Kamis, 19 Februari 2015

Revolusi Moral Hukum

Revolusi Moral Hukum

Thomas Koten  ;  Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Quid leges sine moribus, sebuah ungkapan Latin; apa artinya hukum, jika tidak disertai moralitas? Selanjutnya, bagaimana kita bisa menantikan terpatrinya supremasi hukum di negeri ini jika  moralitas hukum telah mengalami kematiannya? Bagaimana kita dapat mengharapkan derap langkah hukum diarahkan untuk memuliakan tatanan berbangsa dan bernegara, jika  yang ditampilkan adalah kegaduhan politik dan pelampiasan kehausan akan polaritas dan kekuasaan hukum?

Itulah pertanyaan sekaligus kekhawatiran publik yang pantas diajukan ke hadapan para penegak hukum kita. Khususnya di KPK dan kepolisian, dalam kaitan penetapan Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dalam kasus pemberian keterangan palsu pada Pilkada Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah. Dlam penilaian publik, kasus-kasus tersebut ada nuansa drama politisasi hukum yang dimainkan para penegak hukum.

Sebuah drama politisasi hukum yang mengekspresikan nurani dan moralitas hukum kita telah mati oleh berbagai kepentingan. Adalah perilaku-perilaku para aparat penegak  hukum yang menambah panjang deretan ketidakpuasan dan keputusasaan publik terhadap penegakan hukum di negeri ini. Belum lagi banyak kasus lain yang tidak henti-hentinya melukai rasa keadilan publik oleh ulah para penegak hukum itu.

Pertanyaannya, bagaimana kita mengelaborasi persoalan hukum yang menohok rasa keadilan publik ini, semakin menjauhkan bangsa ini dari niatan untuk membangun keadaban dan beradaban kemanusiaan modern yang diharapkan bermula dari ranah hukum itu? Inilah pertanyaan penting yang perlu dijawab. Esai ini lebih bermuara pada perlunya revolusi moral hukum kita di tengah kematian moralitas hukum yang sudah tidak terbantahkan.

Kematian Moralitas Hukum    

Semua kasus hukum yang tidak henti-hentinya menyembulkan kecurigaan dan mencederai rasa keadilan publik selama ini tidak lain memotretkan arogansi kekuatan dalam jaring-jaring kekuasaan dan kematian moralitas hukum. Moralitas  yang seharusnya melekat pada aparat penegak hukum yang ditampilkan lewat penegakan hukum kini semakin jauh panggang dari api. Itulah yang membuat aparat penegak hukum di negeri ini senantiasa dinilai tidak memiliki nurani dan kepekaan moral.

Sebenarnya, kredibilitas penegakan hukum di negeri ini sudah hampir berada di titik nadir. Cibiran dan cemoohan publik di Tanah Air terhadap aparat penegak hukum yang tidak memiliki nurani itu juga sebenarnya sudah mencolok.

Namun, mereka seperti masa bodoh atau karena tidak lagi memiliki rasa malu? Semoga tidak! Malanglah negeri ini jika aparat penegak hukum kita tidak lagi memiliki rasa malu serta telah kehilangan nurani dan tumpul kepekaan moralnya terhadap jeritan publik soal keadilan yang masih jauh dari mimpi. Jadu, betapa kasihannya publik atau rakyat negeri ini jika suap dan korupsi besar-besaran terus terjadi di tingkat elite. Sementara itu, para aparat penegak hukum terus mengerjakan hukum dengan berbantalkan kepentingan sebagai ekspresi kehausan akan polaritas dan kekuasaan hukum.

Itulah yang membuat kematian moralitas hukum kita semakin tak terbantahkan. Moralitas yang hakikatnya berorientasi pada penciptaan keadilan publik sebagai bentuk pengabdian kepada rakyat kian lenyap. Akibatnya, korupsi, suap, dan konflik kepentingan di ranah sosial dan politik tetap meluas di lembaga-lembaga negara yang tambah memprihatinkan. Ujungnya, berbagai upaya perbaikan birokrasi dan organisasi sosial politik tampak sia-sia. Komisi-komisi dibentuk, organisasi antikuropsi didirikan, pejabat terus diganti, tetapi semuanya tampak tidak berarti lantaran korupsi dan suap jalan terus.

Kita pun semakin tidak mengerti mengapa semua itu berlanjut dengan tingkat yang semakin memprihatinkan, yang membuat terkoyaknya rasa keadilan publik. Pembaca mungkin masih ingat tahun 2011 terjadi peristiwa tuduhan mencuri sandal jepit yang dilakukan  AAL (15) di Palu. Hal ini serta-merta membuat rakyat tersinggung dan marah sehingga rakyat di berbagai daerah menyumbangkan ribuan sandal jepit untuk sang tertuduh. Sangat tidak lucu ketika koruptor kelas kakap yang membangkrutkan negara dibebaskan atau dihukum sangat ringan, sedangkan pencuri kakao, singkong, sarung, atau anak ayam dijebloskan ke dalam jeruji besi, katanya demi keadilan?

Kasus pengadilan atau kasus hukum seperti itu persis dipraktikkan di zaman kolonial. Praktek hukum yang menindas dan penuh dengan bau amis kepentingan menunjukkan berlanjutnya struktur dan mental kolonialisme dalam pemerintahan Indonesia hingga kini. Para aparat penegak hukum yang semestinya menegakkan keadilan dan membangun keadaban publik malah tak henti-hentinya mengerjakan hukum secara tebang pilih. Reformasi yang selama ini didengungkan ternyata hanyalah semu.

Revolusi Moral Hukum 
Untuk mengembalikan moralitas hukum dan atau mewujudkan moralitas hukum, pertama, harus dilakukan revolusi moral di bidang hukum yang disertai perubahan perilaku hukum para aparat penegak hukum agar dapat lahir  dan terbentuk moralitas hukum. Kedua, apa yang disebut dengan moral habit formation yaitu pembentukkan kebiasaan-kebiasaan baru setelah revolusi moral yang menerjemahkan nilai-nilai baik-buruk ke dalam tingkah laku sosial masyarakat, terutama di kalangan aparat penegak hukum. Ketiga, pendalaman hidup beragama, penjernihan hati nurani, pembangunan kepekaan moral dan/atau pengembangan rasa tanggung jawab moral hukum kepada aparat penegak hukum. Jadi, dengan hal itu kita bisa berharap lama-kelamaan dapat terlahir dan terbentuk moralitas hukum di negeri ini.

Penegakan hukum yang bermoral dan berkeadilan serta berkeadaban itu tidak sebatas teks. Namun, harus menyinggung rasa kemanusiaan dengan meletakkan keadilan di atas segala-galanya. Hukum harus tampil bak pedang yang menebas segala ketidakadilan, bukan lagi ibarat zombie, yakni tanpa nurani dan tanpa kepekaan moral dari para aparat penegak hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar