Sabtu, 28 Februari 2015

Relasi Jokowi, PDIP, dan Megawati

Relasi Jokowi, PDIP, dan Megawati

FS Swantoro ;  Peneliti Bidang Politik, Tinggal di Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 24 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

KISRUH KPK-Polri yang menimbulkan kegaduhan politik dan hukum sebenarnya juga meretakkan hubungan Jokowi dengan PDIP dan Megawati Soekarnoputri.

Muncul kesan kuat, semenjak Komjen Budi Gunawan (BG) batal dilantik sebagai kapolri dan dijadikan tersangka oleh KPK, hubungan Jokowi-Mega merenggang. Bahkan sejak pelantikan Kabinet Kerja, siapa pun yang mencermati gerakan politik, bisa menangkap kemerenggangan hubungan keduanya. Penetapan BG sebagai tersangka juga membuat keberadaan KPK terancam berakhir pada era pemerintahan Jokowi.

Kelambanan Presiden mengambil keputusan soal posisi kapolri, turut memanaskan suhu politik. Dalam kondisi itu, PDIP dan Megawati harus ikut bertanggung jawab karena semua ’’bermula’’dari mereka. Sebagai partai pendukung pemerintah, PDIP justru sering menekan Jokowi.

Konflik KPK-Polri malah membuat kader banteng makin berani ’’menanduk’’ Jokowi. Tekanan PDIP sudah terlihat ketika Jokowi menaikkan harga BBM November 2014. Saat itu beberapa kader, seperti Rieke Diah Pitaloka, Effendi Simbolon, dan Hendrawan Supratikno, bersuara sumbang.

Mereka membuat konferensi pers menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Pada Januari 2015, Efendi Simbolon mengkritik Jokowi dengan mengatakan gaya pemerintahan Jokowi seperti LSM karena berbagai kebijakannya dibuat secara dadakan, tanpa perencanaan matang.

Selama Februari ini, kritik elite PDIPkepada Jokowi tak pernah surut, antara lain menyasar Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Kepala Staf Kepresidenan Luhut B Pandjaitan.

Kader PDIP Masinton Pasaribu misalnya, menyebut tiga sosok itu Trio Macan yang sering menghalang-halangi komunikasi antara Jokowi dan Mega. Masinton juga menuduh Andi sebagai Brutus yang bisa menghancurkan Jokowi. Tekanan juga terlihat nyata saat sidang paripurna DPR membahas APBN Perubahan 2015.

Banyak anggota Fraksi PDIP, di antaranya Rieke Dyah Pitaloka dan Aria Bima, justru menginterupsi meminta kejelasan tentang penyertaan modal ke BPJS Kesehatan dan tidak sinkronnya hasil pembahasan di tingkat Komisi dengan Badan Anggaran DPR. Ada sejumlah BUMN yang pada pembahasan tingkat Komisi tidak disetujui, namun masuk dalam APBNP, seperti pemberian tambahan modal bagi PT Perkebunan Negara (PTPN) III, IX, X, XI, dan PT Djakarta Lloyd.

Padahal hanya PTPN III yang disetujui Komisi DPR. Semua itu menjadi cermin bening situasi abnormal. Maknanya, partai pendukung Jokowi, terutama PDIP, justru menekan Jokowi. Sebaliknya, partai-partai oposisi malah lebih mendukung kebijakan Jokowi.

Situasi ini berbeda dari era kepresidenan Gus Dur, Megawati, dan SBY mengingat Gus Dur selalu dibela PKB, Megawati dibela PDIP, dan SBY dibela Partai Demokrat. Fenomena belakangan ini terjadi karena Jokowi bukan tokoh sentral dan tak punya pengaruh di PDIP. Apalagi Puan Maharani sering mengatakan Jokowi petugas partai dan kader PDIP.

Mewaspadai Celah

Mungkin karena ’’ketidaktahuan’’ Puan bahwa dirinya pembantu Jokowi yang notabene presiden. Atau mungkin Jokowi terlambat mengonsolidasikan partai pendukungnya sehingga ’’penganulirannya’’ terhadap Komjen Budi dianggap melenceng dari garis kebijakan partai.

Dalam kasus BG terlihat banyak kader PDIP kecewa sehingga galak menekan Jokowi. Di luar itu, muncul teror secara sistematis terhadap KPK. Operasi itu diduga melibatkan elite PDIP, seperti Hasto Kristiyanto dan AM Hendropriyono (Tempo, 15/2/15).

Mereka menggunakan pendekatan politik merespons penetapan BB sebagai tersangka yang disebutnya sebagai balas dendam Abraham Samad karena gagal menjadi calon wapres dari Jokowi. ”Bara panas” itu dimainkan PDIPdengan mengungkap peran Samad dalam Pilpres 2014. Hasto juga menuding Samad tak mengakui manuvernya mendekati PDIP. Lewat pendekatan itu, ia berusaha mendelegitimasi proses hukum terhadap BG oleh komisi antikorupsi.

Ia mengungkap pertemuan poltik itu diprakarsai Samad. Hasto juga menuduh Samad ’’memperdagangkan’’ kasus Emier Moeis, politikus PDIP yang terseret kasus hukum, untuk dibarter sehingga Samad dipasangkan sebagai calon wapres dari Jokowi. Alih-alih melaporkan ke Komite Etik KPK, Hasto memilih mengadu ke Komisi Hukum DPR.

Manuver Hasto itu cukup berbahaya karena ia kemudian ’’berkolaborasi’’dengan ’’tim’’dari kepolisian yang dipersiapkan untuk mengkriminalkan pimpinan KPK. Dalam konstruksi itu, langkah yang harus dilakukan Jokowi adalah perlunya kembali membangun komunikasi politik dengan Mega, selaku ketua umum PDIP.

Suka atau tidak, dari pintu partai tersebut, Jokowi menapak ranah politik kekuasaan. Sebelumnya, memang muncul isu Jokowi hanya ’’boneka’’Megawati. Ini sama dengan isu yang muncul belakangan bahwa Megawati bakal dijadikan tersangka oleh KPK terkait kebijakan pengucuran BLBI semasa presiden. Adapun isu yang menghampiri Jokowi adalah akan dimakzulkan PDIP.

Secara politik, isu itu bisa ditempatkan sebagai variabel disinformasi yang sengaja diembuskan kekuatan politik tertentu guna menjauhkan relasi politik Jokowi dengan Megawati. Bila hubungan mereka renggang, apalagi berkonflik, peluang mengontrol Jokowi dari pintu mana pun terbuka lebar. Elite PDIP dan Mega seharusnya mewaspadai celah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar