“Quo
Vadis” KIS ?
Hasbullah Thabrany ; Chair, Center for Health
Economics and Policy Studies UI
|
KOMPAS,
21 Februari 2015
Salah satu program unggulan dan faktor kunci kemenangan
Joko Widodo dalam Pilpres lalu adalah janji Kartu Indonesia Sehat. Istilah
KIS memang ”laku jual” dan mudah dipahami rakyat. Seseorang yang memiliki KIS
akan dapat berobat gratis. Konsep kartu sehat sudah dilaksanakan lebih dari
seperempat. Konsep kartu sehat menjadi populer karena sistem kesehatan yang
dipilih negeri ini adalah sistem di mana pemerintah ”berjualan” layanan
kesehatan.
Karena sistem ”dagang” itulah program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) dibangun. Program JKN mengatur pengumpulan iuran (disebut Dana
Amanat) untuk membelikan layanan kesehatan bagi semua yang mengiur. Konsep
JKN gotong royong rakyat dengan mengiur sesuai kemampuan ekonominya untuk
membayar biaya berobat.
Dana Amanat dikelola oleh BPJS untuk sebesar-besar
kepentingan peserta. BPJS tak punya kewenangan menentukan iuran atau kapan
berlakunya jaminan sebagaimana perusahaan asuransi. Peserta kemudian diberi kartu sebagai tanda
untuk hak dibayari biaya berobatnya dari Dana Amanat. Ketika sakit, peserta
tidak perlu membayar, cukup menunjukkan kartu. Begitulah konsep kartu
berkembang dan dipahami rakyat sebagai alat bukti untuk mendapat layanan
kesehatan gratis ketika sakit. Namun, rakyat membayar ketika mereka sehat.
Kontradiksi KIS
Sesungguhnya KIS dan JKN memiliki visi yang sama, yaitu
semua penduduk yang sakit dapat berobat tanpa harus membayar. Visi tersebut
merupakan visi universal yang sudah lama terwujud di negara-negara Eropa,
Jepang, Malaysia, dan Korea Selatan. Sejak 2005, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) gencar mendorong semua negara untuk mencegah pemiskinan penduduk ketika
mereka sakit. Setiap tahun, sekitar 150 juta orang di dunia jatuh miskin
karena tidak mampu membayar biaya berobat. Di Indonesia, paling sedikit 7
juta orang berpotensi jatuh miskin tahun lalu jika mereka tidak menjadi
anggota JKN.
Pasal 28H Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 2 UUD 1945 telah
mengamanatkan negeri ini untuk melindungi setiap orang dari kebangkrutan
ekonomi keluarga akibat suatu penyakit. Upaya perlindungan pemiskinan telah
dirumuskan dalam program JKN. Presiden Jokowi hanya perlu mengubah peraturan
presiden tentang JKN dengan menamakan kartu JKN sebagai KIS dan membayari
penduduk dengan iuran yang mencukupi.
Namun, tampaknya rakyat di negeri yang suka ”sabung ayam”
ini harus puas menonton dan berharap. Selain soal ”cicak dan buaya” akan ada
tontonan baru. Di beberapa media diungkap bahwa Menko Perekonomian Sofyan
Jalil ingin berperan dalam JKN dengan menginstruksikan rakyat harus menunggu
30 hari untuk dapat perlindungan terhadap kebangkrutan ekonomi.
Inilah usulan kontradiktif terhadap KIS. Usulan yang akan
menyusahkan rakyat. Padahal, kewenangan pengaturan layaknya ada pada Menko
Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan. Hal itu sejalan dengan perintah UUD
1945 Pasal 34 Ayat 2 yang mengatur tentang kesejahteraan. Adapun Menko
Perekonomian layaknya bekerja pada koridor perekonomian nasional yang diatur
dalam Pasal 33 UUD 1945. Apakah ini babak baru perebutan peran?
Kini isi instruksi itu sudah masuk dalam draf revisi
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan. Berita-berita di media massa
menyebutkan, instruksi tersebut sebagai respons atas laporan Direktur Utama
BPJS Kesehatan tentang likuiditas BPJS. Aneh sekali! Sebab, dalam peraturan
perundangan yang berlaku, tidak ada jalur laporan BPJS kepada Menko
Perekonomian. Sementara Dewan Pengawas dan Dewan Jaminan Sosial Nasional,
yang ditugaskan UU BPJS, tampaknya ompong.
Pengaturan masa tunggu 30 hari bertentangan dengan hak
rakyat dan bertentangan dengan UU SJSN. Selain itu, bayi dalam kandungan
harus bayar iuran. Ini ”keajaiban dunia”. Di satu sisi rakyat diwajibkan
mengiur, di sisi lain haknya ditunda. Yang belum pasti jadi rakyat (masih
dalam kandungan) sudah pula diwajibkan mengiur.
Dalam UU SJSN, rakyat wajib iuran untuk melindungi dirinya
dari kebangkrutan ekonomi. Namun, rakyat akan dipersulit dengan menunggu 30
hari sebelum perlindungan itu berlaku. Bagaimana jika dalam 30 hari menunggu,
suatu bencana sakit atau kecelakaan berat—yang butuh layanan intensif
berbiaya Rp 300 juta—terjadi? Hampir dapat dipastikan puluhan juta rakyat
akan bernasib malang jika peraturan itu dijalankan.
Seriuskah Jokowi?
Pertanyaan rakyat, apakah rancangan seperti itu yang
dinginkan Presiden Jokowi? Ketika rakyat mencoblos ”JKW-JK”, rakyat berharap
serta-merta dapat berobat gratis. Lebih dari 50 juta rakyat selama ini
menderita penyakit kronis yang memiskinkan. Sebagian rakyat mengharapkan
tanpa bayar iuran, sebagian lagi bersedia membayar. Namun, Rancangan Perpres
JKN justru menunda perlindungan rakyat yang diwajibkan bayar iuran. Jelas,
instruksi Menko Perekonomian membingungkan rakyat yang berharap tahun ini KIS
dapat melindungi mereka dari jatuh miskin ketika sakit.
Keseriusan Presiden Jokowi dalam memenuhi janjinya sangat
ditunggu rakyat. Diharapkan Jokowi dapat memperbaiki buruknya JKN sekarang
dengan membayar iuran yang memadai agar likuiditas BPJS dapat terjamin. Bukan
dengan menyulitkan rakyat yang sudah sadar akan kewajibannya membayar iuran.
Ancaman likuiditas BPJS Kesehatan pada 2014 sesungguhnya
akibat kecurangan pemerintah yang hanya membayar iuran peserta penerima
bantuan iuran sebesar Rp 19.225 per orang per bulan, atau hanya Rp 230.700
per orang per tahun. Bahkan, awalnya Menteri Keuangan (ketika itu) Agus
Martowardojo hanya ”mau” membayar Rp 10.000 per orang per bulan tanpa
penghitungan kecukupan dana.
Padahal, rata-rata belanja kesehatan per kapita penduduk
Indonesia pada 2012 sudah mencapai Rp 1.055.000 per orang per tahun. Jelas,
besar iuran yang hanya 22 persen dari biaya pada 2012 tidak mencukupi.
Itulah sumber masalahnya. Mengapa rakyat yang sadar akan
bayar iuran yang dikorbankan? Semoga Presiden Jokowi tidak mengecewakan
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar