Jumat, 27 Februari 2015

Involusi Pertanian dan Punahnya Petani

Involusi Pertanian dan Punahnya Petani

Khudori ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
 Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat 2010-sekarang
KOMPAS, 25 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Hasil pembangunan ekonomi dapat diibaratkan sebuah kue. Jumlah total kue 100 persen dengan jumlah nilai nominal bisa berubah dari waktu ke waktu. Kue itu dikerjakan 100 persen tenaga kerja yang jumlah nominalnya juga berubah dari waktu ke waktu. Secara makro, kue terdiri dari dua lapis, lapis pertama adalah pertanian dan lapis kedua adalah industri. Lapis kue pertanian hasil kerja para petani dan lapis kue industri adalah hasil kerja sektor industri.

Perubahan proporsi kue, yaitu proporsi lapis pertanian yang mengecil di satu pihak dan lapis industri yang membesar di pihak lain, jumlahnya 100 persen, dalam ilmu ekonomi dinamai perubahan struktur ekonomi atau transformasi struktural.

Sesuai dengan perubahan struktur itu terjadi pula perubahan struktur ketenagakerjaan: transformasi ekonomi membuat kian sedikit pekerja pertanian relatif atas pekerja industri. Pekerja pertanian masuk ke industri.

Apakah di Indonesia terjadi transformasi struktural ekonomi? Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST 2013) menunjukkan, jumlah rumah tangga petani (RTP) 26,14 juta, turun 5 juta (1,75 persen) dari ST 2003. Petani berkurang 500.000 per tahun. Penurunan RTP terbanyak di Jawa Tengah (1,5 juta), Jawa Timur (1,3 juta), dan Jawa Barat (1,3 juta).

Petani di Jawa banyak berkurang karena jumlah petani paling banyak di pulau ini. Jika penurunan RTP diikuti kenaikan pangsa PDB dan pangsa tenaga kerja sektor industri dan jasa, berarti transformasi terjadi. Itu berarti ada pembangunan dan arahnya benar. Jika sebaliknya, itu pertanda terjadi involusi.

Selama satu dekade, pangsa PDB pertanian hanya turun kecil, yakni dari 15,19 persen pada 2003 menjadi 14,43 persen pada 2013. Sementara penyerapan tenaga kerja pertanian turun dari 43,33 persen (2003) menjadi 34,78 persen (2013). Pada periode yang sama, PDB industri dan jasa berubah dari 28,25 persen dan 9,87 persen menjadi 23,70 persen dan 11,02 persen. Adapun penyerapan tenaga kerja industri dan jasa berubah dari 11,2 persen dan 11,05 persen menjadi 13,26 persen dan 16,36 persen.

Data-data itu menunjukkan, transformasi struktural ekonomi belum sepenuhnya terjadi. Industri dan jasa yang diharapkan bisa menjadi gantungan hidup warga, terutama tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian, jauh panggang dari api. PDB industri bahkan menurun.

Serap tenaga kerja

Selama satu dekade, tren penurunan penyerapan tenaga kerja pertanian amat lambat. Kalkulasi Pakpahan (2004) menunjukkan hal serupa, yakni dalam periode 1960-2000-an setiap penurunan 1 persen PDB pertanian dalam PDB nasional hanya diikuti penurunan tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5 persen.

Bandingkan dengan proses yang terjadi di Korea Selatan, tiap penurunan pangsa PDB pertanian 1 persen di dalam PDB nasional pangsa tenaga kerja pertanian yang berkurang hampir mencapai dua kali. Hal serupa juga dicapai Malaysia dan Thailand. Idealnya, jika PDB pertanian 14,43 persen, serapan tenaga kerja tak lebih 20 persen.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa industrialisasi di Indonesia telah menyebabkan pemiskinan di sektor pertanian. Industrialisasi semacam ini meletakkan beban di pundak petani.

Kondisi itu terjadi jika yang berlangsung adalah industrialisasi semu atau industrialisasi prematur dengan ciri penurunan pangsa nilai PDB pertanian tidak diikuti oleh penurunan pangsa tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian.

Ketika kue ekonomi (PDB) yang semakin kecil jadi rebutan banyak orang, logis apabila kemiskinan menumpuk di sektor pertanian. Per Maret 2014, sebanyak 17,77 juta dari 28,28 juta warga miskin atau 62,84 persen berada di pedesaan. Sebagian besar mereka bergantung pada sektor pertanian, padahal sektor ini tidak bisa membantu keluar dari garis kemiskinan.

Menurut Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian tahun 2013 (SPP 2013) BPS, rata-rata pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian hanya Rp 12,4 juta per tahun atau Rp 1 juta per bulan, jauh dari upah layak buruh pabrik.

Pendapatan ini hanya mampu menopang sepertiga kebutuhan. Sisanya dipenuhi dengan mengojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar.

Karena tak menjanjikan kesejahteraan, logis kiranya pertanian dijauhi tenaga kerja muda terdidik. Menurut ST 2013, sepertiga pekerja sektor pertanian sudah berusia di atas 54 tahun.

Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak diimbangi kemampuan sektor ini memberikan penghidupan layak bukan hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di pedesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-industri, tetapi juga bisa melumpuhkan perekonomian nasional secara keseluruhan.

Langkah radikal

Perlu langkah radikal agar petani bisa keluar dari kemiskinan, tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar jadi kebutuhan primer. Pertanian harus dijadikan agenda pembangunan bangsa.

Agar terjadi transformasi struktural ekonomi, harus ada kemauan membalik arah pembangunan, yakni dari sektor non-tradable (sektor keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja lokal.

Prioritas pembangunan ekonomi harus ditumpukan pada proses industrialisasi yang mampu mengubah pola transformasi ekonomi ke arah perubahan struktural yang memperkuat ekonomi Indonesia pada masa mendatang. Industrialisasi tanpa transformasi struktural tak hanya memiskinkan petani, tetapi juga membuat fondasi ekonomi menjadi rapuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar