Mencari
Pemutus Sengketa Hasil Pilkada
Refly Harun ; Ahli Hukum Tata Negara;
Mengajar di Program Pascasarjana UGM
|
KORAN
SINDO, 24 Februari 2015
Pembentuk undang-undang seperti kehabisan akal untuk
mencari jawaban hendak diberikan ke institusi apa kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang berasal dari Perppu
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota,
memberikan kembali wewenang menyelesaikan sengketa hasil pilkada kepada
Mahkamah Agung (MA). Aspirasi ini sangat disokong oleh pemerintah (baca:
Kementerian Dalam Negeri) karena berupaya mengembalikan pilkada ke dalam
rezim pemerintahan daerah, bukan lagi rezim pemilihan langsung.
Keinginan Kemendagri tersebut ternyata tidak didukung oleh
DPR. Melalui revisi terbatas UU Nomor1/2015, merekatetap menginginkan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyelesaikan sengketa hasil pilkada sebelum
dibentuk badan peradilan khusus. Terlebih MA sudah menyatakan keberatannya
karena menerima dan masih menunggak banyak perkara.
Persoalannya, dalam putusan Tahun 2013, MK sudah pernah
menyatakan bahwa menempatkan sengketa pilkada ke MK bertentangan dengan UUD
1945 karena pilkada bukan pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
Kontroversi MA
Awalnya, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, undangundang yang mengubah pilkada melalui DPRD menjadi
pilkada langsung oleh rakyat, penyelesaian sengketa hasil pilkada memang
diserahkan kepada MA. Untuk sengketa hasil pemilihan gubernur, MA langsung
mengadili sendiri, tetapi untuk sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota
diserahkan kepada pengadilan-pengadilan tinggi.
Selama sengketa hasil pilkada disidangkan MA sejak 2005
hingga 2008 mencuat beberapa kontroversi. Yang paling menonjol Pilkada Depok
2005, Pilkada Maluku Utara 2007, dan Pilkada Sulsel 2007. Tiga pilkada
tersebut telah memunculkan pertikaian antarkubu yang bersaing dan semakin
diperuncing dengan putusan pengadilan yang justru tidak menyelesaikan
masalah, tetapi malahan memancing masalah baru.
Pada Pilkada Depok 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat
telah membuat putusan yang tidak masuk akal yaitu memenangkan gugatan
pasangan yang kalah dengan hanya berbekal asumsi. Salah satunya menghitung
suara mereka yang tidak memilih.
Akibat itu, meski undang-undang tidak mengatur mekanisme
peninjauan kembali (PK) karena putusan sangat tidak rasional, MA akhirnya
membatalkan putusan PT Jabar. Pada Pilkada Sulsel 2007, putusan MA menyulut
kontroversi karena memerintahkan pilkada ulang, padahal maksudnya pemungutan
suara ulang.
Karena perintahnya pilkada ulang, yang artinya proses
mulai dari pemutakhiran data pemilih hingga pelantikan pasangan calon
terpilih, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. KPU Sulsel pun
mengajukan PK dan akhirnya MA mengabulkan PK tersebut. Pada Pilkada Maluku
Utara, MA tidak memberikan putusan yang pasti terhadap kubu yang dimenangkan.
MA hanya memberikan perintah menghitung ulang suara,
padahal KPU Maluku Utara telah terbelah. Penghitungan ulang dilakukan, tetapi
hasilnya tetap tidak jelas siapa yang menang karena ada dua versi KPU Maluku
Utara dengan dua versi hasil penghitungan pula. Kontroversi di MA telah
menyulutkan tuntutan untuk menggeser penyelesaian sengketa ke MK yang
dipandang lebih kredibel.
Secara resmi, sejak pertengahan 2008, melalui UU Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32/2004, MK menyidangkan sengketa
hasil pilkada yang telah bergeser maknanya menjadi pemilihan umum kepala
daerah (pemilukada). Banyak apresiasi yang dialamatkan ke MK selama
menyidangkan sengketa hasil pemilukada.
Ratusan kasus telah diselesaikan tanpa riak berarti karena
tingkat kepercayaan masyarakat yangtinggi. Hingga, pada 2 Oktober 2013, Ketua
MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap dari Bupati Gunung Mas Hambit
Bintih. Akil dibui dan diganjar hukuman seumur hidup, hukuman tertinggi bagi
koruptor hingga saat ini.
Kendati persoalan Akil sempat meruntuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap MK hingga titik nadir, perlahan tapi pasti di bawah
kepemimpinan Hamdan Zoelva, MK merebut kembali kepercayaan masyarakat. Secara
umum masyarakat tidakmenolak kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa
pemilukada hingga MK sendiri yang menghapuskan kewenangan tersebut dalam
putusan pada 2013.
Alhasil, ketika pembentuk undang-undang mencari lembaga
yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pilkada (setelah undang-undang
mengembalikan lagi terminologi pemilukada menjadi pilkada), pilihan menjadi
begitu sempit. Karena sudah ada putusan MK, logikanya penanganan harus balik
lagi ke MA.
Masalahnya, MA berkeberatan dan masyarakat sipil penggiat
pemilu juga tidak ingin MA. Sebagai jalan tengahnya, pembentuk undangundang
memerintahkan penanganan sengketa hasil pilkada kepada badan pengadilan
khusus. Namun, selama badan tersebut belum terbentuk, MK kembali diberikan
kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pilkada.
Wewenang Bawaslu
Dari sisi teori, peradilan hanyalah salah satu pilihan
bagi penyelesaian sengketa pemilu, termasuk sengketa hasil pilkada. Selain
pengadilan, kewenangan juga dapat diberikan kepada parlemen, penyelenggara
pemilu, dan instrumen internasional. Yang terakhir pernah terjadi di
Afghanistan karena institusi lokal sudah ambruk sehingga penyelesaian
diserahkan kepada instrumen-instrumen internasional yang membantu pelaksanaan
pemilu di negara itu.
Dalam konteks Indonesia, pilihan selain pengadilan masih
terbuka untuk penyelesaian oleh penyelenggara pemilu. Oleh parlemen sangat
tidak mungkin karena level kepercayaan terhadap parlemen sangat rendah,
terlebih bila dikaitkan dengan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil
pemilu dan pilkada.
Sementara instrumen internasionalsangat tidakdiperlukan
karena institusi lokal masih mungkin berjalan normal. Penyelenggara pemilu di
Indonesia terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu). Kepada lembaga mana penyelesaian sengketa hasil pilkada
hendak diberikan?
Saya lebih sepakat bila penyelesaian sengketa hasil
pilkada tersebut diserahkan kepada Bawaslu. Saat ini Bawaslu diberikan tiga
kewenangan yaitu melakukan pengawasan, penanganan tindak pidana pemilu, dan
penyelesaian sengketa dalam konteks pemilu legislatif. Bisa dikatakan, bisnis
inti dari Bawaslu adalah pengawasan. Padahal, justru di sinilah letak
persoalannya.
Pengawasan tidak jelas ukurannya. Antara input dan ouptput
tidak terukur. Tidak heran banyak pihak yang menyatakan lebih baik peran
pengawasan Bawaslu diserahkan kepada masyarakat, pemantau, parpol, dan
kandidat. Peran untuk terlibat dalam penanganan tindak pidana pemilu juga
tidak dibutuhkan mengingat kewenangan Bawaslu tidak menentukan.
Lebih baik Bawaslu berkonsentrasi pada kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa pemilu, yang jelas sangat bisa diukur tingkat
keberhasilan dan kegagalannya. Termasuk dalam hal ini kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Untuk sengketa hasil pemilu legislatif
dan presiden, karena sudah ditentukan dalam UUD 1945, mau tidak mau harus
diserahkan kepada MK.
Saya termasuk yakin bahwa penyelesaian sengketa hasil
pilkada oleh Bawaslu akan jauh lebih baik bila dibandingkan menyerahkannya
kembali ke MA sebagaimana disebut dalam UU Nomor 1/2015. Terlebih MA
menyerahkan penanganan sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota ke
pengadilan tinggi. Di bawah rezim MA, bisa jadi pilkada akan bertambah mahal.
Para pecundang dan pengacara siap-siap menunggu di
tikungan untuk mempersoalkan sengketa hasil pilkada ke MA atau pengadilan
tinggi. Dambaan pilkada murah menjadi hanya menggantang asap. Terhadap
keputusan untuk mengembalikan ke MK untuk sementara waktu sebelum
terbentuknya badan pengadilan khusus, saya termasuk yang sepakat.
Namun, bila putusan MK pada 2013 menghalangi lembaga ini
untuk menangani sengketa hasil pilkada secara permanen, Bawaslu yang
direformasi dari sisi kelembagaan dan personel dapat menjadi pilihan. Tidak
perlu membentuk lembaga baru yang pastinya akan memakan biaya, padahal ada
lembaga yang masih bisa dimaksimalkan fungsinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar