“Drone”
Masuk Desa
Sofyan Sjaf ; Dosen Pascasarjana
Sosiologi Pedesaan IPB
dan Sekretaris Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan IPB
|
KOMPAS,
21 Februari 2015
Ketika mewawancarai Presiden Joko Widodo, Kompas
menggunakan drone. Maka, muncullah
tulisan ”Saat Drone Terbang di Atas Istana” sekaligus mengutip keinginan
Jokowi agar suatu saat drone alias
pesawat tanpa awak bisa masuk desa.
Pasca pemberitaan tersebut, di media sosial Twitter, para
pegiat desa ramai berdiskusi tentang fungsi drone masuk desa. Tidak sedikit
yang bertanya tentang substansi drone masuk desa dan relevansinya terhadap
amanat Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014. Sebagian malah beranggapan
bahwa keinginan Jokowi membawa drone masuk desa sama halnya menghadirkan
teknologi yang tidak dibutuhkan desa.
Bagaimana menyikapinya
Bagi para pegiat desa dan pemerintah (pusat, daerah, dan
desa), memahami UU No 6/2014 tentang Desa bukanlah hal yang sulit. Yang sulit
adalah menjawab pertanyaan bagaimana pendekatan yang tepat
mengimplementasikan UU Desa agar sesuai dengan konteks desa dan kebutuhannya.
Menjawab pertanyaan di atas, pemahaman tentang amanat UU
Desa menjadi penting. Menurut hemat penulis, UU No 6/2014 menyodorkan empat
amanat utama. Pertama, membangun desa berarti membangun kawasan pedesaan. Amanat
ini menitikberatkan pada dua hal, yaitu (1) desa harus dibangun dengan basis
sumber daya yang dimiliki, (2) kerja sama antardesa menjadi kunci
keberhasilan membangun desa. Untuk itu, data tentang peta sumber daya desa
dan basis ekologi desa menjadi keharusan.
Selanjutnya amanat kedua adalah pengembangan ekonomi desa
melalui badan usaha milik desa (BUM Desa) dan BUM Antardesa. Amanat ini
menitikberatkan bahwa kemandirian dan kesejahteraan desa hanya dapat diperoleh
apabila desa mampu mengorganisir basis ekonomi dengan baik. Maka, BUM Desa
adalah wadah pengorganisasian ekonomi desa dan antardesa untuk menuju
desa-desa yang berdikari (berdiri dengan kaki sendiri). Dalam konteks ini,
BUM Desa harus memiliki kemampuan memprediksi kekuatan ekonomi yang dimiliki
desanya.
Untuk amanat ketiga adalah pelaksanaan, pemantauan, dan
pengawasan dana desa. Sejauh ini, amanat ketiga ini telah tertuang dalam PP
No 60/2014 tentang dana desa yang bersumber dari APBN. Dalam peraturan
pemerintah itu, pengalokasian dan pencairan dana desa ditentukan oleh
sejumlah indikator, seperti jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, luas
wilayah, dan tingkat kesulitan geografis, serta tersedianya dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa dan Rencana Kerja Pemerintahan (RPK)
Desa (Pasal 11 s/d 20).
Kemudian, amanat keempat, yaitu sistem informasi
pembangunan desa dan kawasan pedesaan. Minimnya akses informasi masyarakat
desa mendorong pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan sistem informasi
yang melibatkan partisipasi masyarakat desa untuk menghasilkan data desa,
data pembangunan desa, dan kawasan pedesaan yang akurat.
”Drone” desa
Keempat amanat UU Desa di atas telah merangkum empat
masalah urgen pembangunan desa dan pedesaan, yakni (1) desa dan kawasan
pedesaan tidak memiliki peta visual (data otentik) yang menggambarkan isi
”rumah” (sumber daya desa) akibat keterbatasan dan minimnya akses desa
terhadap data spasial.
Alhasil, perencanaan pembangunan desa yang tertuang dalam
RPJM Desa dan RKP Desa tidak pernah sesuai dengan konteks kebutuhan dan tata
ruang desa, (2) belum tuntasnya tapal batas dan akurasi luas desa-desa di
Indonesia menyebabkan maraknya konflik vertikal ataupun horizontal, (3)
lemahnya instrumen pendeteksian daya dukung desa menyebabkan desa tak mampu
menolak dan melawan tekanan kapitalisasi desa, dan (4) tidak ditemukannya
instrumen untuk perencanaan dan pengawasan pembangunan desa.
Atas keempat masalah itu, keinginan Jokowi untuk membawa
drone masuk desa merupakan gagasan sekaligus aksi besar dari seorang pemimpin
untuk membangun Indonesia dari pinggiran.
Drone desa (istilah yang penulis pakai) adalah teknologi
sekaligus instrumen yang efektif-inklusif-partisipatif mampu memberikan
informasi visual potensi sumber daya desa dan kawasan pedesaan (meliputi:
vegetasi, kesehatan vegitasi, status dan kepemilikan lahan, pemanfaatan
lahan, tapal batas atau luas, kondisi infrastruktur, kondisi pangan, potensi
ekonomi, dan resolusi konflik) untuk pembangunan desa dan kawasan pedesaan.
Drone desa mampu menghasilkan citra (gambar) dengan
presisi yang cukup baik dan memiliki tingkat resolusi gambar tinggi, lebih
tinggi dari citra satelit.
Data yang dihasilkan drone desa berupa peta visual desa
tergeoreferensi yang bisa diperbarui setiap waktu. Harganya yang relatif
murah (bahkan bisa diproduksi secara massal dengan menggerakkan siswa-siswa
SMK) dan pengoperasiannya dapat dilakukan orang-orang desa.
Tidak itu saja, kekuatan drone desa adalah terbukanya
ruang partisipasi warga desa dalam melakukan pemetaan potensi sumber daya
desanya. Dengan demikian, keprihatinan para pihak tentang bagaimana mengawal
dan mengawasi penggunaan dana desa sesuai dengan konteks kebutuhan dan tata
ruang desa dapat dijawab. Lebih dari itu, orang desa ke depan dapat
berkontribusi sekaligus mengoreksi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang
sejauh ini terkesan top down.
Jadi jangan lagi ada keraguan membangun desa. Pertautkan
inovasi dengan orang desa akan membawa perubahan substantif bagi masa depan
desa dan negeri kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar