Moralitas
Politik Jokowi
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 25 Februari 2015
Kelihatannya Presiden Jokowi tidak jadi dan tidak akan
kehilangan “public trust“. Situasi politik yang agak menegangkan sekitar tiga
minggu lalu itu membuat publik bingung. Kemudian berbagai penilaian terhadap
Presiden Jokowi muncul.
Ada yang marah, ada yang kecewa, ada yang sudah bicara
untuk melengserkannya. Betapa rentan sikap politik kita. Jarak dari dukungan
ke kemarahan, dan kekecewaan begitu dekatnya. Bahkan jarak dari dukungan ke
gagasan melengserkannya terasa lebih dekat lagi. Inilahkira-kirasituasipolitik
yang mewakili aspirasi publik yang “romantis”, yang mengandaikan tokoh yang
didukungnya sempurna, dan setiap saat diharapkan bisa memberi kepuasan
politik mereka.
Kalau kita mendukung atau memilih tokoh secara dewasa jadi
tidak “romantis” seperti itu niscaya apa pun yang terjadi, apalagi tokoh kita
itu baru menjalankan tugasnya selama tiga bulan, kita masih longgar untuk
memberinya kesempatan. Mendukung dan memilih secara dewasa selalu ada
“reserve“.
Kita bukan pendukung dan pemilih fanatik, apalagi dengan
fanatisme buta. Memilih dengan “reserve“ itu kita sudah menduga pilihan kita
punya kekurangan di sana-sini. Jadi kita siap untuk kecewa dan tahu pada
suatu saat akan kecewa, tapi tak disertai kemarahan dan mengumbar kutukan.
Apalagi sudah siap melengserkannya. Tradisi menilai seorang pemimpin dalam
masa kerja tiga bulan itu mungkin bagian dari kegenitan mungkin bahkan
kekonyolan politik yang percuma.
Sesudah kita percaya pada “platform” politik dan program
kerjanya, kita sudah menaruh kepercayaan kepadanya untuk bekerja lima tahun.
Penilaian tiga bulanan itu tindakan politik yang sia-sia
karenaakhirnyadisanadisetujui lagi untuk tidak diapa-apakan. Kalau sekadar
mau mengkritik, sehari kerja pun sudah bisa dikritik. Seminggu bekerja sudah
boleh pula diawasi secara ketat.
Tetapi, jatah lima tahun belum layak sama sekali untuk
diungkit-ungkit. Ini tak berarti bahwa pemimpin kita itu harus bekerja “full
“ lima tahun. Kontrak lima tahun itu memang ada syarat-syaratnya. Sikap latah
dan gampang bicara tentang melengserkan itu tidak sehat sama sekali. Ini
tanda sikap politik yang “mentah” dan tak akan pernah memberikan kontribusi
untuk membangun kepemimpinanbangsayang sehat dan demokratis. Ini sikap
politik yang tak bertanggung jawab.
Andaikata suara itu datang dari pihak musuh yang sejak
semula tak mendukung, itu pun bukan potret sikap politik yang elegan. Kita
memang tidak heran karena yang bicara seperti itu politisi yang belum punya
kiblat politik yang jelas. Tapi, kalau aktivis yang sudah matang, akademisi
yang berwibawa, dan rohaniwan yang tak lagi tergiur urusan duniawi dan
jabatan-jabatan politik, pantang berbicara seperti itu.
Mereka ini antara lain golongan yang bisa disebut “concerned citizens“, atau “devoted intellectuals“, yang mampu membangun
kematangan politik bangsa dan moralitas politik seluruh warga negara
dengancara yang penuh kehormatan.
Dalam keruwetan politik yang menyesakkan dada seperti tiga
minggu lalu itu, setiap pihak, termasuk politisi yang punya karakter
kepemimpinan yang jelas, wajib mencari jalan pemecahan demi kebaikan seluruh
bangsa, demi tumbuhnya demokrasi, demi suburnya model kepemimpinan yang kita
dambakan bersama.
Begitu hendaknya yang wajib dilakukan kaum intelektual
yaitu para aktivis, pemikir, rohaniwan, dan kaum seniman. Memberi nasihat,
mengkritik, atau memberi komentar terbuka, bagi mereka ini tidak ada tujuan
lain kecuali membangun tegaknya moralitas politik yang jernih, yang kiblat
rohaniahnya tak diragukan.
Mereka ini seksi melek, tidak lalai, dan tidak lupa sama
sekali untuk mengamati apa yang terjadi di dalam tata pemerintahan dan sikap
pemerintah yang memanggul mandat konstitusi. Pemikiran mereka merupakan
representasi “pendidikan” politik bagi warga negara, suara mereka mewakili
wilayah rohani kita, yang mengolah dan menerjemahkan dengan baik pesan
“langit” ke dalam bahasa bumi.
Boleh juga disebut bahwa pemikiran dan suara mereka itu
kawinan antara realitas ideal dan realitas sosiologis. Yang ideal itu
kerangka rohani yang tak terpegang, sebaliknya, yang
sosiologisjelassesuatuyang“riil” dan nyata dalam hidup kita. Kalau Presiden
dan para pejabat tinggi lain siap mendengarkan suara golongan ini, selamatlah
perjalanan politik mereka. Itu juga berarti selamatlah moralitas pribadinya
sebagai penyelenggara negara yang memanggul mandat konstitusi tadi.
Kita tahu Presiden Jokowi ya Jokowi. Sederhana, polos, dan
terkadang tampak, atau mengesankan hanya paham akan ihwal teknis belaka. Ada
pula kesan, tokoh ini posisi tertingginya hanya di level gubernur karena
untuk menghadapi lawan-lawan politik yang bisa “menjerit” setinggi langit
akan kekurangan kemampuan. Untuk melakukan berbagai “deal “ politik yang
sedikit kotor, beliau tak bakal terampil.
Tapi, benarkah beliau tidak terampil? Dalam menangani
kasus pengedar narkoba, musuh dunia saat ini, aturannya jelas; tidak ada
toleransi. Di manamana tindakannya sama tegasnya. Tak peduli suara apa pun,
Presiden Jokowi, yang diduga tak bakal berani bertindak itu ternyata kita
saksikan sendiri beliau tegas. Contoh presiden sebelumnya, yang mengabdi
kepada kepentingan internasional demi citra pribadinya, tak digubris.
Ada orang yang sosok moralitas pribadinya baik, memiliki
standar moral yang tinggi, bersih, dan terpuji. Moralitas sosialnya boleh
jadi belum tercatat. Kata orang, yang bersangkutan belum berpengalaman,
dandidugabakal tak sebaik moralitas pribadinya. Apakah dalam kasus Presiden
Jokowi dalil ini berlaku? Apakah terbukti beliau tak pandai melakukan berbagai
“deal “ politik yang penuh tipu muslihat itu?
Strategi terobosan politik untuk menangani kasus polisi
dan KPK yang sensitif dan ruwet itu sama sekali tak terduga. Ini cara semanis
Maradona memasukkan gol ke gawang lawan, dengan bantuan tangan: sesuatu yang
tak diperbolehkan. Tapi, dengan jenaka Maradona berkata, setengah mengakui:
kalau toh ada tangan, itu tangan Tuhan.
Untuk membuat semua pihak tak kehilangan muka, langkah
Presiden Jokowi jitu, seperti tindakan orang yang sudah dua puluh tahun menjadi
presiden biar pun sebetulnya belum berpengalaman. Tapi, jalan tengah sering
menyisakan persoalan lebih serius. Tindakan tak jadi melantik BG itu manis
secara politik, dan lebih manis secara diplomatik, tapi ketegasan hukum tak
boleh dikorbankan.
Penegakan hukum wajib diteruskan sampai tidak ada sisa
pertanyaan moral politik yang mengganjal. Ada media yang menyebut Presiden
Jokowi itu tinggal menikmati buah reformasi. Tapi, bukan hanya itu. Banyak
tokoh lain yang merupakan “liability “ dalam derap reformasi dan menjadi
gangguan dan penghalang reformasi. Presiden Jokowi bukan hanya menikmati buah
reformasi. Beliau juga aset bagi reformasi. Standar moral dan etiknya jelas.
Moral politiknya lebih jelas lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar