Relasi Jokowi, PDIP, dan Megawati
FS Swantoro ; Peneliti Bidang Politik, Tinggal di
Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 24 Februari 2015
KISRUH KPK-Polri yang menimbulkan
kegaduhan politik dan hukum sebenarnya juga meretakkan hubungan Jokowi dengan
PDIP dan Megawati Soekarnoputri.
Muncul kesan kuat, semenjak Komjen
Budi Gunawan (BG) batal dilantik sebagai kapolri dan dijadikan tersangka oleh
KPK, hubungan Jokowi-Mega merenggang. Bahkan sejak pelantikan Kabinet Kerja,
siapa pun yang mencermati gerakan politik, bisa menangkap kemerenggangan
hubungan keduanya. Penetapan BG sebagai tersangka juga membuat keberadaan KPK
terancam berakhir pada era pemerintahan Jokowi.
Kelambanan Presiden mengambil
keputusan soal posisi kapolri, turut memanaskan suhu politik. Dalam kondisi
itu, PDIP dan Megawati harus ikut bertanggung jawab karena semua
’’bermula’’dari mereka. Sebagai partai pendukung pemerintah, PDIP justru
sering menekan Jokowi.
Konflik KPK-Polri malah membuat
kader banteng makin berani ’’menanduk’’ Jokowi. Tekanan PDIP sudah terlihat
ketika Jokowi menaikkan harga BBM November 2014. Saat itu beberapa kader,
seperti Rieke Diah Pitaloka, Effendi Simbolon, dan Hendrawan Supratikno,
bersuara sumbang.
Mereka membuat konferensi pers
menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Pada Januari 2015, Efendi
Simbolon mengkritik Jokowi dengan mengatakan gaya pemerintahan Jokowi seperti
LSM karena berbagai kebijakannya dibuat secara dadakan, tanpa perencanaan
matang.
Selama Februari ini, kritik elite
PDIPkepada Jokowi tak pernah surut, antara lain menyasar Sekretaris Kabinet
Andi Widjajanto, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Kepala Staf Kepresidenan
Luhut B Pandjaitan.
Kader PDIP Masinton Pasaribu
misalnya, menyebut tiga sosok itu Trio Macan yang sering menghalang-halangi
komunikasi antara Jokowi dan Mega. Masinton juga menuduh Andi sebagai Brutus
yang bisa menghancurkan Jokowi. Tekanan juga terlihat nyata saat sidang
paripurna DPR membahas APBN Perubahan 2015.
Banyak anggota Fraksi PDIP, di
antaranya Rieke Dyah Pitaloka dan Aria Bima, justru menginterupsi meminta
kejelasan tentang penyertaan modal ke BPJS Kesehatan dan tidak sinkronnya
hasil pembahasan di tingkat Komisi dengan Badan Anggaran DPR. Ada sejumlah
BUMN yang pada pembahasan tingkat Komisi tidak disetujui, namun masuk dalam
APBNP, seperti pemberian tambahan modal bagi PT Perkebunan Negara (PTPN) III,
IX, X, XI, dan PT Djakarta Lloyd.
Padahal hanya PTPN III yang
disetujui Komisi DPR. Semua itu menjadi cermin bening situasi abnormal.
Maknanya, partai pendukung Jokowi, terutama PDIP, justru menekan Jokowi.
Sebaliknya, partai-partai oposisi malah lebih mendukung kebijakan Jokowi.
Situasi ini berbeda dari era
kepresidenan Gus Dur, Megawati, dan SBY mengingat Gus Dur selalu dibela PKB,
Megawati dibela PDIP, dan SBY dibela Partai Demokrat. Fenomena belakangan ini
terjadi karena Jokowi bukan tokoh sentral dan tak punya pengaruh di PDIP.
Apalagi Puan Maharani sering mengatakan Jokowi petugas partai dan kader PDIP.
Mewaspadai Celah
Mungkin karena ’’ketidaktahuan’’
Puan bahwa dirinya pembantu Jokowi yang notabene presiden. Atau mungkin
Jokowi terlambat mengonsolidasikan partai pendukungnya sehingga
’’penganulirannya’’ terhadap Komjen Budi dianggap melenceng dari garis
kebijakan partai.
Dalam kasus BG terlihat banyak kader
PDIP kecewa sehingga galak menekan Jokowi. Di luar itu, muncul teror secara
sistematis terhadap KPK. Operasi itu diduga melibatkan elite PDIP, seperti
Hasto Kristiyanto dan AM Hendropriyono (Tempo, 15/2/15).
Mereka menggunakan pendekatan
politik merespons penetapan BB sebagai tersangka yang disebutnya sebagai
balas dendam Abraham Samad karena gagal menjadi calon wapres dari Jokowi.
”Bara panas” itu dimainkan PDIPdengan mengungkap peran Samad dalam Pilpres
2014. Hasto juga menuding Samad tak mengakui manuvernya mendekati PDIP. Lewat
pendekatan itu, ia berusaha mendelegitimasi proses hukum terhadap BG oleh
komisi antikorupsi.
Ia mengungkap pertemuan poltik itu
diprakarsai Samad. Hasto juga menuduh Samad ’’memperdagangkan’’ kasus Emier
Moeis, politikus PDIP yang terseret kasus hukum, untuk dibarter sehingga
Samad dipasangkan sebagai calon wapres dari Jokowi. Alih-alih melaporkan ke
Komite Etik KPK, Hasto memilih mengadu ke Komisi Hukum DPR.
Manuver Hasto itu cukup berbahaya
karena ia kemudian ’’berkolaborasi’’dengan ’’tim’’dari kepolisian yang
dipersiapkan untuk mengkriminalkan pimpinan KPK. Dalam konstruksi itu,
langkah yang harus dilakukan Jokowi adalah perlunya kembali membangun
komunikasi politik dengan Mega, selaku ketua umum PDIP.
Suka atau tidak, dari pintu partai
tersebut, Jokowi menapak ranah politik kekuasaan. Sebelumnya, memang muncul
isu Jokowi hanya ’’boneka’’Megawati. Ini sama dengan isu yang muncul
belakangan bahwa Megawati bakal dijadikan tersangka oleh KPK terkait
kebijakan pengucuran BLBI semasa presiden. Adapun isu yang menghampiri Jokowi
adalah akan dimakzulkan PDIP.
Secara politik, isu itu bisa
ditempatkan sebagai variabel disinformasi yang sengaja diembuskan kekuatan
politik tertentu guna menjauhkan relasi politik Jokowi dengan Megawati. Bila
hubungan mereka renggang, apalagi berkonflik, peluang mengontrol Jokowi dari
pintu mana pun terbuka lebar. Elite PDIP dan Mega seharusnya mewaspadai celah
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar