Menjadi Petugas Partai
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen
Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center
Murdoch University
|
JAWA
POS, 26 Februari 2015
SESAAT
setelah Bung Karno keluar dari pengapnya penjara kolonial Sukamiskin pada
1933, tekadnya untuk melanjutkan perjuangan politik ditambatkan kembali
dengan menulis sebuah risalah panjang berjudul Mencapai Indonesia Merdeka.
Risalah klasik kaum pergerakan itu dalam banyak hal masih relevan untuk
menyegarkan arena politik kita. Salah satu hal yang menarik dari risalah
tersebut adalah Soekarno menguraikan tugas utama partai politik beserta para
aktivis yang ada di dalamnya. Suatu pesan yang patut untuk digali kembali di
tengah maraknya pembicaraan tentang petugas partai dalam ruang politik di
Indonesia terkini.
Dalam
karyanya di atas, Soekarno memberikan solusi bahwa sebuah partai yang sadar,
partai pelopor, haruslah lahir sebagai pemandu jalan yang selalu mengikatkan
aksi politiknya kepada semangat rakyat yang sadar akan tujuan kemerdekaan.
Partai dengan kader-kadernya seharusnya memiliki disiplin ideologis dan
komitmen terhadap tujuan Indonesia merdeka, sekaligus menjauhkan diri dari
setiap bentuk penyelewengan dan korupsi yang mengakibatkan berbeloknya tujuan
perjuangan bersama.
Seruan
Soekarno tentang peran partai politik dan petugas partai adalah seruan yang
tak lekang oleh zaman meski ditorehkan pada era kolonialisme. Dalam konteks
proses demokrasi di Indonesia yang bersendi sistem multipartai, sudah seharusnya
setiap politikus dan kader-kader partai politik adalah petugas partai.
Petugas dari partai yang mana alasan keberadaannya adalah menjadi kanal
agregasi dari aspirasi publik yang menjadi konstituennya. Partai yang
memiliki tugas untuk menjalankan pendidikan politik sehingga rakyat sadar
akan hak-hak publiknya untuk terlibat dalam pembangunan sekaligus melawan
berbagai bentuk korupsi yang berlangsung dalam penyelenggaraan republik.
Setiap politikus, termasuk mereka yang menjadi pejabat publik seperti presiden,
adalah petugas partai yang dalam tindakan dan langkahnya mencerminkan program
ideologis yang menjadi karakter dari partai politik sebagai bagian dari basis
politiknya.
Namun,
persoalan timbul ketika memahami kondisi politik terkini. Kondisi demokrasi
post-authoritarianism di Indonesia telah menjadikan partai politik tidak
menjelma sebagai penyambung kehendak rakyat sebagai konstituen pemilik
kedaulatan republik. Dalam pertautan antara kepentingan, kuasa, dan politik,
konstelasi politik di Indonesia menghasilkan partai yang menjadi mesin
politik bagi sarana untuk mempertahankan kekuasaan dan kemakmuran dari
lingkaran terbatas elite politik yang menguasainya.
Dalam
kondisi demikian, ketika partai politik menjadi perpanjangan kepentingan
elite penguasa bukannya kanal aspirasi rakyat sebagai pemilih, makna
politikus seperti halnya presiden sebagai petugas partai harus ditafsirkan
kembali. Peran presiden yang berangkat dari politikus sebagai petugas partai
tidaklah identik sebagai pelaksana kepentingan dari penguasa partai politik,
apalagi ketika kepentingan para elite partainya bertolak belakang, baik
dengan kehendak pemberantasan korupsi maupun penyelenggaraan tata kelola
bernegara yang demokratik. Dalam kasus kontroversi pengangkatan Kapolri
ataupun penggerogotan otoritas KPK, yang agaknya membenturkan kepentingan
penguasa partai politik dengan tujuan pemerintahan dalam agenda pemberantasan
korupsi, peran Presiden Joko Widodo sebagai petugas ideologi partai
semestinya tidak membiarkan terjadinya penggerogotan kedaulatan KPK dalam
melaksanakan tugas pemberantasan korupsi.
Ketika
kita kembalikan substansi dari petugas partai dalam spirit yang diserukan
Bung Karno dalam risalahnya, Mencapai Indonesia Merdeka, di atas, ukuran baik
bagi presiden ataupun elite-elite dan kader parpol sebagai petugas partai
dinilai atas konsistensi mereka untuk bergerak sejalan dengan seruan publik
yang menghendaki pemberantasan korupsi. Juga, penguatan instrumen kelembagaan
yang mendorong terbangunnya integritas institusi penunjangnya seperti KPK.
Ketika kontradiksi antara kehendak elite politik untuk tidak mau berdamai
dengan kehendak publik untuk membangun kehidupan republik yang bersih dan
bebas korupsi, elite-elite partai politik sendirilah yang tidak mampu
memerankan diri sebagai petugas partai secara otentik.
Partai sebagai Sumber Daya
Sehubungan
dengan konstelasi politik Indonesia terkait dengan posisi antara kekuatan
oposisi berhadapan dengan kubu pemerintah, Joko Widodo saat ini berada di
posisi yang sulit. Komposisi politik memperlihatkan bahwa mayoritas tekanan
oposisi terhadap pemerintah mengharuskan koalisi internal di dalam tubuh
pemerintahan membangun soliditas dengan pemimpin dengan menjalankan performa
pemerintahan yang sejalan dengan kehendak publik untuk membangun kehidupan
bernegara yang bersih dan demokratik. Kondisi demikian memaksa presiden untuk
mengakomodasi kepentingan elite partai yang bertentangan dengan seruan
pemberantasan korupsi. Hal tersebut mengundang bencana politik yang lebih
besar bagi pihak pemerintah. Membenturkan presiden dan kehendak rakyat yang
berharap di bawah Joko Widodo akselerasi pembangunan akan terbebas dari
penyakit kronis korupsi adalah manuver yang berakibat hancurnya wibawa
presiden dan pemerintahan sekaligus pengabaian atas sendi-sendi ideologis
dari kehadiran partai dalam kehidupan demokrasi.
Dalam
kondisi krisis politik seperti sekarang, penting kita merenungkan pandangan
Richard J. Samuels (2003), profesor ilmu politik. Yakni, kepemimpinan politik
ditentukan dari kemampuan pemimpin untuk melenturkan hambatan-hambatan
politik melalui keterampilan untuk memanfaatkan sumber-sumber daya sosial,
politik, dan ekonomi sebagai sarana mencapai tujuan yang telah ditentukan
bersama. Dalam hari-hari yang panjang saat ini, kemampuan politik Joko Widodo
tengah diuji untuk mengonsolidasikan sumber daya yang ada, baik itu partai
politik maupun kekuatan masyarakat sipil, untuk menghadapi tekanan
oposisional maupun memajukan agenda-agenda reformis yang terbengkalai.
Sementara itu, peran-peran para elite penguasa partai saat ini ditunggu
sebagai petugas partai, untuk menyatukan diri dengan kehendak kolektif rakyat
yang selama ini tertinggal dan dipinggirkan dari pengelolaan hidup bernegara
maupun pembangunan yang menyentuh hajat hidup mereka sebagai warga negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar