Jumat, 27 Februari 2015

Putusan Hakim Sarpin yang Mencerahkan

Putusan Hakim Sarpin yang Mencerahkan

Romli Atmasasmita ;  Guru Besar (Em) Hukum Pidana
MEDIA INDONESIA, 26 Februari 2015

Bandingkan dengan artikel RA yang dimuat di KORAN SINDO 23 Februari 2015
                                                                                                                                     
                                                

PASCAPUTUSAN praperadilan yang dipimpin hakim Sarpin Rizaldi, seorang hakim senior dengan golongan pangkat IV/D telah mengundang pro dan kontra. Penulis yang memberikan keterangan ahli dari pihak Budi Gunawan dan Divisi Hukum Mabes Polri, secara langsung mengalami dan melihat sosok hakim senior ini, dapat mengatakan kepada publik bahwa ia sosok hakim yang berani, tegas, dan mumpuni dari sisi ilmu hukum; bahkan dalam beberapa kesempatan tanya jawab, hakim Sarpin ikut membantu kuasa hukum Budi Gunawan dan KPK untuk memperbaiki pertanyaan sehingga pertanyaan hanya meminta pendapat ahli bukan penilaian ahli terhadap fakta kasus yang dituduhkan kepada Budi Gunawan.

Berbeda dengan mantan Hakim Agung RI yang juga kolega senior dari hakim Sarpin, penulis mengapresiasi hakim Sarpin karena pengalamannya sebagai hakim senior dan pertimbangannya menunjukkan bahwa yang bersangkutan memahami betul hakikat lembaga praperadilan dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; hakikat yang tidak banyak orang, sekalipun ahli hukum pidana, memahami dengan sungguh-sungguh dan baik.

Para ahli hukum pidana dan pengamat nonhukum mengkritik keyakinan hakim Sarpin yang dilindungi UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 3 ayat (2) yang menegaskan, `Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945'. Bahkan terdapat ancaman pidana terhadap siapa saja (ayat 3). Semua warga negara Indonesia seharusnya menjunjung tinggi kedaulatan hakim di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara; dengan tidak mem-bully setiap hakim yang memeriksa dan memutus perkara tipikor jauh sebelum hakim bersidang. Kebiasaan buruk dan tidak terpuji yang selalu dilakukan LSM antikorupsi seharusnya tidak perlu terjadi di dalam demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945--bukan konstitusi AS atau Inggris!

Begitu pula tokoh-tokoh masyarakat yang latah mencampuri kekuasaan kehakiman dengan menyampaikan opini kepada publik tanpa yang bersangkutan memiliki pengetahuan hukum sedikit pun kecuali hanya `katanya' (testimonium de auditu). Menurut pengamatan saya selaku ahli terhadap sikap pengamat, tokoh masyarakat, dan ahli hukum yang tidak memiliki kompetensi hukum pidana, hal memprihatinkan ketika mereka mengatakan, “Apa pun yang diputuskan hakim harus kita hormati.“ Namun, dalam kenyataannya, mereka menjadi munafik ketika putusan hakim tidak sesuai dengan kehendak hati dan berlomba-lomba mengkritik keyakinan hakim, seperti terjadi pada Sarpin.

Dalam konteks inilah penulis sangat mengapresiasi sikap dan keyakinan hakim Sarpin yang dengan tegar dan cerdas memutus permohonan praperadilan Budi Gunawan tanpa ada rasa takut dan raguragu dan dipersiapkan dengan baik. Jika membaca petikan putusan hakim Sarpin, penulis melihat pertimbangan putusannya telah sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang memerintahkan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat dimaksud ialah sejalan dengan perkembangan HAM internasional dan UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dan hakikat perlindungan HAM yang tecermin dari ketentuan Bab XA UUD 1945 tentang HAM. Pascaratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Politik, dengan UU No 12 Tahun 2005, seharusnya setiap bentuk tindakan aparatur negara termasuk penyidik dan penuntut yang diduga telah melanggar hak-hak asasi tersebut dapat dimintakan perlindungan kepada lembaga praperadilan. Tidak terbatas pada alasan-alasan apa yang telah ditentukan secara limitative di dalam Pasal 77 KUHAP dengan dasar perkembangan kebutuhan perlindungan HAM setiap orang terlepas dari latar belakang etnik, sosial, ekonomi, dan kedudukannya dalam masyarakat dari penyalahgunaan wewenang oleh aparatur hukum.

Selain itu, putusan ini merupakan peringatan terhadap setiap aparatur penegak hukum tidak terbatas pada KPK untuk bertindak hati-hati dan tidak menyalahgunakan wewenang. Putusan hakim Sarpin, menurut penulis, merupakan putusan yang monumental (landmark decision) yang membuka ruang bagi setiap orang di dalam wilayah hukum NKRI untuk mempersoalkan pelanggaran HAM yang terjadi pada dirinya.

Dengan demikian, kritik dan cacian terhadap hakim Sarpin jelas mencerminkan ketidakpahamannya terhadap perkembangan terbaru dalam hukum pidana dan hukum acara pidana modern, terutama sejak Indonesia meratifikasi ICCPR. Sampai saat ini tidak ada lembaga khusus yang memberikan ruang bagi setiap orang selain lembaga praperadilan untuk mempertahankan hak asasi dari penyalahgunaan aparatur negara, baik dalam bentuk melampaui batas kewenangan, mencampuradukkan wewenang, ataupun bertindak sewenang-wenang (Pasal 17 UU RI Nomor 31 Tahun 2014) dalam proses pidana. Secara teoretis, pertimbangan hakim Sarpin dalam putusannya merupakan penemuan hukum (rechtsvinding) dan telah sejalan dengan hukum sebagai sistem norms and logic yang dapat membawa pencerahan kepada masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja), hukum tentang perilaku (alm Satjipto Rahardjo), dan hukum sebagai sistem nilai (Romli Atmasasmita).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar