Senin, 16 Februari 2015

Setelah Seratus Hari

Setelah Seratus Hari

Ridho Imawan Hanafi  ;  Peneliti, Tinggal di Jakarta
SUARA MERDEKA, 13 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

MELEWATI 100 hari pertama bukan perkara mudah bagi pemerintahan Jokowi- JK. Dalam 100 hari tersebut pemerintahan Jokowi-JK terlihat berjalan dengan membawa bandul berat. Terlebih terkait dengan sosok Presiden Jokowi.

Harapan publik untuk melihat Presiden tampil sebagai Jokowi: sosok yang dekat dengan rakyat, berani mengambil langkah tidak populer, dan tidak terbelenggu oleh tekanan parpol pendukung, untuk sementara waktu belum mendapat banyak jawaban. Harapan itu sempat muncul di awal. Meskipun dalam pemilihan anggota Kabinet Kerja belum bisa menggambarkan komposisi ideal, hal ini masih dilihat sebagai prerogatif presiden.

Juga sebagian rakyat, meskipun tidak puas atas kebijakan kenaikan harga BBM masih bisa menerima argumentasi pemerintah. Belum lagi, Jokowi sendiri tampak bekerja siang malam, menyapa satu daerah ke daerah lain. Ditambah kerja beberapa menteri yang memunculkan apresiasi publik.

Namun, situasi berbalik keadaannya bagi Jokowi tatkala dihadapkan pada pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri yang kemudian melahirkan krisis ketegangan antara KPK dan Polri. Suara publik, baik dari relawan Jokowi maupun yang tidak memilihnya, mempertanyakan sikap Jokowi yang seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa dalam mengurai ketegangan KPK dan Polri.

Bahkan pada saat KPK, lembaga paling diharapkan dalam pemberantasan korupsi, di ambang kelumpuhan. Suara yang mempertanyakan sikap Jokowi terutama menyasar pada penilaian apakah kemampuan berdiri sendiri tanpa bisa ditekan oleh kekuatan figur tertentu dari partai pendukung bisa dia tunjukkan? Bukan rahasia lagi bahwa pencalonan Budi karena dianggap memiliki kedekatan dengan Megawati Soekarnoputri.

Pada titik ini, apakah pengaruh politik Mega dalam diri Jokowi meskipun posisinya sudah menjadi presiden masih tertancap kuat? Di tepian lingkaran ketegangan itu, PDIP sebagai partai utama penopang pemerintahan terlihat belum menunjukkan dukungan solid bagi Jokowi.

Partai itu berkesan condong berada dalam posisi yang menghendaki Budi sebagai calon kapolri dan ironisnya salah satu kadernya bahkan melakukan semacam serangan balik politik kepada Ketua KPK Abraham Samad.

Tidak hanya itu, tidak jarang pernyataan- pernyataan muncul dari kader PDIP yang masih mengesankan Jokowi sebagai petugas partai. Mengingat perjalanan pemerintahan tidak berhenti dalam 100 hari maka berbagai polemik saat ini bisa menjadi pelajaran bagi Jokowi. Setidak-tidaknya, pelajaran itu mengena pada beberapa sudut.

Mengikuti Presiden

Sudut pertama, relasi antara Jokowi dan PDIP. Relasi ini menyangkut hal pokok: komunikasi politik antara Jokowi dan Megawati. Jokowi perlu memperlihatkan bahwa dirinya bukan ”boneka”. Kalaupun relasi Jokowi dan Megawati saling hormat, tak bisa jika dalam publikasi sering memperlihatkan Jokowi tunduk pada Megawati.

Selain dengan Mega, relasi antara Jokowi dan PDIP memerlukan keharmonisan. Situasi ini akan mengharuskan PDIP berdiri paling depan membela kebijakan pemerintahan Jokowi. Sebagai kader partai yang menjadi presiden, Jokowi adalah kehormatan bagi PDIP. Ketika Jokowi mendapatkan persoalan pelik, PDIP wajib sepihak dengannya. Bukan justru memperlihatkan adanya perbedaan suara yang dapat merenggangkan hubungan antara presiden dan partainya.

Apalagi sampai muncul Jokowi mendapat jaminan dukungan dari partai di luar pemerintah terhadap kebijakan tertentu, yang seharusnya Jokowi dapatkan dari partai pendukungnya lebih dahulu. Sudut kedua, perbaikan kinerja. Dalam hal ini adalah kemampuan Jokowi menggerakkan kabinetnya.

Sejauh ini, kinerja dari pembantu Jokowi belum banyak yang menonjol, meskipun beberapa menteri menunjukkan keseriusan sehingga mendapat nilai cukup positif. Publik menangkap sepak terjang sebagian pembantu Jokowi hanya lebih mengikuti gaya presidennya, seperti dalam hal yang bersifat simbolik. Kinerja yang tidak menonjol tersebut menuntut Jokowi untuk memacu kinerja kabinet agar rakyat segera merasakan manfaatnya.

Dalam waktu dekat, perbaikan kinerja akan membantu Jokowi untuk memulihkan kepercayaan publik yang sedikit banyak terkikis oleh polemik pencalonan Budi Gunawan. Bahkan jika diperlukan, evaluasi atas kinerja kabinet bisa dilanjutkan pada tahap reshuffleatas performa yang tidak kunjung sesuai harapan.

Sudut ketiga, proses pemilihan orang-orang yang akan membantu Jokowi. Sudut ini cukup krusial mengingat tidak jarang tiap Jokowi akan mengangkat pejabat publik diikuti kontroversi. Kesan itu harus diminimalisasi sebab akan muncul dugaan bahwa kriteria yang dipakai untuk menduduki jabatan tertentu lebih karena akomodasi politik daripada pertimbangan meritokrasi. Bukan tidak mungkin setelah 100 hari batu ujian yang mengadang Jokowi akan lebih besar.

Hal itu akan menguras energinya bila hanya berkutat pada wilayah konflik elitis. Rakyat menanti terobosan penting yang menyasar tujuan kepemimpinannya: menyejahterakan rakyat. Upaya itu AGAR rakyat merasakan perbedaan kepemimpinan dari periode sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar