Delay,
Delay, dan Delay :
Apa
yang Sebenarnya Terjadi?
Chappy Hakim ; Analis Pertahanan dan
Penerbangan
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Februari 2015
PADA 18 November 2011, Presiden
Amerika Serikat Barack Obama menyak sikan penandatanganan perjanjian Boeing
Aircraft Company dan Lion Air untuk pembelian pesawat senilai US$21,7 miliar.
Dalam siaran persnya, Presiden Obama mengatakan, “Apa yang kita lihat di
sini, kesepakatan bernilai miliaran dolar antara Lion Air, salah satu
maskapai penerbangan dengan pertumbuhan tercepat tidak hanya di wilayah ini
tetapi di dunia, dan Boeing, akan menciptakan lebih dari 100 ribu lapangan
kerja di Amerika Serikat untuk jangka waktu panjang.“
Medio Maret 2013, perusahaan
penerbangan nasional PT Lion Mentari Airlines (Lion Air) menandatangani
pemesanan 201 unit pesawat jet medium A320 dengan pabrik pesawat terbang
Airbus senilai US$20 miliar (Rp194,1 triliun). Konon, nilai kontrak jual-beli
pesawat itu mencetak rekor seiring dengan target produsen pesawat asal
Prancis untuk mengungguli pesaingnya, The Boeing Company, guna meraih
pertumbuhan bisnis di tingkat global.
Kemudian pada 27 November 2014,
Lion membeli 40 pesawat baling-baling (turboprop) ATR-72 600 buatan Aerei da
Trasporto Regionale (ATR) Italia. Kontrak itu menjadikan Lion Air Group
sebagai pemesan pesawat ATR-72 600 terbanyak dengan jumlah pesanan 100
pesawat. Ketiga berita `fantastis' yang dikutip dari beberapa media tersebut
menggambarkan betapa powerfulnya maskapai Lion Air. Tidak dapat dihindarkan,
ketiga berita fantastis itu telah memunculkan `kekaguman' sekaligus
`keheranan' banyak kalang an dunia penerbangan di Indonesia, kawasan, dan
bahkan dunia. Kagum, terkait dengan bagaimana dalam kondisi perekonomian yang
kurang begitu baik, ternyata ada seorang Indonesia yang baru seumur jagung
terjun di bisnis penerbangan dengan rekam jejak keselamatan terbang yang
belum dapat memenuhi standar internasional, dapat tampil di panggung global. Bukan
cuma itu, dia berdampingan setara dengan kepala negara adikuasa menandatangani
kontrak triliunan rupiah untuk pembelian ratusan pesawat terbang.
Kekaguman yang sekaligus diiringi
rasa `heran', bagaimana orang Indonesia itu tampil seorang diri tanpa
terlihat oleh tim manajemen profesional yang biasa mendampingi seorang CEO
dalam kontrakkontrak raksasa senilai jutaan dolar Amerika. Itu mengherankan
karena memunculkan pula pertanyaan dari mana gerangan uang yang digunakan,
dan atau apa yang diagunkan untuk bisa memperoleh uang sebanyak itu, dan
sekaligus siapa atau institusi atau bahkan pemerintah mana yang berada di
belakangnya.
Sementara itu, Garuda Indonesia,
sang flag carrier Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan maskapai
yang sudah mapan plus rekam jejak keselamatan terbang berstandar world-class
puluhan tahun milik pemerintah sekalipun, belum pernah terdengar kabar
membeli ratusan pesawat terbang yang penandatanganannya disaksikan langsung
oleh kepala negara adikuasa.
Melihat performa
Terlepas dari apa pun jawaban yang
akan diberikan terhadap pertanyaan soal kekaguman dan juga keheranan atas
tiga peristiwa tersebut, sangat masuk akal apabila kemudian banyak orang yang
`salut' dengan pencapaian tersebut.
Cerita berikut ini juga kutipan
dari berita yang tersebar di berbagai media, mengiringi laju perjalanan Lion
Air di lapangan, yaitu Sabtu, 4 Februari 2012, pilot Lion Air ditangkap
karena narkoba. Sang pilot ditangkap saat bermain kartu bersama tiga pilot
lainnya di kamar 2109 Hotel Garden Palace. Penangkapan itu atas dugaan
penggunaan dan kepemilikan sabu seberat 0,04 gram. Sementara itu, hasil tes
urine kepada tiga pilot lainnya negatif. Itu mengejutkan karena ternyata sang
pilot mempunyai jadwal menerbangkan pesawat tujuan Surabaya-Ujung
Pandang-Balikpapan-Surabaya, pada pukul 06.00 WIB hari itu juga.
Sebelumnya, pada 10 Januari 2012,
Badan Narkotika Nasional (BNN) juga telah menangkap pilot Lion Air di sebuah
kamar karaoke Grand Clarion Makassar, Sulsel. Di ruang karaoke itu, sang
pilot ditangkap bersama seorang kontraktor dan tiga teman wanitanya. Dari
saku si pilot ditemukan satu kantong plastik sabu seberat 0,9 gram.
Pada 6 April 2011, polisi juga
menangkap seorang pramugari Lion Air di kamar indekosnya di Karet, Tanah
Abang, Jakarta. Ketika digerebek polisi, sang pramugari menyembunyikan sabu
di dalam pakaian dalam. Ia mengaku menggunakan sabu sejak 2007 untuk menambah
semangat kerja.
Nah, sejumlah berita ini wajar
saja telah memunculkan pertanyaan yang sangat mendasar tentang `performa'
dari para awak pesawat Lion Air. Tidak mudah untuk menelusuri apa hubungannya
dengan `kecelakaan-kecelakaan' pesawat terbang Lion Air yang pernah terjadi
dengan `performa' awak pesawatnya yang tertangkap menggunakan narkoba.Akan
tetapi, dapat dipastikan bahwa ada `yang salah' dalam pembinaan awak pesawat
di maskapai ini. Ada yang salah dalam manajemen Lion Air sebagai sebuah
maskapai penerbangan terbesar di negeri ini.
Berikutnya ialah breaking news
tiga hari belakangan ini yang menyita perhatian hampir seluruh media di
Indonesia dan beberapa media di luar negeri, yaitu tentang delay penerbangan
Lion Air di banyak rute penerbangannya. Banyak penumpang telantar akibat
sejumlah penerbangan pesawat Lion Air mengalami penundaan waktu terbang
hingga puluhan jam. Akibatnya, ratusan penumpang berupaya menukarkan tiket
(refund) dan membatalkan tiket di kantor Lion Air di Jalan Gajah Mada,
Jakarta Pusat.Kelemahan manajemen Yang sangat aneh dalam hal ini ialah justru
dalam musim banyak penumpang yang akan bepergian dalam rangka Imlek, terjadi
delay yang begitu parah. Biasanya yang terjadi ialah permintaan penambahan
penerbangan atau extra flight.Sekali lagi di sini memperlihatkan adanya
kelemahan manajemen dalam strategi menangkap posisi pasar yang tengah berada
dalam kebutuhan yang tinggi.
Posisi atau waktu yang merupakan
makanan empuk untuk memperoleh keuntungan. Di tengah kesemrawutan delay yang
tidak kunjung mampu diatasi pihak manajemen, hal itu diperparah lagi dengan
ketidakmampuan manajemen menjelaskan kepada calon penumpang tentang apa yang
sebenarnya telah terjadi. Akibatnya chaos atau kekacauan masif dan anarki
nyaris terjadi.
Yang lebih dahsyat lagi ialah
penumpukan ratusan bahkan mungkin ribuan penumpang itu sama sekali tidak
mengundang sedikit pun selera dari maskapai lainnya untuk menangkap peluang
tersebut, dengan mengambil alih rute penerbangan yang delay parah itu. Di
sini kemudian terlihat Lion Air memang berdiri sendirian di tengah-tengah
pasar angkutan udara yang kini tengah marak-maraknya. Lion Air memang tengah
maju sendiri dalam kurun waktu 10 tahun-12 tahun belakangan ini, sendiri
tanpa teman, apalagi pesaing.
Di tengah-tengah bergugurannya
maskapai dalam negeri satu per satu (Mandala, Merpati, Batavia, dan beberapa
lainnya), Lion Air justru mengembangkan diri menjadi tiga maskapai yang full
service, low cost, d a n juga di `jalur pener bangan perintis', sungguh satu
penam pilan yang `fantastis' paralel dengan kontrak pembelian pesawat terbang
yang ratusan jumlahnya.
Namun, dengan penampilan yang
`fantastis' pula dalam menghadirkan delay puluhan jam dan berlangsung tiga
hari, pertanyaan yang muncul ialah apa yang salah dengan manajemen Lion Air?
Jawaban-jawaban spekulatif menjadi masuk akal untuk bermunculan, mirip dengan
`teori konspirasi' yang kini tengah menjadi tren juga. Salah satu yang
menarik ialah tuduhan adanya `keberpihakan' pemerintah dalam hal ini
regulator dalam proses perkembangan laju kesuksesan Lion Air yang
spektakuler.
Kemajuan spektakuler itu terjadi
di tengah-tengah tumbangnya (bangkrutnya) satu per satu maskapai penerbangan
nasional yang sudah puluhan tahun mengais rezeki di negeri ini. Kemajuan
spektakuler itu juga terjadi di tengah-tengah Kementerian Perhubungan selaku
regulator kekurangan tenaga inspektur penerbangan. Kemajuan spektakuler yang
ada di tengah-tengah Indonesia berada dalam kesenjangan yang cukup jauh
antara jumlah maskapai penerbangan dan jumlah pesawat terbang, dibandingkan
dengan jumlah sumber daya manusia aviasi (pilot, teknisi, ATC, dll) yang
tersedia serta kesiapan infrastruktur penerbangan yang minim.
Kemajuan spektakuler terjadi di tengah-tengah
amburadulnya Soekarno-Hatta International Airport (SHIA) akibat kelebihan
kapasitas pelayanan yang sudah tiga kali lipat dari desain awalnya. Kemajuan
spektakuler yang mengundang begitu banyak pertanyaan, disa jikan di permukaan
dalam bentuk delay puluhan jam dan berlangsung tiga hari yang sudah pasti
sangat merugikan para calon penumpang pengguna jasa angkutan
udara.Ketidakjelasan Penataan maskapai penerbangan di tingkat nasional sudah
menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan itu berkutat pada siapa kini yang menjadi
flag carrier, siapa yang menjalankan tugas penerbangan perintis, siapa yang
`masih' menjadi agent of national development dalam melakukan tugas nasional
di bidang angkutan udara dalam menjaga ke utuhan NKRI, dan siapa yang sekadar
berbisnis mengais rezeki semata?
Tantangan yang berat dalam menatap
masa depan Indonesia di bidang industri dirgantara tidak hanya dalam kancah
domestik tetapi lebih-lebih di pentas global.Jangan lupa karena sampai dengan
hari ini Indonesia masih berada dalam kelompok negara-negara yang dinilai
`belum' mampu untuk dapat memenuhi standar keselamatan penerbangan sipil
internasional.Bisnis memang harus dibangun, roda ekonomi pun memang harus
tetap berputar, tetapi nyawa manusia tidaklah elok bila menjadi berada dalam
posisi yang terabaikan.
Dalam dunia penerbangan, disiplin
terhadap aturan yang berlaku harus dibangun tanpa kompromi, pengawasan
terus-menerus harus senantiasa dilakukan, dan hukuman efek jera harus
dijatuhkan bila ada aturan yang dilanggar. Semoga dunia penerbangan kita
dijauhkan dari hal-hal yang kelihatannya `fantastis' dan juga dengan yang
`aneh-aneh' karena pada kenyataannya hanya menghasilkan keamburadulan belaka.
Langkah Kementerian Perhubungan yang sudah mulai kelihatan menjurus ke jalan
yang benar (dalam usaha menegakkan aturan) patut kita dukung bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar