Kamis, 26 Februari 2015

Cerita Prerogatif

Cerita Prerogatif

Margarito Kamis ;  Doktor Hukum Tata Negara;
Staf pengajar FH Universitas Khairun Ternate
MEDIA INDONESIA, 24 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PREROGATIF, kata ini mendadak menjadi begitu populer di panggung percakapan konstitusionalisme hari-hari ini. Kepopulerannya, mau tak mau, harus disangkutpautkan dengan ujung kerja tata negara dalam urusan pengisian jabatan Kapolri. Ujung kerja tata negara itu tak lain ialah peresmian Komjen Budi Gunawan, yang diusulkan Presiden Joko Widodo ke DPR dan telah mendapat persetujuan DPR untuk memangku jabatan Kapolri.

Meresmikan atau tidak meresmikan Komjen Budi untuk sebagian ditakrifkan sebagai prerogatif presiden. Namun, apakah pembatalan peresmian Komjen Budi memangku jabatan Kapolri oleh Presiden merupakan buah dari prerogatif itu? Pernyataan Presiden pada saat pengumuman pembatalan pelantikan Komjen Budi sama sekali tidak menunjuknya.

Asal usulnya

Sebelum kekuasaan, dalam istilah John Locke, pemikir politik dan negara yang termasyhur dari Inggris, itu `dibagi' atau dalam istilah Montesqieu, pemikir negara yang sama termasyhurnya dengan Locke dari Prancis, ‘dipisah’, semua kekuasaan berada di tangan atau terkonsentrasi pada raja. Sifatnya monopolistis. Dalam arti itu, raja bukan hanya sama dan sebangun dengan hukum, juga sama dan sebangun dengan keadilan, melainkan juga sama dan sebangun dengan negara.

Penyelenggaraan pemerintahan dalam alam raja sebagai negara, hukum, dan keadilan menempatkan kehendak raja, bukan hukum, sebagai dasar. Itulah yang ditunjuk HWR Wade, profesor English law dari Cambridge University dan University of Oxford, juga Alfred C Aman Jr, dekan dan profesor pada Indiana University, dan William T Mayton, profesor pada Binary University.

Secara etimologis, begitulah mereka menunjuknya, kata prerogatif berasal dari kata prae dan rogo. Dalam arti ini, kata itu memiliki arti sesuatu yang diperlukan atau dibutuhkan sebelum atau preferensi terhadap semua hal yang lainnya. Nalarnya hak itu tak terbagi atau dibagi dengan siapa pun dengan alasan apa pun. Hak itu dipegang satu badan atau figur. Hak itu berkarakter tunggal.
Hak, prae and rogo, asal usul kata prerogatif, dalam pandangan keduanya sampai dengan abad ke-17, tumbuh dan bekerja dalam kerangka common law, hukum tak tertulis. Dalam hukum ini, raja tidak hanya berhak menjatuhkan hukuman terhadap rakyatnya, tetapi juga membebani mereka dengan pajak. Dalam common law, hak ini bersifat prerogatif.

Sebagai akibat pertumbuhan hasrat konstitusionalisme yang mengagungkan otonomi harkat dan martabat manusia, prerogatif raja itu dihilangkan.Oleh para ahli di atas, penghilangan hak itu dilakukan dengan cara mengaturnya dalam UU. Tidak disebut secara spesifik UU apa saja yang menghilangkan prerogatif raja itu, tetapi ahli-ahli ini menguraikan, dalam bahasa mereka numerous statutes have expressly restricted.

Dibatasi

Tidak tersedianya kerangka kerja konstitusional secara spesifik dalam konstitusi dan UU, untuk waktu yang lama da lam konstitusionalisme Amerika Serikat, sebuah keadaan yang mirip common law sebelum abad ke-17, dalam kenyataannya digunakan beberapa presiden membenarkan tindakan-tindakan mereka sebagai tindakan prerogatif. Itu berlangsung sejak pertama kali sistem presidensial dipraktikkan pada 1790.

George Washington, presiden pertama Amerika Serikat, secara sepihak mengumumkan netralitas negerinya dalam Perang Inggris-Prancis. Thomas Jefferson membeli Pulau Lousiana dari Prancis di 1803 tanpa otorisasi Kongres. Abraham Lincoln, presiden yang amat terkenal itu, menggunakan begitu banyak kekuasaan dalam menyudahi perbudakan di selatan Amerika. Andrew Johnson, penerus Lincoln, menggunakan kekuasaan itu untuk memberhentikan menteri-menterinya. Menariknya, pemberhentian Edwin Stanton, menteri pertahanannya, berakibat dirinya diimpeach pada 1868. Inilah impeach pertama dalam sejarah Amerika.

Franklin Delano Roosevelt dan para penerusnya juga sama dalam menggunakan prerogatif, senjata mematikan itu menyelesaikan serangkaian masalah. Penguasaan informasi intelijen vital dalam berhadapan dengan musuh-musuh Perang Dingin digunakan beberapa presiden meyakinkan Kongres. Seharusnya, begitu presiden-presiden itu berpendapat, mereka diberikan kelonggaran untuk sesuatu yang belum jelas dalam masalah keamanan nasional. Itulah yang direkam Ricard Tifus, ahli ilmu politik dari Indiana University.

Bahkan Tifus menunjuk Lyndon Johnson dan Richard Nixon karena pada eranya terjadi peningkatan penggunaan kekuasaan prerogatif dalam perang di Vietnam, juga aktivitas mereka di Laos. Akhirnya Kongres bersikap; tidak mau memberikan dana, ketika mereka hendak masuk ke Indocina 1973.

Tifus melukiskan, sebab tak mau terus-menerus berada dalam kegelapan dan membiarkan prerogatif digunakan tanpa alasan, Kongres melakukan pukulan balik yang meyakinkan. Kongres membuat beberapa UU yang mengatur penggunaan kewenangan itu. Dalam UU yang dibuat itu diatur kewenangan Kongres melarang pasukan bersenjata terjun dalam pertempuran tanpa adanya pernyataan perang secara resmi. Dibuat pula UU yang mewajibkan pemerintah memberikan informasi intelijen ke Kongres. Lahirlah UU Kekuasaan Perang 1973, dan The Inteligence Oversight Act 1980.

Prerogatif, dengan demikian, ada bila konstitusi dan atau UU tidak secara spesifik menjadikan kewenangan atas suatu urusan pemerintahan menjadi kewenangan salah satu dari tiga cabang kekuasaan. Bisa juga sebaliknya, konstitusi dan UU secara spesifik memberikan kewenangan itu kepada presiden sebagai prerogatifnya.

Nalarnya, bila konstitusi atau UU telah mengatur kewenangan atas suatu urusan pemerintahan disebar ke dua atau lebih cabang kekuasaan, hilanglah sifat prerogatif itu. Dalam kasus kita, kewenangan mengangkat menteri, misalnya, memiliki sifat konstitusional sebagai prerogatif. Tidak demikian dengan pengusulan dan pengangkatan Kapolri.

Skema konstitusional yang disediakan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia jelas. Setelah mendapat pertimbangan dari Kompolnas, presiden mengusulkan, dalam istilah Greg Russel, menominasikan, dan DPR memberi persetujuan, serta berakhir dengan peresmian figur tersebut untuk memangku jabatan yang telah disetujui itu.

Sifat hukum persetujuan DPR atas figur yang dinominasikan presiden mengikat. Bukan tidak bisa hilang sifat ini, tetapi hilangnya itu harus didahului dengan adanya satu sebab hukum. Dalam hukum dikenal sebab yang memunculkan hukum atau menghilangkan hukum atau menangguhkan hukum. Selama sebab itu tidak ada, sifat mengikatnya tidak hilang dengan, misalnya, alasan prerogatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar