Jumat, 27 Februari 2015

Tantangan Gerakan “Online” Masyarakat Adat

Tantangan Gerakan “Online” Masyarakat Adat

Firdaus Cahyadi ;  Direktur Informasi dan Komunikasi
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
KOMPAS, 26 Februari 2015

                                                    
                                                

Tumbangnya rezim Orde Baru menjadi berkah bagi masyarakat adat Nusantara yang sudah lama tertindas dengan berbagai kebijakan pemerintah atas nama pembangunan, termasuk labelisasi istilah alias stigma untuk memperlancar pelaksanaan proyek-proyek. Tidak mengherankan apabila masyarakat adat mempertahankan tanah leluhurnya pun tak mampu.

Istilah yang merupakan stigma negatif bagi keberadaan masyarakat adat, di antaranya, adalah masyarakat tertinggal, masyarakat pedalaman, masyarakat tradisional, dan suku primitif. Istilah-istilah itu merupakan ”stempel” yang sarat dengan tuduhan diskriminatif dan melecehkan. Intinya, rezim Orde Baru menganggap tidak ada masyarakat adat di Indonesia. Media pun, karena terberangus kebebasannya, menjadi relatif tidak kritis.

Kini Orde Baru telah tumbang. Kebebasan pers sudah dibuka secara lebar. Media massa arus utama diharapkan menjadi ujung tombak yang mampu memberikan informasi yang berimbang mengenai keberadaan masyarakat adat di Indonesia. Namun, dalam kenyataannya, sebagian media massa di Indonesia belum memiliki kepekaan terhadap isu-isu masyarakat adat.

Sebuah stasiun televisi di Jakarta, misalnya, pernah menayangkan acara dengan judul Primitive Runaway. Acara itu menempatkan interaksi yang terjadi antara selebritas dan masyarakat adat. Sang selebritas ditempatkan dalam posisi yang tinggi, sementara masyarakat adat ditempatkan dalam posisi yang rendah. Acara itu kemudian mendapat protes keras dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan berbagai elemen masyarakat lainnya.

Tidak hanya di televisi. Stigma negatif masyarakat adat juga muncul di media massa cetak dan online. Pemberitaan negatif media-media massa besar terhadap masyarakat adat memang perlu dikritisi. Namun, di sisi lain, pemberitaan-pemberitaan negatif yang muncul terkait dengan masyarakat adat di media-media massa Jakarta dan jaringannya tidak bisa dilepaskan dari struktur media di Indonesia.

Berpusatnya media massa di Jakarta membuat pemberitaan mengenai masyarakat adat yang berada di luar Jakarta, bahkan Jawa, menjadi bias Jakarta. Gaya hidup penduduk Jakarta menjadi acuan dalam melihat kehidupan masyarakat adat. Akibatnya, peliputan mengenai masyarakat adat yang tinggal di luar Jakarta cenderung negatif.

Di tengah situasi seperti itu, masyarakat adat mulai menggeliat. Masyarakat adat menyadari bahwa media arus utama memang berperan penting, tetapi masyarakat adat tidak boleh bergantung pada media massa arus utama.

Komunitas Masyarakat Adat butuh media alternatif, seperti radio komunitas, buletin, Facebook, Twitter, dan blog, karena ini jalan bagi mereka menyampaikan apa yang mereka hadapi. Gerakan sosial di internet bisa mendorong perubahan ke arah yang lebih baik.

Sebagian aktivis masyarakat adat di berbagai penjuru Nusantara pun mulai membangun blog, bahkan situs web. Grup-grup di Facebook terkait dengan masyarakat adat pun mulai bermunculan. Petisi online terkait dengan perjuangan masyarakat adat pun bermunculan di Change.org. Semua media online tersebut menyuarakan perjuangan masyarakat adat yang sering kali tidak mendapatkan ruang di media massa.

Tantangan bermedia

Di tengah geliat masyarakat adat bermedia tersebut, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh aktivis masyarakat adat. Pertama, masih timpangnya kesenjangan pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan informatika (telematika) antara Jawa dan luar Jawa. Sementara sebagian besar masyarakat adat Nusantara berada di luar Jawa.

Wilayah Jawa juga merupakan wilayah desa penerima sinyal seluler terbanyak dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Tak heran pula pada tahun 2008 kepemilikan telepon seluler (81,57 persen) berada di wilayah Jawa dan Sumatera.

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2010 menyebutkan, sebanyak 65,2 persen infrastruktur backbone serat optik terkonsentrasi di Jawa, kemudian diikuti Sumatera (20,31 persen) dan Kalimantan (6,13 persen). Wilayah Indonesia timur (Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) belum terjangkau infrastruktur ini. Kesenjangan pembangunan infrastruktur ini kendala utama bagi masyarakat adat untuk mengekspresikan diri dan menyuarakan perjuangan mereka di ranah online.

Kedua, terkait dengan kapasitas aktivis masyarakat adat memanfaatkan media online tersebut secara optimal. Mengelola media yang berbasiskan internet (online) berbeda dengan mengelola media yang berbasiskan cetak. Perlu peningkatan kapasitas bagi aktivis masyarakat adat dalam mengelola media berbasiskan internet.

Selain pengetahuan dan keterampilan secara teknis dalam memanfaatkan internet, masyarakat adat perlu dibekali sikap yang proporsional dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara benar. Bagaimanapun, internet seperti dua sisi mata uang. Satu sisi dapat meningkatkan produktivitas, tetapi di sisi lain justru menghambat produktivitas dengan menempatkan penggunanya hanya sebagai pasar. Dengan kata lain, penggunaan internet harus membuat aktivis masyarakat adat lebih produktif dalam memproduksi konten lokal.

Singkat kata, ke depan, masyarakat adat harus mampu mengelola media yang dimilikinya dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi yang pesat. Selain itu, negara harus pula memenuhi kewajibannya untuk membangun infrastruktur telematika di seluruh Nusantara sehingga tidak terpusat hanya di Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar