Sabtu, 28 Februari 2015

Dark Justice

Dark Justice

Rhenald Kasali  ;  Akademisi, Praktisi Bisnis;
Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
JAWA POS, 26 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

ANDA mungkin masih ingat saat Hubert A. Wenas memodifikasi mobilnya sehingga terlihat perkasa. Mobil tersebut dinamai Ichiro. Setelah itu Hubert menertibkan secara paksa para pengendara yang tidak tertib berlalu lintas. Menurut media, bentuknya bisa teguran, cacian, serempet, hingga menabrakkannya. Kita bisa menyaksikan rekamannya di YouTube.

Apa yang dilakukan Hubert mengingatkan saya akan sebuah serial TV yang pernah populer pada awal era 1990-an, Dark Justice. Ini tentang sosok penegak hukum yang putus asa karena aturan hukum formal tak mampu menjaring para pelaku kejahatan. Maklum, para pelaku kejahatan itu kebanyakan orang berduit. Sehingga mereka mampu membayar para pengacara yang dengan lihainya membolak-balik logika hukum.

Sang hakim, yang menjadi tokoh utama film Dark Justice tersebut, geram. Sebagai hakim, dia tahu belaka mana yang salah dan yang benar. Tapi, pengadilan di Amerika Serikat –tempat film itu diproduksi– memakai sistem juri. Salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan juri, bukan hakim.

Maka, ketika seorang terdakwa dinyatakan bebas, meski hakim tahu dia bersalah, bekerjalah dark justice tersebut. Malam hari sang tokoh melepaskan baju hakimnya dan memulai aksinya sebagai penegak keadilan. Dia menghukum terdakwa itu dengan caranya sendiri.

Aksi Menjengkelkan

Kita, kalau boleh, sebetulnya ingin juga seperti Hubert. Hanya mungkin tak punya nyali untuk bertindak seberani dia. Cobalah siapa yang tidak gemas dengan terjadinya pembiaran terhadap perilaku-perilaku semacam ini.

Contraflow. Siapa di antara Anda yang belum pernah melihatnya? Bahkan, di jalan-jalan protokol saya kerap menemukan para pengendara sepeda motor yang dengan seenaknya melaju melawan arus. Beberapa kali saya lihat ada beberapa petugas kepolisian di kejauhan sana, tetapi mereka hanya berdiam diri. Hanya menatap dari kejauhan dan tidak melakukan tindakan apa pun.

Dengan pembiaran semacam ini, saya tidak heran kalau pelaku contraflow kian hari kian banyak. Bahkan, yang celaka, sebagian dari mereka melakukannya dengan memboncengkan anak dan istrinya. Alhasil, sejak kecil anak-anak kita sudah mewarisi teladan yang buruk dari orang tuanya. Lalu apa jadinya dengan nasib bangsa ini kalau sejak dini anak-anak kita terbiasa menyaksikan pelanggaran hukum seperti itu?

Merasa Lebih Penting.

Di jalan raya, saat macet, saya juga kerap menyaksikan kendaraan dengan sirene yang meraung-raung dan lampu LED strobo yang biasa dipakai polisi. Mulanya saya mengira itu ambulans atau iring-iringan mobil jenazah. Rupanya bukan. Mobil itu milik sebuah organisasi massa keagamaan.

Kita semua tentu geram dengan perilaku tersebut. Apa hak mereka untuk meminta kita menepi? Perilaku merasa lebih dari yang lain seperti ini bukan hanya milik organisasi massa, tapi juga para pejabat negara kita. Anda sering melihatnya, bukan? Di saat kemacetan mendera, dipaksa menepi oleh petugas voorijder agar mobil para tuan-tuan pejabat tadi bisa lewat. Bukan hanya di jalan-jalan raya, tetapi juga di jalan tol.

Menjengkelkan sekali. Padahal, kitalah yang membayar gaji mereka dengan uang pajak yang kita setorkan setiap tahun. Jadi, sebenarnya siapa tuan dan siapa majikan sih!

Mengapa kalau sudah tahu jalan raya macet, para pejabat itu tidak naik sepeda motor saja? Misalnya dengan meminta diboncengkan petugas voorijder. Memangnya mereka bakal turun gengsi kalau naik sepeda motor? Atau takut kotor kena asap dan debu? Juga takut basah oleh air hujan?

Cobalah sekarang bagaimana kita bisa menjelaskan kepada anak-anak kita perilaku yang semacam ini. Tengoklah bagaimana iring-iringan pengawal jenazah yang membawa bendera kuning bersepeda motor meniru cara pengawal menutup jalur sesuka perut mereka. Mungkin kita akan mengatakan kepada anak kita begini: Oh, mereka boleh melanggar aturan, Nak. Mereka cuma meniru cara pejabat negara.

Sweeping.

Ah, saya tak tertarik untuk mengulasnya lebih jauh. Kita sudah tahu siapa pelakunya. Kita bisa menduga-duga motif di baliknya. Kita juga bisa menduga-duga mengapa pihak berwenang melakukan aksi pembiaran.

Lebih Serius

Silakan kalau Anda mau memperpanjang lagi daftarnya. Misalnya, ada angkutan umum yang parkir dan mengangkut penumpang seenaknya. Mobil-mobil kontainer atau truk-truk besar dilarang melintas di jalan tol pada jam-jam tertentu karena bisa menimbulkan kemacetan. Kenyataannya?

Dengan beberapa contoh di atas, saya bisa memahami mengapa Hubert begitu geram kepada para pelanggar lalu lintas –meski saya tidak sepenuhnya menyetujui tindakannya. Maka, supaya jangan muncul ”Hubert-Hubert” yang lain, ayolah Pak Polisi, lebih seriuslah dalam menegakkan aturan. Dan itu harus dimulai dari dalam kepolisian sendiri. Kalau polisi bersalah, ya jangan malah dibelain. Biarkan hukum berdiri tegak, maka cinta kasih akan tumbuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar