Sabtu, 21 Februari 2015

Senja Kelam Aceh

Senja Kelam Aceh

Teuku Kemal Fasya  ;  Dosen Antropologi; Peneliti dan Penulis Sosial-Budaya
KOMPAS, 21 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Pepatah ”keledai tak terjorok ke lubang yang sama dua kali” seperti tidak berlaku di Aceh. Yang kerap terjadi, Aceh terpuruk berkali-kali. Alhasil, yang berlaku adagium Perancis, L’histoire se répète: sejarah kembali berulang! Sayangnya berulang dan memburuk. Gagal dewasa!

Kasus pemotongan (eufimisme: pengoreksian) Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2015 bukan sejarah baru di Aceh. Kita masih ingat ketika pada 2013 pemotongan anggaran seperti ini juga terjadi karena dana bantuan sosial (bansos) dan hibah terlalu besar hingga lebih 30 persen. Kasus ini terus berulang dan jadi masalah klasik ketidakmampuan pemerintahan Aceh (eksekutif dan legislatif) membangun strategi ”pencapaian kebahagiaan” (pursuit of happiness)—kata-kata tipikal dalam pembukaan konstitusi Amerika Serikat—bagi semesta rakyat Aceh. Tata kelola pemerintahan tidak kunjung membaik, padahal rezim pemerintahan lokal semakin terkonsolidasi.

Pemotongan anggaran bansos dan hibah hingga hampir Rp 1,8 triliun (Serambi, 13/2/2015) dilihat sebagai ketegaan Jakarta kepada Aceh. Mereka tak peduli martabat sosial pemerintahan Aceh. Betulkah demikian?

Bunuh diri pembangunan

Sedikit membuka mata atas definisi postur anggaran, seperti dapat diakses dalam situs Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan RI, bansos ialah ”pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh pemerintah pusat/daerah kepada masyarakat guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan masyarakat.

Logika bansos dan hibah adalah kedaruratan agar masyarakat terhindar dari potensi kerawanan sosial yang menimpa individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang membuat hidup semakin terpuruk. Perencanaan ini sesungguhnya bagian dari anggaran penanggulangan bencana, baik alam maupun sosial. Pada masa pemerintahan Jokowi hal ini mulai dirapikan sehingga tak terjadi ”banjiran pembelanjaan”, pemborosan, dan peluang koruptif yang biasanya dinikmati elite pemerintahan dan kroninya. Kenapa anggaran ini perlu dikecilkan? Karena skema anggaran ini seharusnya terukur dan terencana, bukan sekadar habis terpakai tanpa tungkai evaluasi, dampak, dan manfaat.

Seharusnya, skema anggaran pembangunan menjadi stimulasi kesejahteraan. Ia memang direkayasa sebagai tanggung jawab atas kehadiran pemerintah. Anggaran dirancang berbasiskan keperluan jangka menengah-panjang, keseimbangan sosial-ekologis-kultural-ekonomis, bermanfaat nyata dalam ukuran, mampu menunjukkan indeks kemajuan, kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan.

Secara sederhana, dampak perencanaan anggaran harus mampu mengurangi kemiskinan, mengecilkan jumlah penganggur, meningkatkan kualitas hidup, memperbaiki infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, serta mengurangi risiko-risiko sosial dan lingkungan. Jika mau ditambah, semakin menebalkan pencerdasan dan adab masyarakat serta pemerintahan. Anggaran pembangunan harus jadi ”energi terbarui” yang dikelola secara efektif dan efisien. Pembangunan harus menciptakan efek biliar, mendorong perbaikan dan pembangunan yang berdampak jamak. Dalam skema anggaran negara, hal itu dilihat sebagai belanja modal. Filosofi pembangunan belanja modal harus mampu membeton kemanfaatan yang merata dan berjangka panjang.

Argumentasi saya bertambah terang berkat pernyataan pimpinan DPRA, Teuku Irwan Djohan, di Facebook-nya dalam rapat anggaran bersama Tim Evaluasi APBD Kemendagri di Jakarta. Ia menjelaskan, kenapa pemerintah pusat mencoret postur anggaran belanja Aceh, terutama bansos dan hibah.

Ternyata anggaran Aceh masih terlalu kecil untuk program pendidikan, belum sampai 20 persen seperti amanat konstitusi. Demikian pula penambahan aset pemda masih 16 persen seharusnya bisa ditingkatkan hingga 30 persen. Program pemberdayaan perempuan dan anak, lingkungan hidup, serta UKM masih seperti kurcaci, kecil tak berarti (1 persen). Uniknya masih ada plafon anggaran untuk menyuntik Badan Usaha Milik Aceh (BUMA) yang tak jelas prospeknya dan terus merugi. Tentu muncul pertanyaan, BUMA itu siapa yang kelola? Secara umum ketidaklogisan manajemen anggaran menurut pemerintah pusat dianggap pemborosan atau bunuh diri pembangunan.

Di sisi lain, anggaran operasional dan rutin pemerintah Aceh— baik legislatif maupun eksekutif—masih cukup besar. Meliputi anggaran perjalanan dinas, makan-minum, ATK, rapat (yang sebenarnya sudah diharamkan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), biaya perawatan, dan biaya-biaya artifisial lainnya.

Namun, Irwan Djohan melakukan pembelaan bahwa anggaran bansos dan hibah itu dikelola pihak ketiga atau masyarakat sebagai belanja barang dan jasa. Anggaran itu juga menyirami banyak kelembagaan negara, termasuk lembaga vertikal, BUMD, dan satuan yang berada dalam lingkup lokal, seperti Kodam Iskandar Muda, Polda Aceh, kejaksaan, pengadilan, TVRI, KNPI, Badan Narkotika Nasional, di samping untuk organisasi kemasyarakatan, dan agama.

Lebih unik lagi, anggaran infrastruktur seperti jalan pun dimasukkan skema anggaran belanja barang dan jasa dan bukan belanja modal, yaitu anggaran habis pakai. Lalu di mana Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintahan Zaini-Muzakkir ini mau ditempatkan? Bagaimana posisi Bappeda Aceh yang seharusnya menjadi otak dan hati perencanaan? Mengapa pembajakan program seperti itu bisa terjadi? Apa guna musrenbang jika dana aspirasi Dewan masih ada?

Di daerah lain, plafon anggaran itu dianggap modus korupsi berjemaah dengan keterlibatan konstituen (meuramin). Tidak mengherankan jika kualitas pembangunan di Aceh termasuk paling buruk. Jalan dibangun seperti kerinduan menjelang. Ketika hasrat sedepa-demi-sedepa mengatup, hilang pula jalan, rusak berantakan.

Siklus kematian

Saat ini saya seperti melihat siklus kematian. Perdamaian Aceh yang telah bertahan sedekade bisa menjadi barang usang yang kembali membayang. Politik anggaran selama ini dimusikkan sedemikian sumbang. Postur anggaran menguntungkan elite dan jauh dari cipratan keadilan. Keruntuhan bangsa mulai cepat.

Khuswant Singh, novelis kawakan India, menulis sebuah buku: The End of India. Ia bercerita penuh satir bagaimana sejarah idealisme kemerdekaan India yang demokratis dan lepas dari kolonialisme Inggris bebercak noda kemudian hari. Setelah India merdeka, tata kelola negara dan masyarakat tidak seidealis impian. India terpaksa melepaskan Pakistan dan Banglades karena perbedaan agama. Meskipun disebut politik partisi (melepas baik-baik), ada jutaan warga jadi korban dan harus saling menyeberang. Ada puluhan ribu perempuan diperkosa dan anak-anak meregang.

Semakin lama perjalanan waktu, keadilan dan kesejahteraan makin berkabut. India adalah tanah Hindustan. Konflik Islam– Hindu seperti pusingan tong setan terus berulang sehingga cita-cita Mahatma Gandhi dan Jawaharlal Nehru mendirikan ”India satu” terkesan tanpa garam. Pembunuhan Muslim di Gujarat masih terjadi dan partai-partai sektarian kanan semakin mendapat dukungan. Itulah senjakala India (the end of history of India) versi Khuswant Singh.

Aceh juga bisa mengalami senja kala ketika masalah ini tak kunjung diperhatikan. Bahkan, bisa menjadi senja kelam ketika setan-setan beterbangan dan kejahatan memenuhi malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar