Rethinking
the Greater Surabaya
Arif Afandi ; Ketum BKS-BUMD-SI dan
Dirut Wira Jatim Group
|
JAWA
POS, 23 Februari 2015
SURABAYA sudah terlalu kecil untuk warganya. Luasan
wilayahnya tidak bertambah. Jumlah penduduknya meledak banyak. Bukan hanya
soal kelahiran, tetapi juga karena migrasi penduduk dari daerah lain.
Pertumbuhan Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia telah menjadi
’’gula’’ bagi warga lainnya. Ledakan jumlah penduduk tidak bisa dihindarkan.
Ketika sebuah kota tumbuh pesat, pasti ada pihak yang
mampu bertahan dan ikut berkembang pesat. Ada juga yang tersingkir karena
kurang kompetensi dan kemampuan ekonomi. Karena itu, wilayah sekitar Surabaya
menjadi area penting bagi tumpahan pertumbuhan ibu kota. Berapa jumlah penduduk
asli Surabaya yang pindah ke Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Bangkalan
karena keadaan? Fakta baru yang perlu diteliti saat ini.
Makanya, membangun Surabaya sebenarnya tidak bisa hanya
memikirkan Kota Pahlawan ini. Membangun Surabaya harus juga mempertimbangkan
pertumbuhan daerah sekitarnya. Sebaliknya, membangun daerah sekitar Surabaya
tidak mungkin tanpa mempertimbangkan kemajuan ibu kota Jawa Timur tersebut.
Sudah saatnya berpikir kembali model pembangunan the Greater Surabaya atau
Surabaya Raya. Gagasan lama yang tenggelam karena kebijakan otonomi.
Ketimpangan
Sebelum reformasi politik, dikenal konsep pengembangan
kawasan Gerbang Kertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya,
Sidoarjo, dan Lamongan). Itu adalah konsep pembangunan kewilayahan yang
terintegrasi. Saat itu konsep tersebut bisa dijalankan karena gubernur
menjadi simpul kepemimpinan wilayah. Pemerintah provinsi punya kewenangan
yang cukup untuk mengoordinasikan beberapa kepala daerah dalam satu kawasan.
Perencanaan pembangunan antardaerah menjadi lebih gampang dikoordinasikan.
Situasi tersebut tentu sudah sangat berbeda dengan
sekarang. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, bupati dan wali kota
mempunyai kewenangan lebih besar dan tidak menjadi bawahan langsung gubernur.
Dengan pemilihan kepala daerah langsung, loyalitas kepala daerah lebih kepada
konstituen pemilihnya. Jika itu tidak berdampak kepada upaya membangun
loyalitas pemilih, kepentingan pemerintah provinsi tidak akan dilirik sama
sekali. Instrumen pemerintah provinsi untuk mengendalikan dan
mengoordinasikan wali kota dan bupati jauh berkurang.
Tetapi, apakah dengan demikian konsep pengembangan kawasan
menjadi tidak penting lagi? Nah, ini masalahnya. Jika tidak ada kesadaran
pembangunan kawasan, bukan mustahil ketimpangan antara ibu kota dan daerah
sekitarnya semakin menjadi-jadi. Kalau ketimpangan ekonomi dan
infrastrukturnya terlalu jauh, bukan mustahil bisa timbul permasalahan
sosial. Itu bukan hanya menyulitkan daerah setempat, tetapi juga ibu kota
yang tumbuh kembangnya lebih pesat.
Pertumbuhan Surabaya dan Sidoarjo, misalnya. Dua daerah
tersebut berimpitan. Bahkan, ada aset Surabaya di Sidoarjo. Yakni, terminal
bus Surabaya di Bungurasih. Bandara Juanda Surabaya juga ada di Sidoarjo.
Karena itu, kru pesawat selalu menyebut pesawat akan mendarat di Bandara
Juanda Surabaya di Sidoarjo. Masih banyak penduduk baru Sidoarjo yang
berkartu penduduk Surabaya. Mereka adalah para keluarga muda yang tidak lagi
mampu membeli rumah di ibu kota Jatim.
Kondisi demikian mengharuskan perencanaan dua daerah
tersebut harus saling terkait. Tetapi, bagaimana membuat perencanaan yang
saling berimpit? Mekanisme formal agak sempit dilakukan. Yang ada, harapan
kelegaan masing-masing kepala daerah untuk lebih berkoordinasi. Kesadaran
bersinergi dengan daerah lain demi kepentingan warganya di daerah yang
dipimpin. Mengurangi sikap ego-kedaerahan, apalagi hanya ego personal kepala
daerah.
Diperlukan perspektif yang lebih luas dari seorang kepala
daerah bahwa mereka bukan hanya pemimpin untuk daerahnya. Tapi, mereka juga
punya tanggung jawab untuk memikirkan warga sebagai bagian dari bangsa dan
negara. Karena itu, menjadi bagian dari sebuah kawasan yang maju, kepala
daerah harus juga berpikir maju. Dia harus tergerak hatinya secara
terus-menerus untuk mengejar ketertinggalan dari daerah sebelahnya.
Kesadaran sinergi dari sejumlah kepala daerah dalam satu
kawasan itu akan mengatasi instrumen regulatif. Sistem dan peraturan yang ada
memang sangat kurang untuk ’’memaksa’’ antarkepala daerah di sekitar untuk
saling berkoordinasi. Gubernur hanya punya instrumen mengevaluasi setiap
peraturan daerah baru yang dihasilkan. Selebihnya hanya bisa bersifat
imbauan.
Benchmarking
Saya jadi teringat kampanye Bupati Bojonegoro Suyoto saat
pertama maju dalam pilkada periode pertama beberapa tahun lalu. Dia mengusung
spirit mengungguli Kabupaten Lamongan yang ketika itu maju pesat di bawah
Bupati Masfuk. Setelah menjadi bupati, Kang Yoto –demikian dia biasa
dipanggil– memang bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan daerahnya dari
kabupaten di sebelahnya. Hasilnya, setelah hampir dua periode memimpin,
Bojonegoro memang tampak berubah. Benchmarking dengan daerah terdekat yang
lebih maju bisa menjadi sumber spirit kemajuan.
Cara berpikir seperti itu yang harus menjadi pertimbangan
sejumlah kepala daerah yang berada dalam satu cluster atau kawasan. Tanpa ada
kesadaran mengejar ketertinggalan atau menyamakan kemajuan daerahnya dengan
daerah sekitar, kesenjangan tetap terjadi. Setiap kesenjangan akan
menghasilkan persoalan. Mulai masalah sosial, ekonomi, hingga problem lain
yang berkaitan dengan infrastruktur. Masalah tidak hanya akan muncul di
daerah yang lebih tertinggal. Daerah yang lebih maju juga pasti terkena
dampak.
Ketika regulasi dan sistem kurang bisa mendorong kesadaran
kepala daerah membangun kawasan, pilkada yang akan berlangsung serentak bisa
menjadi pintu masuk. Momentum itu bisa digunakan warga dari kota dan
kabupaten sekawasan untuk memilih kepala daerah yang memiliki visi
pembangunan kawasan. Memilih kepala daerah yang punya kemauan dan kemampuan
berkomunikasi dengan kepala daerah di sekitarnya.
Tampaknya, pemikiran kembali membangun Surabaya Raya perlu
menjadi salah satu pertimbangan warga dalam memilih pemimpinnya di kawasan
tersebut. Calon yang tidak punya paradigma berpikir kawasan sudah seharusnya
ditinggalkan. Diperlukan pemimpin yang tidak hanya memikirkan daerahnya, tapi
juga daerah di sekitarnya. Saatnya mencari pemimpin daerah yang mau dan mampu
maju bersama. Bukan bersaing hanya untuk kemajuan dirinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar