Cerita
Prerogatif
Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara;
Staf pengajar FH Universitas Khairun Ternate
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Februari 2015
PREROGATIF, kata ini mendadak
menjadi begitu populer di panggung percakapan konstitusionalisme hari-hari
ini. Kepopulerannya, mau tak mau, harus disangkutpautkan dengan ujung kerja
tata negara dalam urusan pengisian jabatan Kapolri. Ujung kerja tata negara
itu tak lain ialah peresmian Komjen Budi Gunawan, yang diusulkan Presiden
Joko Widodo ke DPR dan telah mendapat persetujuan DPR untuk memangku jabatan
Kapolri.
Meresmikan atau tidak meresmikan
Komjen Budi untuk sebagian ditakrifkan sebagai prerogatif presiden. Namun,
apakah pembatalan peresmian Komjen Budi memangku jabatan Kapolri oleh
Presiden merupakan buah dari prerogatif itu? Pernyataan Presiden pada saat
pengumuman pembatalan pelantikan Komjen Budi sama sekali tidak menunjuknya.
Asal usulnya
Sebelum kekuasaan, dalam istilah
John Locke, pemikir politik dan negara yang termasyhur dari Inggris, itu
`dibagi' atau dalam istilah Montesqieu, pemikir negara yang sama
termasyhurnya dengan Locke dari Prancis, ‘dipisah’, semua kekuasaan berada di
tangan atau terkonsentrasi pada raja. Sifatnya monopolistis. Dalam arti itu,
raja bukan hanya sama dan sebangun dengan hukum, juga sama dan sebangun
dengan keadilan, melainkan juga sama dan sebangun dengan negara.
Penyelenggaraan pemerintahan dalam
alam raja sebagai negara, hukum, dan keadilan menempatkan kehendak raja,
bukan hukum, sebagai dasar. Itulah yang ditunjuk HWR Wade, profesor English law dari Cambridge University
dan University of Oxford, juga Alfred C Aman Jr, dekan dan profesor pada
Indiana University, dan William T Mayton, profesor pada Binary University.
Secara etimologis, begitulah
mereka menunjuknya, kata prerogatif berasal dari kata prae dan rogo. Dalam
arti ini, kata itu memiliki arti sesuatu yang diperlukan atau dibutuhkan
sebelum atau preferensi terhadap semua hal yang lainnya. Nalarnya hak itu tak
terbagi atau dibagi dengan siapa pun dengan alasan apa pun. Hak itu dipegang
satu badan atau figur. Hak itu berkarakter tunggal.
Hak, prae and rogo, asal usul kata prerogatif, dalam pandangan
keduanya sampai dengan abad ke-17, tumbuh dan bekerja dalam kerangka common law, hukum tak tertulis. Dalam
hukum ini, raja tidak hanya berhak menjatuhkan hukuman terhadap rakyatnya,
tetapi juga membebani mereka dengan pajak. Dalam common law, hak ini bersifat prerogatif.
Sebagai akibat pertumbuhan hasrat
konstitusionalisme yang mengagungkan otonomi harkat dan martabat manusia,
prerogatif raja itu dihilangkan.Oleh para ahli di atas, penghilangan hak itu
dilakukan dengan cara mengaturnya dalam UU. Tidak disebut secara spesifik UU
apa saja yang menghilangkan prerogatif raja itu, tetapi ahli-ahli ini
menguraikan, dalam bahasa mereka numerous
statutes have expressly restricted.
Dibatasi
Tidak tersedianya kerangka kerja
konstitusional secara spesifik dalam konstitusi dan UU, untuk waktu yang lama
da lam konstitusionalisme Amerika Serikat, sebuah keadaan yang mirip common
law sebelum abad ke-17, dalam kenyataannya digunakan beberapa presiden
membenarkan tindakan-tindakan mereka sebagai tindakan prerogatif. Itu
berlangsung sejak pertama kali sistem presidensial dipraktikkan pada 1790.
George Washington, presiden
pertama Amerika Serikat, secara sepihak mengumumkan netralitas negerinya
dalam Perang Inggris-Prancis. Thomas Jefferson membeli Pulau Lousiana dari
Prancis di 1803 tanpa otorisasi Kongres. Abraham Lincoln, presiden yang amat
terkenal itu, menggunakan begitu banyak kekuasaan dalam menyudahi perbudakan
di selatan Amerika. Andrew Johnson, penerus Lincoln, menggunakan kekuasaan
itu untuk memberhentikan menteri-menterinya. Menariknya, pemberhentian Edwin
Stanton, menteri pertahanannya, berakibat dirinya diimpeach pada 1868. Inilah
impeach pertama dalam sejarah Amerika.
Franklin Delano Roosevelt dan para
penerusnya juga sama dalam menggunakan prerogatif, senjata mematikan itu
menyelesaikan serangkaian masalah. Penguasaan informasi intelijen vital dalam
berhadapan dengan musuh-musuh Perang Dingin digunakan beberapa presiden
meyakinkan Kongres. Seharusnya, begitu presiden-presiden itu berpendapat,
mereka diberikan kelonggaran untuk sesuatu yang belum jelas dalam masalah
keamanan nasional. Itulah yang direkam Ricard Tifus, ahli ilmu politik dari
Indiana University.
Bahkan Tifus menunjuk Lyndon
Johnson dan Richard Nixon karena pada eranya terjadi peningkatan penggunaan
kekuasaan prerogatif dalam perang di Vietnam, juga aktivitas mereka di Laos. Akhirnya
Kongres bersikap; tidak mau memberikan dana, ketika mereka hendak masuk ke
Indocina 1973.
Tifus melukiskan, sebab tak mau
terus-menerus berada dalam kegelapan dan membiarkan prerogatif digunakan
tanpa alasan, Kongres melakukan pukulan balik yang meyakinkan. Kongres
membuat beberapa UU yang mengatur penggunaan kewenangan itu. Dalam UU yang
dibuat itu diatur kewenangan Kongres melarang pasukan bersenjata terjun dalam
pertempuran tanpa adanya pernyataan perang secara resmi. Dibuat pula UU yang
mewajibkan pemerintah memberikan informasi intelijen ke Kongres. Lahirlah UU
Kekuasaan Perang 1973, dan The Inteligence Oversight Act 1980.
Prerogatif, dengan demikian, ada
bila konstitusi dan atau UU tidak secara spesifik menjadikan kewenangan atas
suatu urusan pemerintahan menjadi kewenangan salah satu dari tiga cabang
kekuasaan. Bisa juga sebaliknya, konstitusi dan UU secara spesifik memberikan
kewenangan itu kepada presiden sebagai prerogatifnya.
Nalarnya, bila konstitusi atau UU
telah mengatur kewenangan atas suatu urusan pemerintahan disebar ke dua atau
lebih cabang kekuasaan, hilanglah sifat prerogatif itu. Dalam kasus kita,
kewenangan mengangkat menteri, misalnya, memiliki sifat konstitusional
sebagai prerogatif. Tidak demikian dengan pengusulan dan pengangkatan
Kapolri.
Skema konstitusional yang
disediakan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia jelas. Setelah mendapat pertimbangan dari Kompolnas, presiden
mengusulkan, dalam istilah Greg Russel, menominasikan, dan DPR memberi
persetujuan, serta berakhir dengan peresmian figur tersebut untuk memangku
jabatan yang telah disetujui itu.
Sifat hukum persetujuan DPR atas figur
yang dinominasikan presiden mengikat. Bukan tidak bisa hilang sifat ini,
tetapi hilangnya itu harus didahului dengan adanya satu sebab hukum. Dalam
hukum dikenal sebab yang memunculkan hukum atau menghilangkan hukum atau
menangguhkan hukum. Selama sebab itu tidak ada, sifat mengikatnya tidak
hilang dengan, misalnya, alasan prerogatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar