Sabtu, 21 Februari 2015

Disharmoni Megawati-Jokowi

Disharmoni Megawati-Jokowi

Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 21 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Disharmoni hubungan antara Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu sumber konflik KPK-Polri yang dipicu pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Konflik telah lama terjadi sejak Jokowi memenangi pilpres dan pencalonan BG cuma salah satu puncak dari serangkaian konflik ”Istana vs Teuku Umar” itu.

Konflik antara kepala negara dan ketua umum partai berkuasa adalah fenomena unik yang belum ada presedennya dalam sejarah politik kita. Disharmoni ini berpotensi meluber ke mana-mana dan tak mustahil menjadi krisis panjang bertele-tele jika tak terkelola baik.

Mengapa hubungan ini unik? Keunikan tersebut karena hubungan di antara keduanya bersifat patron-client atau ”bapak-anak buah” yang tidak sejajar kolegial. Dalam hal ini, Megawati sebagai Ketum PDI-P berperan sebagai ”bapak” yang mesti dipatuhi Joko Widodo (Jokowi) yang bertindak sebagai ”anak buah” saja. Posisi mereka tak bisa dilepaskan dari konteks hierarkial karena berada dalam Partai ”Moncong Putih”.

Terlebih lagi Megawati sampai saat ini politisi kawakan yang makan asam-garam sejak Orde Baru. Sebaliknya, Jokowi tergolong the new kid on the block. Megawati tentu sangat hafal mengarungi kerumitan backroom deals politik. Sebaliknya, Jokowi adalah tokoh provinsial yang belum punya jaringan kuat di Jakarta.

Sebelum Pilpres 2014, Megawati dijuluki sebagai the king maker karena pencapresan Jokowi bergantung kepada restu dia. Tidak mengherankan pada masa-masa itu Jokowi berprinsip ”semua tergantung ibu”. Oleh karena itulah muncul istilah Jokowi hanya sekadar ”presiden boneka”. Ini istilah baru yang juga mencerminkan bahwa sebagian presiden kita kadang kala diatur bahkan oleh istri, anak, bahkan mertua.

Juga sempat ada istilah ”petugas partai” yang terkesan merendahkan posisi Jokowi. Sebetulnya masih ada istilah yang lebih terhormat, seperti dipakai Presiden Soekarno yang menyebut Jenderal Soeharto sebagai ”pengemban Surat Perintah Sebelas Maret” pada 1965-1967.

Beraneka ragamlah perspektif keunikan hubungan antara Megawati dan Jokowi. Saat Megawati sebagai Ketum PDI-P memberikan persetujuan pencapresan Jokowi, ia dianggap sebagai seorang negarawan yang mengutamakan kepentingan bangsa ketimbang partai.

Jangan dilupakan pula, tak sedikit kalangan internal PDI-P kala itu tak sreg dengan persetujuan Megawati tersebut. Mereka masih berkeras memberikan kesempatan lagi bagi Megawati untuk nyapres, ambisi yang menurut banyak jajak pendapat dan opini publik kurang menjanjikan. Agak sukar mengantisipasi apa yang akan terjadi dengan hubungan Megawati-Jokowi pasca Pilpres 2014. Di permukaan semua seperti berlangsung baik-baik saja sampai duet Jokowi-Jusuf Kalla akhirnya terpilih.

Tentu hubungan patron-client itu tidak melulu bersifat kultural semata-mata. Semua kalkulasi rasional kampanye nasional berjalan sesuai rencana dengan dukungan mayoritas rakyat terhadap Jokowi. Namun, seperti kata iklan, yang tampak ”tidaklah seindah warna aslinya”. Seperti telah ditulis di rubrik ini, disharmoni itu terjadi sejak pembentukan Kantor Transisi.

Disharmoni berlanjut saat perembukan susunan Kabinet Kerja. Tidaklah mudah mencapai sebuah kompromi politik yang memuaskan setiap pihak dalam Koalisi Indonesia Hebat. Sampai akhirnya tibalah puncak dari rangkaian konflik tersebut saat BG dicalonkan sebagai Kapolri. Ini sebuah moment of truth yang membuka mata kita bahwa disharmoni Megawati-Jokowi telah mencapai titik nadir.

Tidak ada yang keliru jika Megawati berkeras dalam soal ini karena ia ikut berjasa besar memenangkan Jokowi. Ini tidak ada bedanya dengan Wapres Jusuf Kalla menginginkan Sofyan Djalil menjadi Menko Perekonomian atau Surya Paloh menghendaki Ferry Mursyidan Baldan menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang.

Juga sudah diketahui umum bahwa tak sedikit donatur kampanye JKW-JK yang ”meminta jatah”. Jangankan donatur, tak semua relawan JKW-JK tidak punya pamrih. Itulah politik yang tentu tak jauh dari who gets what, when, and how. Dan, tiba-tiba saja KPK mengumumkan BG sebagai tersangka.

Narasi telah berubah dari tarik-ulur atau kompromi politik yang tak berkesudahan untuk merebut kursi-kursi kabinet menjadi disharmo- ni Megawati-Jokowi. Oleh publik, pakar, media mainstream, dan media sosial, politik telah didegradasikan ke tingkat personal.

Personalisasi politik itulah yang membuat kita kadang terhenyak, bahkan muak mengikuti perkembangannya di media mainstream ataupun media sosial. Memang bukan dosa besar meski kita memerlukan pencerahan agar semakin cerdas memahami politik kita yang semakin ”maju”. Celakanya, bukan urusan kita mengharmoniskan hubungan Megawati-Jokowi. Kita paling-paling cuma bisa mengelus dada menyayangkan atau bersumpah serapah.

Selama 100 hari Presiden menunjukkan diri sebagai pemimpin jujur dan sederhana, sebagi- an menteri menegakkan kembali kedaulatan politik/hukum dan wilayah yang terbengkalai 10 tahun, serta semua menteri berani bertarung melawan resistensi birokrasi. Sayang, kalau hasil kerja lumayan untuk ukuran waktu tiga bulan itu direcoki disharmoni dua orang kuat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar