“Langit
Kita Semakin Rendah”
Suwidi Tono ; Koordinator Forum
”Menjadi Indonesia”
|
KOMPAS,
24 Februari 2015
Tahun 1977, Profesor Sutan Takdir Alisjahbana melontarkan
refleksi kekecewaan atas kondisi pendidikan dan kualitas bangsa. Ketika itu
ia menggulirkan frase ”Langit Kita
Semakin Rendah”, untuk menunjuk kedangkalan sistem belajar-mengajar dan
etos bangsa yang lemah dalam melecut semangat meraih kemajuan.
Kemasygulan tokoh Pujangga Baru itu agaknya tetap relevan
sampai sekarang. Sayangnya, kegentingan ini tidak beroleh respons
fundamental. Selain karena pemahaman fragmentaristik, miskin paradigma, dan
konflik kepentingan, juga sejalan dengan sinyalemen Yudi Latif (Kompas, 2 Februari 2015), ada narasi
anti intelektual yang menyepelekan visi sejarah, kebenaran, dan keadilan.
Akibatnya, bangunan republik kita tidak bertumbuh kembang
sebagai rumah bangsa yang kokoh dan bercahaya. Kendati pendiri republik telah
membangun fondasi kuat dan rancangan batang tubuh sarat cita-cita besar nan
mulia, para penerusnya tak kunjung mengejawantahkannya menjadi kerja besar
dan kerja cerdas bersama.
Pendangkalan
Beberapa realitas banal yang terus berlangsung berikut ini
berguna untuk melacak jejak pendangkalan tak kunjung akhir. Pertama, harga
dana (cost of fund) stabil mahal,
langka, dan sulit diakses pelaku ekonomi kecil-menengah meskipun restorasi
sektor keuangan dan investasi sudah berlangsung sejak 1988. Mobilisasi
dana-dana jangka panjang (asuransi kesehatan, tenaga kerja, pendidikan,
perumahan, hari tua, pasar modal) untuk menopang kebutuhan investasi tetap
jauh dari memadai dengan utilitas terbatas.
Padahal, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan saat ini
(Desember 2014) Rp 187 triliun dengan peserta 20,6 juta tenaga kerja. Target
hingga 2018 dana kelolaan akan mencapai Rp 500 triliun dan peserta aktif 40
juta tenaga kerja. Untuk BPJS Kesehatan yang sekarang mencapai 130 juta lebih
peserta, juga dapat dihimpun dana puluhan hingga ratusan triliun rupiah.
Dana-dana masyarakat jangka panjang ini, bersama dana pensiun BUMN, Taspen,
Asabri, sesungguhnya merupakan aset luar biasa jika skema pemanfaatannya
diubah optimal seperti dilakukan negara-negara lain lewat provident fund, housing society, secondary
mortgage financing, dan instrumen investasi lainnya. Negara semestinya
memastikan kegotongroyongan melembaga untuk memikul tanggung jawab bersama
pada tiga kebutuhan mendasar: pendidikan, kesehatan, kesejahteraan.
Investasi sejak era Orde Baru dihela dengan mengundang
modal asing, tetapi lengah membangun basis kapital (capital formation) dan produksi dalam negeri, baik yang bersumber
dari tabungan domestik maupun surplus ekspor. Ditambah dengan lemahnya
pengaturan repatriasi, transfer pricing, dan perpajakan, capital outflow ke
negara jiran dari para pelaku rente terus meningkat.
Tiongkok sukses memadukan kebijakan ”pintu terbuka”
berjalan paralel dengan penguatan kapasitas ekonomi nasional. Deng Xiaoping,
pencetus reformasi ”sosialisme pasar” tahun 1978, menyusun peta jalan
pembaruan khas Tiongkok dan dijalankan secara konsisten oleh penerusnya.
Total utang luar negeri Tiongkok (pemerintah dan swasta) mencapai 863 miliar
dolar AS, tetapi negara itu membukukan cadangan devisa 3,99 triliun dollar AS
akhir 2014 dan total PDB-nya kini nomor satu di dunia. Sementara Indonesia,
total utang luar negeri per Januari 2015 mencapai 294 miliar dollar AS dan
cadangan devisa hanya 115 miliar dollar AS, yang sebagian bersumber dari
penjualan obligasi global pemerintah. Artinya, neraca pembayaran kita tidak
berkualitas dan sekaligus menunjukkan rapuhnya basis industri berorientasi
ekspor.
Kedua, konservasi energi tidak berlanjut dan malah semakin
boros. Jumlah kendaraan bermotor (roda dua, mobil pribadi, angkutan, dan
lain-lain) melonjak dari hanya sekitar 8 juta unit tahun 1987 menjadi lebih
dari 120 juta unit akhir tahun 2014. Menurut perhitungan SKK Migas, jika laju
pengurasan minyak tetap seperti sekarang (sekitar 800.000 barrel per hari)
dan dengan asumsi tidak ada penemuan sumber minyak baru, maka cadangan minyak
kita akan habis 11 tahun lagi. Demikian pula, dengan tingkat konsumsi dan
ketersediaan produksi, energi gas diperkirakan habis tahun 2019.
Ketiga, mewabahnya korupsi dan narkoba hanya simtom dari
”gunung es” kebobrokan penegakan hukum dan kerusakan sosial. Isyarat buruk
itu telah diwanti-wanti Bung Hatta selaku penasihat Komisi Empat (Wilopo,
1970) yang mengusut korupsi di Bulog dan Pertamina. Proklamator ini tandas
menyebut korupsi sebagai ancaman paling nyata kehancuran bangsa Indonesia.
Alternatif moratorium permanen atau ”tobat” nasional dapat
membuka jalan bagi penghentian dua jenis kejahatan kemanusiaan ini. Enough is enough. Lewat dekrit ”tutup
buku” menuju lembaran baru republik, negara memberi pengampunan atas
dosa-dosa masa lalu dan memaklumkan perang sekaligus hukuman berat bagi para
koruptor dan mafia narkoba.
Keempat, pemborosan anggaran sebagai bentuk kelemahan
perencanaan dan evaluasi. Sekadar ilustrasi, di kota kelahiran saya, Caruban,
ibu kota Kabupaten Madiun, misalnya, tahun 1974 dibangun terminal angkutan
umum yang sekarang berubah fungsi menjadi pasar burung. Kesalahan berulang,
terminal baru dibangun berjarak kurang dari satu kilometer, hanya untuk
”memaksa” pengemudi angkutan umum masuk dan membayar retribusi, sementara
terminalnya sepi penumpang. Bahkan di Musi Rawas, Sumatera Selatan, terminal
bus dibangun di tengah hutan, jauh dari hunian penduduk. Di Kendal, Jawa
Tengah, bangunan terminal yang megah kini cuma menjadi tempat tidur para
gepeng. Ada banyak kota yang membangun terminal angkutan umum di jalan-jalan
lingkar luar dengan biaya miliaran rupiah dan memetik hasil serupa. Amat
mengherankan, Bappenas dan BPKP tidak mendeteksi fakta kekacauan yang telah
berlangsung puluhan tahun ini.
Kelima, impor bahan pangan—termasuk hortikultura—yang
mencapai lebih dari Rp 200 triliun setiap tahun menghendaki lebih dari
sekadar peningkatan dan penajaman anggaran, intensifikasi- ekstensifikasi,
perbaikan kebijakan dan kelembagaan, tetapi jauh lebih penting inovasi dan
perubahan total paradigma. Selama petani dan pelaku produksi lainnya tidak
menjadi subyek dan merasakan manfaat, tekad kedaulatan pangan hanyalah
program menggantang asap.
Keenam, arus urbanisasi yang melanda hampir semua kota di
Indonesia menyuburkan para pemodal besar, makelar tanah dan properti yang
menguasai lahan-lahan strategis dan membuat harga tanah di pusat kota
selangit, apartemen dan mal mewabah. Kondisi ini memaksa para pekerja dan
masyarakat bawah terdesak di kampung-kampung kumuh, gang-gang sempit
bersanitasi buruk, atau bermukim di pinggir kota, jauh dari sumber mencari
nafkah, mengeluarkan ongkos transportasi dan waktu lebih. Tumpul rasa para
pengendali tata ruang kota ini menyembunyikan sesuatu yang lebih dahsyat:
watak koruptif endemik dan tunduk pada kekuatan modal.
Pesan Bung Karno
Rangkuman beberapa persoalan tersebut mengantarkan kita
pada gugatan: mengapa perjalanan republik melenceng demikian jauh? Para
pendiri bangsa bukan hanya meletakkan landasan konseptual menuju bangsa
besar, melainkan juga meninggalkan jejak rintisan berharga seperti Krakatau
Steel, Nurtanio, PAL, INKA, Semen dan Petrokimia Gresik, PT Pusri, dan Pindad
sebagai bekal kemandirian dan kedaulatan. Semua itu merupakan pertanda sangat
jelas bagi kita yang berpikir.
Pada era pergerakan 1920 sampai 1945, penduduk bumiputra
hampir mutlak buta huruf (99,9 persen dari sekitar 56 juta penduduk).
Walaupun demikian, lahir segelintir generasi emas hasil didikan ”sekolahan
Belanda” yang kemudian melesat menjadi pribadi-pribadi unggul dari sisi
moralitas, integritas, kompetensi, dan kepeloporan untuk memandu bangsanya
meraih kemerdekaan.
Boleh jadi karena kesadaran atas rasa hayat sejarah itu, Bung
Karno berulang kali berpesan: ”Perjuanganku
mengusir penjajah tidaklah sesulit perjuanganmu kelak melawan bangsamu
sendiri.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar