Pengawasan
oleh Mahkamah Agung
M Ali Zaidan ; Dosen Program Magister Ilmu Hukum UPN Veteran
Jakarta
|
KOMPAS,
26 Februari 2015
Pengadilan negeri tidak menerima permohonan kasasi yang
diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait putusan praperadilan kasus
Komisaris Jenderal Budi Gunawan, beberapa waktu lalu. Dengan demikian, secara
yuridis normatif, upaya hukum yang akan dilakukan telah kandas. Salah satu
upaya hukum yang masih tersisa adalah mengajukan peninjauan kembali. Meskipun
demikian, tidak ada jaminan bahwa upaya tersebut akan sukses.
Acuan pengadilan negeri dalam menolak permohonan
praperadilan adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perkara yang Tidak Memenuhi Syarat Kasasi dan Peninjauan Kembali. Di
dalam SEMA tersebut ditegaskan bahwa salah satu alasan tidak
dipertimbangkannya permohonan kasasi adalah putusan praperadilan, di samping
permintaan kasasi yang melampaui tenggang waktu yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Secara tekstual, berbagai upaya hukum yang akan diajukan
oleh pemohon untuk melawan putusan praperadilan tidak tersedia lagi. Akan
tetapi, secara kontekstual, apa pun bentuk putusan pengadilan tetap dapat
dipersoalkan sepanjang tujuannya adalah untuk memberikan keadilan.
Keadilan merupakan roh penegakan hukum. Dengan perkataan
lain, tanpa tegaknya keadilan, penegakan hukum akan sia-sia. Dengan tegas
undang-undang telah menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum wajib
menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
Hal itu berarti bahwa pengadilan tidak hanya bertugas
menegakkan undang-undang, tetapi juga berusaha sekuat tenaga agar rasa
keadilan masyarakat dipenuhi. Pembacaan terhadap teks hukum harus mengikuti
apa yang dikemukakan oleh Donald Black, yakni moral readings. Hal itu berarti
bahwa dalam menafsirkan hukum, hakim tidak cukup membaca pasal-pasal
undang-undang tanpa menghubungkannya dengan tujuan penegakan hukum itu
sendiri.
Pembacaan secara moral terhadap teks hukum harus dilakukan
secara komprehensif dengan menghubungkannya dengan berbagai kepentingan
faktual yang saling berantinomi, antara kepastian hukum dan keadilan serta
antara melindungi kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat.
Penafsiran futuristik
Undang-undang pada hakikatnya merupakan simbol untuk
menyampaikan norma-norma tertentu. Norma-norma itu dibadankan dalam bentuk
undang- undang, khususnya hukum materiil. Sementara dalam hukum formal tidak
terdapat norma- norma yang demikian itu sehingga dapat ditafsirkan oleh
hakim.
Ketentuan hukum acara pada hakikatnya tidak melambangkan
norma sehingga tunduk pada penafsiran hakim. Dalam penerapan hukum formal,
hakim tinggal mengikuti aturan yang telah ditetapkan undang-undang.
Putusan hakim merupakan salah satu perwujudan dari wacana
simbolik. Sebab, ia merupakan hasil perpaduan antara penerapan hukum dan
aspek kepribadian hakim yang sangat kompleks.
Sepanjang untuk menemukan keadilan, adalah manusiawi
apabila putusan hakim tetap dapat dipersoalkan. Terbitnya SEMA tersebut di
atas tidak terlepas dari pengandaian bahwa hakim dalam memeriksa permohonan
praperadilan tidak terlepas dari ketentuan yang secara tekstual telah
dirumuskan dalam undang-undang.
Meskipun putusan praperadilan lalu telah menyinggung aspek
penemuan hukum, tidak sedikit pun aspek itu dapat dibaca, kecuali tafsir
terhadap legal standing termohon.
Putusan hakim tersebut hanya akan bermakna apabila hakim menyatakan bahwa
dalam putusannya ia telah melakukan penafsiran secara futuristik/anticiperend. Artinya, penafsiran yang
dilakukan adalah dengan mengacu pada RUU KUHAP yang telah mengintroduksi
lembaga hukum hakim pemeriksa pendahuluan, di mana salah satu wewenangnya
adalah melakukan pemeriksaan bahwa penyidikan dan penuntutan telah dilakukan
untuk tujuan yang tidak sah ataupun terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka
selama tahap penyidikan.
Berdasarkan undang-undang, salah satu fungsi Mahkamah
Agung adalah melakukan pengawasan terhadap pengadilan bawahannya. Pengawasan
tersebut dilakukan baik dalam aspek penerapan hukum maupun yang berkaitan
dengan kompetensi pengadilan.
Berbagai analisis obyektif telah dikemukakan, yang pada
pokoknya putusan hakim praperadilan telah melanggar batas-batas keduanya.
Oleh karena itu, sebagai badan peradilan tertinggi, sudah seharusnya Mahkamah
Agung (MA) secara proaktif melakukan pengawasan, khususnya terhadap legal
reasoning yang digunakan hakim ketika memutus perkara a quo.
MA dapat secara progresif memberikan tafsir yang mengikat
dan bersifat final atas perkara a quo
sehingga di belakang hari tidak terjadi penafsiran yang saling bertentangan,
yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum. Fungsi pengawasan MA di samping
untuk menjaga agar semua undang-undang diterapkan secara benar dan adil, juga
untuk membina keseragaman hukum dalam penerapannya. Apabila kedua fungsi itu
dijalankan, kontroversi dalam penegakan hukum akan diminimalkan.
MA kita dapat berkaca pada putusan John Marshall yang
secara revolusioner membongkar mitos bahwa MA lembaga konservatif. Anggapan
tersebut dipatahkan oleh Marshall ketika memutuskan undang-undang
bertentangan dengan konstitusi. Padahal, tidak satu pun pasal undang-undang
memberi kewenangan kepada MA untuk melakukan hal itu. Namun, di belakang hari
putusan tersebut menjadi pola judicial
review di sejumlah negara.
Dengan demikian, MA telah melakukan revolusi hukum yang
luar biasa. Kalau negara liberal saja telah melakukan revolusi seperti itu,
apakah di negara Pancasila hal itu tidak boleh dilakukan demi ketuhanan dan
perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar