Senin, 16 Februari 2015

Antara CEO dan Kepala Daerah

Antara CEO dan Kepala Daerah

Rachmat Hidayat  ;  Kandidat Doktor Kebijakan Publik di Charles Darwin University Australia; Dosen FISIP Universitas Jember
JAWA POS, 13 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SAAT membaca artikel Arif Afandi di harian ini kemarin (12/2), Pilkada dan Prospektus Kota, saya gembira karena di tengah gemuruh polemik politik di Indonesia masih ada harapan dalam melihat dan memaknai bagaimana pilkada seharusnya bermuara pada perbaikan daerah dan kualitas kepemimpinan di daerah. Sejujurnya, saya juga mengamini ide yang dilontarkan Arif Afandi, ’’Yang dibutuhkan adalah kepala daerah yang bisa menjadi CEO dalam me-manage sumber daya kota dengan baik, dapat membuat prospectus daerah yang menggiurkan sekaligus memikirkan keberlanjutan sistem politik lokalnya.’’

Saya agak tergelitik juga dengan ide seorang pemimpin daerah harus bisa menjadi seorang CEO bagi daerahnya. Tergelitik bukan karena ketidaksetujuan saya terhadap ide yang sebetulnya juga tidak terlalu baru itu. Namun, saya lebih tergelitik karena pemikiran tersebut cenderung menyederhanakan peran seorang kepala daerah dan kemudian mereduksinya dalam sebuah peran CEO.

New Public Management

Inovasi-inovasi untuk mengadopsi ide-ide brilian sektor swasta sebetulnya bukan barang baru di ranah pemerintahan. Sejak 1980, gerakan mengadopsi best practice oleh pihak swasta sedang gencar-gencarnya dilaksanakan di Amerika dan Inggris. Ronald Reagan di AS maupun Margaret Thatcher di Inggris percaya bahwa birokrasi mereka lamban, tidak akurat, tidak efisien, dan tidak efektif dalam melakukan tugas-tugas administrasi publik. Karena itu, birokrasi harus disembuhkan dengan obat mujarab yang idenya dipetik dari pihak swasta. Sedemikian derasnya gerakan tersebut di sektor publik, sampai-sampai gerakan itu ditahbiskan sebagai gerakan New Public Management ’’NPM’’ (Hood,1991).

Adopsi secara mentah-mentah terhadap pendekatan NPM itu bukan sesuatu yang sangat dianjurkan, mengingat ghirah NPM sejatinya adalah meletakkan seorang warga negara sebagai seorang pelanggan (customer) dalam sebuah ideologi pasar. Apa jadinya bila seorang kepala daerah di Indonesia berlagak sebagai seorang CEO dalam mengelola kebijakan publik untuk daerahnya? Bisa lebih baik? Walaupun tidak ada jaminan juga menjadi lebih jelek.

Peran CEO sejatinya sangat berbeda bila dibandingkan dengan kepala daerah (administrator). CEO berorientasi pada kepuasan pelanggan, sedangkan kepala daerah bertugas melayani masyarakat, bukan pelanggan. Atas dasar itulah, pembangunan karakter birokrasi daerah menjadi sangat penting karena tantangan pengembangan karakter birokrasi terbesar sebetulnya bukan dari pihak rakyat sebagai pemegang saham (saham demokrasi), melainkan dari parpol sebagai agen pemegang amanat rakyat sesuai dengan konstitusi.

Parpol dan Birokrasi Daerah

Secara objektif, birokrasi pemerintah daerah di Indonesia masih relatif baru dalam tata laksana manajemen pemerintahan daerah. Dengan usia desentralisasi yang masih relatif muda, saya berbaik sangka bahwa sejatinya birokrasi pemerintah daerah maupun kepala daerah di Indonesia masih sibuk menimang-nimang dan memformulasikan karakter birokrasi yang tepat serta sesuai dengan semangat lokalitas masing-masing daerah. Paige Johnson Tan (2006) dalam studinya mengemukakan, sejak pascareformasi, sebagian besar partai di Indonesia gagal dalam melembagakan pembangunan kapasitas internal partai politik dalam proses demokratisasi di Indonesia.

Perlu diingat, salah tujuan desentralisasi (otoda) secara politik adalah mendorong lahirnya benih-benih kaderisasi dan rekrutmen politik di wilayah lokal. Artinya, otoda diharapkan bisa mencetak seorang kepala daerah dari wilayah lokal yang dekat dan paham isu dan lokalitasnya. Pada wilayah inilah umumnya partai politik di Indonesia gagal dalam mendorong lahirnya kepala daerah yang mampu melakukan pembangunan birokrasi daerah yang berkarakter.

Sudah rahasia umum, seorang kandidat kepala daerah yang ingin mencalonkan diri dalam pilkada harus mengantongi surat rekomendasi dari DPP. Hal itu tentu merupakan sebuah hambatan struktural yang akhirnya menciptakan gap antara pengurus parpol di daerah dan wilayah provinsi maupun nasional. Alhasil, sedikit banyak, partai politik di tingkat lokal juga ikut menyumbang kegagalan rekrutmen politik yang mencerminkan kebutuhan daerah.

Sedikit bercerita mengenai praktik NPM di Australia. Sekitar seminggu lalu, terjadi satu kemelut dalam skema politik lokal di Negara Bagian Northern Territory (NT). Chief minister (setingkat gubernur) dikenai mosi tidak percaya oleh partainya sendiri karena kebijakannya menjual salah satu aset paling berharga dari pemerintah NT, sebuah perusahaan asuransi yang sudah sangat mengakar dan memiliki premi kompetitif dengan jangkauan jaminan asuransi yang sangat luas serta memahami karakter masyarakat NT.

Sang chief minister berdalih penjualan aset itu diperlukan untuk menjaga kesehatan perusahaan asuransi yang dimaksud. Sementara itu, sebagian besar masyarakat berpikir bahwa perusahaan asuransi tersebut adalah aset lokal yang harus dijaga. Walau akhirnya sang chief minister bisa berkelit dari pemakzulan, kasus itu menunjukkan bagaimana pertautan kepentingan antara partai politik dan karakter birokrasi yang dikehendaki masyarakat.

Kemelut tersebut berakhir dengan cepat karena sebagaimana ide dasar NPM, birokrasi akan terpapar pengaruh-pengaruh sektor swasta dalam menjalankan peran kebijakan publiknya sekaligus menjadi subjek skema politik. Karena itu, kemampuan mengelola atau mereduksi pengaruh politik menjadi sangat penting bagi seorang kepala daerah yang mengimpikan birokrasi yang cekatan, efektif, serta tahan banting dari tekanan kepentingan.

Saya pun jadi teringat sebuah artikel yang ditulis salah satu teoretisi terkemuka di bidang administrasi publik, Dwight Waldo. Dalam salah satu artikelnya, dia mengingatkan, sejatinya birokrasi publik itu hidup dalam sebuah badai dan seorang administrator publik yang andal adalah orang yang mampu mengendarai badai itu (riding the wind). Ah, andai saja Dwight Waldo hidup di Indonesia, pastilah dia akan paham bahwa badai yang dihadapi para kepala daerah di Indonesia itu belum berlalu, bahkan setidaknya tawaran gagasan Arif Afandi tentang kepala daerah dengan benchmark ala CEO bolehlah menjadi bahan renungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar