Kamis, 19 Februari 2015

Polri versus KPK : Acak Logika Publik

Polri versus KPK : Acak Logika Publik

Teddy Rusdy  ;  Mantan Direktur BAIS; Mantan Asrenum Pangab 1987-1992
SINAR HARAPAN, 17 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Putusan praperadilan yang memenangi Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan, Senin (16/2) membuat calon Kapolri itu tidak lagi bersatus tersangka, yang sebelumnya ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK). Putusan ini bukan mengakhiri masalah, justru memperpanjang daftar masalah antara KPK dan Polri. Di satu sisi, ini memantik kontroversi anomali hukum dan melahirkan kepelikan tersendiri dalam agenda pemberantasan korupsi Tanah Air.

Belum lama ini, Mahfud MD mengingatkan, KPK adalah anak kandung Reformasi yang yang harus diproteksi dari gangguan siapa pun yang melemahkan, apalagi punya agenda menghancurkan peran pemberantasannya. KPK dilahirkan karena peran Polri dinilai tumpul. Kini, KPK dan Polri, dua lembaga penegak hokum, justru menjadi lawan yang berhadap-hadapan. 

KPK mampu menjangkau pelaku korupsi di banyak lembaga, dari politikus hingga penyelenggara pemerintahan pusat dan daerah, serta penegak hukum lain. Tentu banyak pihak yang “kebakaran jenggot” karena hal tersebut.

Namun jika pemberantasan korupsi itu menyasar pejabat Polri yang menjadi tersangka, bukan justru menggugah Polri untuk membersihkan diri, melainkan institusi itu selalu bereaksi melawan keras dengan aksi “geger celeng”. Itu terlihat mulai kasus pidana Komjen Susno Duadji, Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Susilo, Brigadir Jenderal (Brigjen) Didik Purnama, hingga kasus Komjen Budi Gunawan.

Bukan hanya tersangka dari kalangan perwira tinggi Polri, seorang Aiptu Labora Sitorus saja sudah membuat aparat kejaksaaan kerepotan mengeksekusi karena diduga ada atasan yang terlibat.

Di sisi lain, publik mengharapkan KPK semakin kuat karena institusi ini dipercaya publik memerangi musuh utama rakyat, korupsi. Jika perlawanan terhadap kerja KPK tidak segera dihentikan, “relawan pendukung koruptor” akan menjadikan aksi penetapan tersangka dan tangkap tangan menjadi isu-isu politik yang tidak hanya menghambat jalannya roda pemerintahan, tetapi juga menyasar presiden hasil pemilu yang mahal harga dan nilainya bagi stabilitas NKRI.

Anak Haram Reformasi

Apabila dikatakan kelahiran KPK adalah anak kandung Reformasi, lembaga apa pun yang menentang pemberantasan korupsi adalah anak haram Reformasi. Di NKRI, hanya Polri yang demikian menggegerkan negara setiap kali ada pihaknya yang menjadi tersangka korupsi di KPK.

Hal ini tidak terjadi pada menteri, jaksa, hakim, dan anggota DPR atau kepala daerah yang menjadi tersangka. Siapa yang disalahkan jika berkembang pandangan Polri adalah anak haram Reformasi karena sikap perlawanannya setiap terjadi penyidikan tersangka korupsi bagi kalangan mereka.

Kita pahami, kelahiran Polri juga pada masa Reformasi. Namun, Polri lahir bukan karena kebutuhan mendesak mengatasi masalah, tetapi karena memanfaatkan euforia Reformasi untuk melepaskan diri dari sumber asalnya, keluarga besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)/TNI, hingga lepas tidak terkendali. Sudah banyak desakan mengembalikan Polri ke posisi yang sebenarnya. Bahkan sudah ada usaha untuk mendudukkan kembali dasar hukum yang menempatkan Polri di bawah satuan atas presiden.

Saya dapat katakan haram karena tidak lazim Polri bertanggung jawab langsung kepada presiden, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Dalam struktur organisasi yang demikian, kaidah-kaidah universal mengartikan presiden harus bertindak sebagai “satuan atas” yang membawahi Polri sebagai “satuan bawah”.

Artinya, presiden sebagai “satuan atas” wajib ke bawah memberikan komando dan pembinaan. Komando jika diartikan secara luas, menandakan perintah dan instruksi. Sementara itu, pembinaan secara luas diartikan memberikan dukungan dan teguran.

Struktur ini terlalu teknis bagi presiden. Oleh karena itu, kepala negara tidak dapat bertindak sebagai satuan atas Polri, bahkan tidak berani tegas, karena khawatir dikatakan intervensi atau politisasi. 

Mengapa kelahiran Polri pada era Reformasi menjadi anak haram? Dalam konteks ketatanegaraan, dua unsur penting dari kelahiran dan keberadaan suatu bangsa adalah “dengan tahannya resilience”. Pemikiran tersebut menghasilkan doktrin pertahanan keamanan (negara) semesta (hankamrata).

Dalam hiruk pikuk Reformasi dengan euforia, retorika, dan traumanya; doktrin hankam menjadi pertahanan dan keamanan, masalah pertahanan (musuh dari luar) ditangani TNI, masalah keamanan (musuh dari dalam) ditangani Polri. Lebih jauh lagi, keamanan negara diartikan sebagai keamanan ketertiban masyarakat yang memang menjadi porsi Polri.

Keamanan negara sesungguhya bukan hanya soal keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam era “perang” modern dewasa ini dan jauh ke depan, suatu invasi militer (naked total war) tidak akan terjadi lagi. Ancaman ke depan dipersepsikan akan timbul dari dalam negeri yang apabila bereskalasi, dapat mengundang kekuatan luar untuk masuk mengambil manfaat.

Nah, ancaman itu akan mulai dari keamanan dalam negeri yang tidak terkendali, baik disebabkan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Pasti bukan hanya tanggung jawab langsung Polri untuk tugas seperti ini.  

Tugas keamanan negara dalam spektrum yang begitu luas menyentuh segenap sendi kehidupan bangsa. Ini harus ditangani bersama secara terpadu, mulai dari rakyat sampai instansi-instansi pemerintah secara keseluruhan. Inilah hakikat doktrin hankamrata.

Setiap rakyat yang diorganisasi serta dipersenjatai untuk tugas hankamrata wajib berada pada satu komando. Sebab itu, polisi seharusnya di bawah komando satuan atas. Dengan struktur seperti saat ini, untuk menghindari penggunaan kekuasaan berlebihan atas kesatuan yang dipersenjatai, nyaris tidak ada “satuan atas” yang mengawasi. Beberapa jenderal purnawirawan Polri mengatakan, “Ini Polri yang merdeka sekali !”

Untuk mengembalikan struktur Polri ke tempat yang seharusnya, sebaiknya dudukkanlah organisasi Polri di bawah “satuan atas” yang bisa mengoreksi, membina, serta memerintah (karena bersenjata) tanpa menimbulkan gejala dan goncangan politik yang bereskalasi menuju tujuan-tujuan politik sektoral.  

Secara professional, soal seleksi Kapolri juga wajib tetap melalui Dewan Kebijaksanaan Pengangkatan Perwira Tinggi (Wanjakti). Calon-calon tersebut kemudian diserahkan kepada “satuan atas” (menteri hukum dan keamanan, menteri dalam negeri, menteri hukum dan HAM). Selanjutnya, dimintakan persetujuan dan keputusan presiden tanpa uji kelayakan dan kepatutan lagi di DPR.

Dengan demikian, Kapolri mempunyai tiga atasan, yang menyangkut fungsi komando di bawah menteri hukum dan keamanan. Fungsi kamtibmas di bawah menteri dalam negeri. Juga fungsi penegakan hukum di bawah menteri hukum dan HAM.

Banyak kaum terdidik di negeri ini, namun mereka “bengong” menyaksikan sikap Polri dalam setiap penetapan tersangka oleh KPK. Logika publik juga teracak-acak  melihat pengangkatan Kapolri saja melahirkan bola api yang mengancam kedudukan presiden. Ini niscaya terjadi karena Polri berada di struktur posisi yang salah, juga kurang tepat dalam menerapkan doktrin pertahanan dan keamanan negara.

Urusan Polri sudah menjadi menu politik. Ketika politik dimaknai sebagai the art of possibilities, ia hanya menjadi sekadar permainan (games). Saya kutip pendapat Day Lewis  (1904-1972, Anglo Poet and Critic), “It is the logic of our times, no subject for immortal verse. That we who loved by honest dreams, defend the bad against the worse!” Logiskah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar