Gertak
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 26 Februari 2015
Pekan-pekan
belakangan ini hubungan Indonesia dengan dua negara lain, Australia dan
Brasil, bak cerita silat karya Asmaraman S Kho Ping Hoo (alm).
Memanas
dan masing-masing saling mengeluarkan jurusnya. Sekilas, Australia dan Brasil
terlihat mengeluarkan jurus-jurus serangan, sementara Indonesia dengan ligat
bertahan, menangkis atau berkelit. Penyebabnya tentu kita sudah sama-sama
tahu. Australia panas karena ada dua warga negaranya, Andrew Chan dan Myuran
Sukumaran, yang terancam dihukum mati oleh Indonesia.
Keduanya
dihukum karena tertangkap saat menyelundupkan heroin sebanyak 8,2 kg pada 17
April 2005. Kasusnya populer dengan sebutan Bali Nine. Itu karena Chan dan
Sukumaran melakukan aksinya bersama tujuh rekannya. Akan halnya Brasil,
seorang warga negaranya, Marco Archer Cardoso Moreira, sudah dieksekusi mati
pada Januari lalu.
Kini
masih ada seorang warga negara Brasil lainnya yang menanti dieksekusi, yakni
Rodrigo Gularte. Jika tak ada halangan, eksekusi Rodrigo bakal dilakukan pada
Maret 2015. Persiapan ke arah sana terus dilakukan pihak Kejaksaan Agung.
Marco dan Rodrigo divonis hukuman mati oleh pengadilan karena terbukti
menyelundupkan narkoba ke Indonesia. Marco terbukti menyelundupkan narkoba
sebanyak 13,4 kg ke Indonesia pada 2004.
Sementara
Rodrigo terbukti menyelundupkan kokain seberat 6 kg. Melihat banyaknya
narkoba yang diselundupkan, baik pada kasus Bali Nine maupun oleh dua warga
negara Brasil, jelas bahwa barang haram itu tidak untuk mereka konsumsi
sendiri. Itu pasti untuk diperjualbelikan. Indonesia selama beberapa tahun
belakangan memang terkenal sebagai surga penjaja narkoba. Pasarnya sangat
menjanjikan.
Konsumennya
berlimpah– terutama anak-anak muda—, aparat penegak hukumnya bisa dibeli,
atau kalau tertangka ppun hukumannya ringan. Bahkan kalau sudah kepepet pun
masih bisa minta grasi. Melihat banyaknya narkoba yang mereka selundupkan,
mulanya saya agak heran dengan ”manuver pembelaan” yang dilakukan baik oleh
PM Australia Tony Abbott maupun Presiden Brasil Dilma Rousseff. Penyelundupan
narkoba sebanyak itu pasti tidak akan dilakukan oleh pemain kelas teri.
Pasti
kelas kakap. Penyelundup narkoba kelas kakap seperti mereka pasti tak hanya
membuat repot Indonesia, tetapi tentu menimbulkan banyak masalah bagi negara
asalnya. Mana ada negara yang mau warga negaranya menjadi bandar narkoba?
Kalau saja media kita mau sedikit melakukan investigasi, bukan tak mungkin
empat orang tadi sebetulnya juga sudah menjadi incaran aparat hukum di
negaranya. Pada kasus Bali Nine, misalnya, mereka ditangkap oleh aparat
keamanan kita berdasarkan info dari Kepolisian Federal Australia (AFP, Australia Federal Police).
Jadi,
satu-satunya alasan mengapa PM Abbott dan Presiden Rousseff begitu keras
menentang hukuman mati tersebut mungkin tak lebih untuk alasan popularitas
semata. Mereka tentu tidak ingin dianggap sebagai pemimpin yang tidak melakukan
upaya apa pun guna menyelamatkan warga negaranya yang terancam hukuman mati.
Kalau
berpegang dengan logika tadi, meski gertakan PM Abbott dan Presiden Rousseff
terkesan garang dan agak tak patut (Australia menagih sumbangannya saat
tsunami melanda Indonesia dan Brasil menolak surat kredensial dari Indonesia
yang dibawa oleh Dubes Indonesia untuk Brasil) dan kita membalasnya dengan
gertakan pula, menjadi agak jelas siapa sebetulnya yang tengah menolong
siapa.
Bukankah
dengan cara seperti ini, tangan PM Abbott dan Presiden Rousseff tetap bersih?
Namun demikianlah tugas kepala negara, ia wajib membela warga negaranya.
Bukankah sikap kita juga demikian terhadap WNI yang akan dihukum gantung,
dipancung atau dihukum mati dalam bentuk apa pun oleh negara lain, apa jua
kesalahan mereka?
Hal Biasa
Dalam
dunia bisnis, aksi gertak-menggertak adalah hal biasa. Sepanjang tahun 2014,
misalnya, kita menyaksikannya. Saling gertak itu terjadi antara pemerintah
dengan perusahaan tambang multinasional, terutama PTFreeport Indonesia dan PT
Newmont Nusa Tenggara.
Aksi saling ancam
dan gertak itu bermula ketika pemerintah memutuskan untuk menerapkan aturan
mengenai larangan ekspor mineral mentah yang mulai berlaku pada 12 Januari
2014. Untuk tetap bisa mengekspor produk mineralnya, perusahaan-perusahaan
itu mesti membangun smelter atau pabrik pengolahan. Aturan itu jelas menuai pro dan
kontra. Newmont menggertak dengan menghentikan
ekspor. Alasannya, telah terjadi force
majeure yang diakibatkan adanya aturan baru tersebut.
Bersama dengan Freeport, Newmont menguasai 97% produksi
tembaga nasional.
Dengan penguasaan produksi tembaga sebesar itu, dari sisi bisnis, posisi
Freeport dan Newmont memang terbilang kuat. Gertakan
mereka jelas sangat berpengaruh. Bahkan Newmont melanjutkan gertakannya
dengan menyetop 90% kontraktornya yang bekerja di area pertambangannya.
Lalu, sekitar 80% dari 4.000 karyawan di area tersebut juga
dinyatakan berstatus stand-by. Para
karyawan itu tidak bekerja, tetapi belum diberhentikan. Gaji mereka pun
dipotong. Ampuhkan
gertakan mereka? Dalam kasus Freeport, perusahaan ini akhirnya setuju untuk
membangun smelter. Namun kontrak perusahaan ini yang mestinya habis pada 2021
diperpanjang hingga 2041.
Begitulah
kalau kepentingannya sudah menyangkut fulus, biasanya jalan keluarnya agak
lebih mudah dan terselewengkanlah sesuatu yang sudah kita targetkan. Itu
karena, ”A wise man should have money
in his head, but not in his heart,” kata Jonathan Swift, politikus dan
penulis esai satire asal Irlandia.
Jangan Kebakaran Jenggot
Dalam kasus
Indonesia vs Brasil, aksi gertak-menggertak kini sudah memasuki urusan fulus.
Indonesia sudah mengancam bakal membatalkan pembelian alutsista. Kata Wakil Presiden Jusuf Kalla,
Indonesia tengah mempertimbangkan untuk mengurangi impor alutsista dari
Brasil dan siap mengalihkan pembeliannya ke Amerika Serikat, Jepang, Korea
Selatan atau negara-negara Eropa.
Saat
ini negara kita sudah memesan 16 pesawat Tucano yang diproduksi perusahaan
penerbangan Brasil, Embraer. Kemudian, TNI juga akan memesan sistem peluncur
roket paling mutakhir dari produsen senjata Avibras yang bermarkas di Sao
Jose dos Campos, Sao Paulo, Brasil. Kesepakatan pembelian itu sudah
ditandatangani di Jakarta. Nilainya mulai USD400 juta hingga USD800 juta atau
kalau dikonversi dalam rupiah antara Rp3,8 triliun sampai Rp7,6 triliun.
Angka
tersebut tentu bukan jumlah yang sedikit bagi Brasil yang tengah mati-matian
mempertahankan tingkat penganggurannya tetap rendah, berkisar 5%. Akankah
semua ancaman dan gertakan tadi bakal menjadi kenyataan?
Saya
setuju dengan Charles Caleb Colton, seorang ulama dan penulis asal Inggris, ”Those that
are the loudest in their threats are the weakest in their actions.” Mereka
yang menggertak sangat keras biasanya tak punya nyali dalam bertindak.
Kita mestinya bisa membaca sinyal semacam ini. Jadi jangan cepat kebakaran
jenggot menghadapi gertakan entah dari PM Abbott atau Presiden Rousseff. Kita
buat santai saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar