Mafia
Beras
Toto Subandriyo ; Pengamat Ekonomi;
Alumnus IPB dan Magister Manajemen Universitas Jenderal
Soedirman
|
KOMPAS,
24 Februari 2015
Saat ini harga beras melambung tinggi. Di Pasar Induk
Beras Cipinang, Jakarta, beras IR harganya Rp 11.500 per kilogram.
Kementerian Perdagangan menilai, harga beras yang melambung dan distribusi
yang tak tepat sasaran adalah ulah mafia beras. Mafia beras bukan hanya
pedagang, melainkan juga orang dalam Perum Bulog. Oleh karena itu, pemerintah
akan memberantasnya (Kompas, 21/2).
Kegaduhan politik dalam negeri beberapa bulan terakhir ini
telah menguras energi bangsa. Masyarakat merasakan kehadiran pemerintah
nyaris nihil ketika harga berbagai kebutuhan pokok meroket. Upaya mencari
solusi terhadap permasalahan yang timbul sangat lamban dan kurang menyentuh
akar permasalahan. Menyangkut masalah beras, misalnya, upaya pemerintah dalam
stabilisasi harga ternyata gagal.
Pemerintah telah melakukan operasi pasar khusus (OPK)
beras di seluruh Tanah Air. Volume OPK beras itu berjumlah 230.000 ton dengan
rumah tangga sasaran (RTS) mencapai 15,5 juta. Setiap RTS mendapatkan alokasi 15 kilogram dengan
harga tebus Rp 1.600 per kilogram. Namun, upaya yang ditempuh pemerintah itu tidak
kunjung membawa hasil, harga beras masih tetap stabil tinggi hingga sekarang.
Modus lama
Isu tentang mafia beras seperti yang disampaikan Menteri
Perdagangan Rachmat Gobel sebenarnya bukan hal baru. Modus pengoplosan beras
Bulog dengan beras lain seperti yang dijumpai Menteri Perdagangan saat
inspeksi mendadak di kawasan pergudangan Cakung, Jakarta Timur, merupakan
modus yang sudah lama kita dengar.
Bukan hanya itu, pengalaman empiris menunjukkan
pelaksanaan operasi pasar murni (OPM) beras di sejumlah daerah justru
menyuburkan tindakan aji mumpung (moral
hazard). Hal itu bisa terulang dan terulang lagi karena lemahnya
pengawasan dari otoritas pemerintah.
Dasar pelaksanaan OPM beras tahun ini adalah Surat Menteri
Perdagangan Nomor 1278/ M-DAG/SD/2014 tanggal 3 Desember 2014 tentang Pelaksanaan
OP Beras dengan Menggunakan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Sesuai
ketentuan, harga eceran tertinggi (HET) OP beras Rp 7.400 per kilogram (Jawa)
dan Rp 7.500 per kilogram (Luar Jawa).
Namun, dalam praktik di lapangan, seperti diungkap
Direktur Utama Perum Bulog Lenny Sugihat, beras itu dijual dengan harga jauh
di atas HET, Rp 8.200- Rp 8.300 per kilogram. Selisih harga antara beras OP
dan beras di pasar yang tidak terlalu signifikan membuat beras OP tidak
diminati masyarakat. Beras OP yang notabene disubsidi pemerintah tersebut
akhirnya ditampung oknum-oknum yang tidak berhak menerima.
Untuk meminimalkan terjadinya tindakan moral hazard, upaya
stabilisasi harga beras lebih baik dilakukan dengan cara mempercepat dan
memperbesar volume penyaluran raskin. Alasannya, pertama, ada atau tak ada
OP, raskin tetap harus disalurkan kepada kelompok sasaran. Musim paceklik
seperti sekarang merupakan saat paling tepat karena nilai manfaatnya lebih
dirasakan masyarakat. Sebaliknya, pada puncak panen raya volume penyaluran
raskin dikurangi atau bahkan ditiadakan agar harga beras petani tidak anjlok.
Kedua, volume raskin dalam sekali penyaluran sangat besar,
mencapai 230.000 ton. Ketiga, jangkauan wilayah sangat luas karena bisa
menjangkau seluruh pelosok Tanah Air dan terinci by name by address. Keempat,
harga tebus raskin Rp 1.600 per kilogram relatif terjangkau oleh masyarakat
miskin.
Sebaliknya, OPM beras tak efektif menstabilkan harga di
pasaran karena beberapa keterbatasan. Di antaranya OPM beras hanya dilakukan
di beberapa titik penjualan, volume beras untuk OP sangat sedikit, selisih
harga beras OP dan harga riil di pasar sangat kecil sehingga kelompok sasaran
tidak mampu membeli.
Pembenahan data
Selain memberantas mafia beras, ada satu hal mendasar yang
harus segera ditangani, yaitu
pembenahan data. Selama ini data beras antar-kementerian/lembaga sangat
beragam sehingga tarik ulur masalah kebijakan beras sering bermula dari sini.
Setiap instansi bersikukuh pada kebenaran data mereka dan cenderung memberikan
penilaian overestimate atau underestimate terhadap data instansi lain.
Mari kita cermati perhitungan berikut. Selama ini ada tiga
versi data konsumsi beras per kapita per tahun, yaitu versi Kementerian
Pertanian 139,15 kilogram, versi Badan Pusat Statistik (BPS) 113,48 kilogram,
dan versi Susenas 2012 sebesar 98
kilogram. Data inilah yang digunakan untuk perencanaan kebijakan
strategis di bidang pangan.
Untuk menghitung neraca beras kita ambil data angka
ramalan II BPS yang menyebutkan
produksi padi nasional 2014 mencapai 70,61 juta ton gabah kering
giling (setara 44,73 juta ton beras). Kebutuhan beras nasional (asumsi jumlah
penduduk 247 juta orang, konsumsi per kapita per tahun 139,15 kilogram)
mencapai 34,37 juta ton. Jika data tersebut bisa dipertanggungjawabkan, saat
ini sudah terjadi surplus produksi beras nasional minimal 10 juta ton (versi
BPS dan versi Susenas lebih besar lagi). Kerancuan data beras juga terjadi
pada perhitungan data produksi. Data produksi beras berasal dari kolaborasi
antara Kementerian Pertanian dan BPS. Data yang menyangkut luas tanam, luas
panen, dan luas gagal panen menjadi tanggung jawab Dinas Pertanian. Adapun
data menyangkut produktivitas menjadi tanggung jawab Kantor Statistik.
Karena berbagai kendala, seperti kurangnya sarana,
terbatasnya pengetahuan petugas, serta usia yang rata-rata sudah tua, membuat
pengukuran luasan panen sering hanya dilakukan dengan perkiraan pandangan
mata (eye estimate). Pengumpulan
data produktivitas yang dilakukan dengan cara ”ubinan” juga masih menggunakan
peralatan sederhana sehingga kemungkinan terjadinya human error sangat besar.
Bias data pengukuran luas panen dan produktivitas ini secara berantai
berimbas pada data produksi. Realisasi produksi jauh lebih kecil dibanding
perhitungan di atas kertas atau sebaliknya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, data statistik beras harus
segera dibenahi. Data yang akurat sangat membantu pemerintah dalam menentukan
berbagai kebijakan strategis di bidang pangan. Seperti kebijakan apa saja
yang harus segera ditempuh untuk pengamanan produksi dan cadangan pangan,
perlu atau tidak dilakukan impor, kapan waktu paling tepat impor dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar