilih nasional.

Mungkin juga karena ’’gangguan’’ dari PMB itu, pada masa kepemimpinan Soetrisno Bachir, PAN memperoleh suara nasional terendah dalam sejarahnya, yakni hanya sekitar 6 juta pemilih. Kondisi baru pulih pada masa kepemimpinan Hatta Rajasa periode 2010–2015. Saat itu, PAN mendapat lebih dari 9 juta suara. Fakta tersebut menunjukkan keberhasilan Hatta Rajasa sekaligus mengindikasikan bahwa banyak konstituen Muhammadiyah yang ’’balik kandang’’, meski Din sebagai ketua umum Muhammadiyah tidak menunjukkan simpatinya kepada PAN.

Pemilu Legislatif dan Presiden 2014 menunjukkan tingkat kesadaran politik yang tinggi di kalangan warga Muhammadiyah. Mereka menyadari bahwa partai politik merupakan representasi aspirasi kelompok yang paling konkret dalam hidup bernegara. Sekalipun dalam pemilu tahun lalu Muhammadiyah menyatakan tidak berafiliasi secara khusus dengan sebuah partai politik, fakta yang tidak bisa dibantah adalah hanya PAN yang menampung aspirasi politik dan memberikan posisi kepada tokoh-tokoh yang dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah.

Pada masa lalu, ada beberapa kader Muhammadiyah yang bergabung di partai lain. Misalnya, Dr Muchtar Buchori di PDIP, Hajriyanto Y. Thohari di Partai Golkar, serta Muslim Abdurrachman di PKB. Tetapi, hanya PAN yang benar-benar memberikan tempat yang seluas-luasnya kepada kader Muhammadiyah untuk mengembangkan karir politik mereka.

Memang sudah sewajarnya PAN memberikan tempat bagi warga persyarikatan untuk mengembangkan karir politik mereka. Sebab, di tingkat akar rumput, kepercayaan tersebut masih tinggi. Hanya, sangat salah jika PAN kemudian eksklusif untuk warga Muhammadiyah saja. Sebab, sejak awal PAN bukan partai politik aliran. Relasi Muhammadiyah dengan PAN memang sebuah keniscayaan yang harus dijaga dan dipupuk dengan baik. Tetapi, sangat dimaklumi bahwa PAN harus merangkul dan menampung aspirasi dari non-Muhammadiyah. Itu semua terkait dengan kiprah serta perjuangan politik PAN dalam menanggapi berbagai isu penting dalam masyarakat.

Menurut hemat saya, jika pada masa awal berdirinya PAN selalu berdiri di depan dalam berbagai masalah nasional seperti pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) atau isu negara federal, perjuangan HAM, serta politik luar negeri, sekarang bisa dikatakan PAN sangat tertinggal dalam berbagai masalah nasional. Contoh paling nyata, ketika menjadi menteri kehutanan, seharusnya Zulkifli Hasan bisa menjadi ’’ikon perjuangan’’ melawan pembalakan hutan dan kerusakan lingkungan. Yang malah terjadi, dia menjadi bulan-bulanan di medsos ketika wawancaranya dengan Harrison Ford di-upload di YouTube.

Kongres IV di Bali ini merupakan kesempatan emas bagi PAN untuk mengembalikan kejayaan, sebagai lokomotif ide-ide untuk kepentingan nasional sekaligus memperbaiki hubungan dengan konstituen utama, khususnya Muhammadiyah. Semestinya, isu utama bukan soal siapa yang harus dipilih antara Hatta Rajasa atau Zulkifli Hasan, tetapi justru mengembalikan roh perjuangan politik sebagai partai reformasi yang ingin melihat Indonesia bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sekarang sudah 15 tahun PAN berdiri. Tetapi, korupsi, kolusi, dan nepotisme masih merajalela. Jadi, jihad PAN melawan musuh reformasi masih harus diteruskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar