Gaya
Diplomasi
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur
Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 25 Februari 2015
Diplomasi Indonesia saat ini sepertinya sedang mengalami
transisi yang sangat kontras dengan gaya diplomasi dari pemerintahan
sebelumnya. Semasa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan
politik luar negerinya terkesan terlalu banyak mengakomodasi kepentingan dari
negara-negara lain.
Dalam beberapa peristiwa ketegangan politik antara dua
negara seperti dengan Malaysia, Singapura, Amerika Serikat (AS), dan terakhir
Australia dalam kasus penyadapan, kebijakan yang diambil tidak ”sekeras” yang
diharapkan masyarakat. Di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), kebijakan
itu berubah 180 derajat.
Sejak awal masa kampanye, Presiden Jokowi mengatakan bahwa
pemerintahannya akan lebih keras dalam politik luar negeri. Dalam kampanye di
bulan Juni 2014, Jokowi sudah mengatakan bahwa jika menyangkut kedaulatan
negara Indonesia, apa pun solusinya harus dilakukan. Dalam kata-katanya
sendiri ia mengatakan, ”Kita akan buat
ramai. Jangan dipikir saya tidak bisa tegas.”
Kata-kata itu sepertinya menjadi kenyataan. Dalam kasus
penangkapan kapal ikan yang ilegal, Presiden Jokowi mendukung upaya
penenggelaman kapal-kapal nelayan asing yang beroperasi tanpa izin. Upaya ini
ternyata membuahkan hasil dengan meningkatnya harga-harga ikan di pasar-pasar
ikan baik di dalam maupun luar negeri karena pasokan yang mulai terbatas.
Begitu pula dengan kasus hukuman mati terhadap pengedar
narkoba. Ia mengambil jalan untuk tidak mengampuni para terpidana tersebut
dan memberikan izin bagi negara untuk membunuh terpidana itu melalui hukuman
mati. Berbeda dengan kasus penangkapan ikan, kasus hukuman mati ternyata
menimbulkan reaksi keras dari negara-negara yang warganya terpidana hukuman
mati, bahkan termasuk Sekretaris Jenderal PBB Ban Kimoon.
Reaksi ini yang lantas menimbulkan efek domino ke
masyarakat dan seperti di masa pemerintahan SBY, masyarakat sekali lagi
mengharapkan tindakan keras mulai dari pemanggilan duta besar hingga
pemutusan hubungan diplomatik. Presiden Jokowi tampaknya akan memilih untuk
mengambil kebijakan yang keras dan berbeda dengan gaya diplomatik SBY.
Nampaknya pilihan diplomasi via dialog dengan negaranegara
yang tengah bermasalah dengan kita sedang tersingkir. Dua gaya diplomatik
yang ekstrem itu tentu amat dipengaruhi karakter dan kepribadian
masing-masing kepala negara dan hal ini juga dialami setiap negara. Setiap
negara memiliki gaya diplomasi yang tidak sama. Gaya-gaya tersebut amat
dipengaruhi karakter, budaya, dan politik masing-masing.
Namun yang lebih penting gaya diplomasi tersebut
dipengaruhi kepentingan jangka panjang negara tersebut dalam kompetisi di
tingkat regional dan internasional. Kompetisi itu tidak hanya merebutkan
akses pasar ekonomi, tetapi juga legitimasi atas masalah hak asasi manusia
(HAM) dan demokrasi. Kita dapat melihat kembali misalnya gaya diplomat para
kepala negara yang hadir dalam Konferensi G-20 di Australia tahun lalu.
Para kepala negara yang berasal dari Benua Eropa, Amerika,
dan Pasifik seperti Presiden AS Barack Obama, Perdana Menteri (PM) Australia
Tony Abbott atau PM Kanada Stephen Harper memilih untuk bicara terbuka,
ketus, menekan, dan menukik langsung kepada Rusia atas masalah yang terjadi
di Ukrania.
Mereka bicara langsung tentang rasa tidak sukanya mereka
terhadap Rusia di hadapan Putin tentang keterlibatan Rusia dalam konflik
Ukrania. Drama diplomasi itu tidak berhenti hanya di suasana yang formal, tetapi
juga berlanjut di acara yang tidak formal. Misalnya ketika Presiden Putin
menghampiri Stephen Harper dan mengajak bersalaman, PM Kanada itu berkata, ”I guess I’ll shake your hand but I have
only one thing to say to you: You need to get out of Ukraine.” (Saya kira
saya akan menjabat tangan Anda, tetapi satu hal yang terucap: Anda perlu
angkat kaki dari Ukraina).
Ucapan dan tindakan yang menekan Putin membuatnya harus
segera angkat kaki sebelum konferensi itu berakhir. Ia memberikan alasan
bahwa kepulangannya akibat keletihan. Namun semua tahu bahwa ia tidak dapat
bertahan menghadapi tekanan dan dipermalukan dalam konferensi itu.
Sidang Umum PBB yang berlangsung setiap tahun sekali
menjadi panggung negara-negara untuk saling mengungkapkan kecaman, kebencian,
protes, dan tuntutan. Ada yang menyebut negara lain sebagai poros setan,
kerajaan imperialis, negara barbar, negara pembunuh, dan sebagainya.
Gaya-gaya diplomasi itu tentu sebagian besar juga memiliki tujuan untuk
memenuhi psikologi massa atau warga negaranya, apalagi bila berada di dalam
sebuah keadaan yang konfrontatif.
Mengenai ketegangan yang terjadi antaranegara-negara
sahabat karena tidak dikabulkannya pengampunan hukuman mati, Indonesia perlu
menyiapkan diri untuk menghadapi situasi-situasi tersebut. Apabila kita
melihat sejarah gaya diplomasi negara-negara Amerika Latin dan Eropa yang
cenderung lugas, pemerintahan Jokowi perlu menyiapkan skenario terburuk di
dalam forum-forum internasional yang akan dihadirinya.
Presiden Jokowi harus berani membuka dialog dan berdebat
untuk meyakinkan negara-negara tersebut. Namun yang jauh lebih penting dari
itu adalah sampai mana batas ketegangan Indonesia dengan Brasil, Australia
atau negara-negara lain akan berakhir? Kalaupun Presiden Jokowi memilih gaya
tegas, tetap perlu ada exit strategy untuk merajut komunikasi dan memperbaiki
situasi.
Hal ini penting karena jenis ketegangan yang terjadi lebih
terkait dengan ketegangan etik atau norma dan bukan ketegangan ekonomis dan
ideologis. Ketegangan kita berbeda dengan ketegangan China dan negara-negara
tetangga, Pakistan dengan India, atau negara-negara di Timur Tengah.
Jangan sampai ketegangan ini menjadi tidak produktif dan
justru merugikan kepentingan warga negara di Indonesia dan negara-negara
sahabat. Kementerian Luar Negeri perlu bergerak di balik layar untuk
menjembatani komunikasi antarpimpinan politik maupun masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar