Kamis, 19 Februari 2015

Putusan Sesat Pra-Peradilan

Putusan Sesat Pra-Peradilan

Oce Madril  ;  Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
KORAN TEMPO, 18 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Hakim pra-peradilan akhirnya memenangkan tersangka kasus korupsi Komisaris Jenderal Budi Gunawan (Komjen BG) atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Inti dari putusan hakim adalah bahwa penetapan status tersangka atas Komjen BG tidak sah dan KPK tidak berwenang mengusut kasus tersebut karena tersangka bukanlah penyelenggara negara dan penegak hukum, serta tidak ada kerugian negara yang timbul.

Tentu saja putusan ini menyentak akal sehat kita. Bagaimana tidak, argumentasi hukum yang disampaikan hakim bertolak belakang dengan doktrin hukum dan beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu, hakim melampaui kewenangannya karena terlalu jauh masuk ke substansi perkara, yang bukan merupakan obyek pra-peradilan.

Pertimbangan hukum hakim yang paling tidak masuk akal adalah pernyataan bahwa Komjen BG bukanlah seorang penegak hukum. Ini jelas keliru. Polisi jelas penegak hukum. Dalam doktrin hukum, dikenal adanya tiga pilar penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Ketiga profesi itulah yang berfungsi sebagai aparatur negara, yang diberi tugas khusus untuk menegakkan hukum.

Hal ini ditegaskan dalam berbagai dokumen hukum negara. Doktrin ini dapat kita temukan dalam konstitusi UUD 1945. Kedudukan polisi sebagai penegak hukum ditegaskan dalam Pasal 30 ayat 4 UUD 1945, bahwaKepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Polisi, menurut konstitusi, bertugas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masayarakat sekaligus sebagai penegak hukum. Fungsi polisi sebagai penegak hukum juga ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII/2000, bahwa salah satutugas pokok Kepolisian adalah menegakkan hukum.

Di tingkat UU, fungsi pokok kepolisian untuk menegakkan hukum kembali ditegaskan. Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian, dinyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Lagi-lagi, UU mengatur bahwa salah satu fungsi kepolisian adalah menegakkan hukum.

Terlihat ada konsistensi pengaturan bahwa polisi adalah penegak hukum yang mempunyai wewenang untuk menegakkan hukum demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun polisi tidak hanya sebagai penegak hukum. Pada saat bersamaan, mereka juga berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Konstitusi dan UU tidak membeda-bedakan, polisi mana yang penegak hukum dan polisi mana yang bukan.

Ketika seorang warga negara diangkat menjadi anggota kepolisian, saat itulah yang bersangkutan menjadi aparat penegak hukum. Bahwa ada pembagian tugas dalam organisasi kepolisian, itu semata-mata merupakan bagian dari tata laksana untuk memudahkan pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian. Tidak ada hubungannya dengan status sebagai penegak hukum atau bukan. Istilah aparat penegak hukum dalam UU KPK juga ditujukan bagi tiga profesi/institusi penegak hukum, yakni polisi, jaksa, dan hakim.

Kekeliruan lain yang dilakukan hakim pra-peradilan adalah ihwal kewenangan KPK. Pihak Komjen BG mempersoalkan kriteria kasus yang dapat ditangani KPK berdasarkan Pasal 11. Dalam pasal itu, dinyatakan bahwa salah satu kriteria yang berlaku terkait dengan kerugian negara minimal Rp 1 miliar. Secara utuh, ketentuan itu berbunyi,KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Harus digarisbawahi, ada kata-kata "dan/atau" pada poin b.Menurut kamus bahasa Indonesia, kata penghubung "dan/atau" dapat diperlakukan sebagai "dan", tapi dapat juga diperlakukan sebagai "atau". Tanda garis miring itu mengandung makna "pilihan". Jadi, tiga kriteria yang disebutkan dalam Pasal 11 itu dapat berlaku secara kumulatif dan bisa juga secara alternatif.

Poin b dan c dalam Pasal 11 merupakan pilihan. Jadi tidak mutlak harus ada kerugian negara dan juga tidak harus mendapat perhatian masyarakat, asalkan pelakunya adalah aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Mengapa UU tidak mengharuskan timbulnya kerugian negara? Karena memang tindak pidana korupsi tidak hanya yang berhubungan dengan kerugian negara, tapi juga suap dan gratifikasi serta bentuk tindakan lainnya yang boleh jadi tidak menimbulkan kerugian negara yang nyata di dalamnya.

Tampak jelas bahwa hakim pra-peradilan tidak memahami UUD 1945, UU KUHAP, UU Kepolisian, dan UU KPK dengan baik. Pemahaman yang sesat menyebabkan lahirnya putusan yang sesat. Karena itu, putusan sesat ini harus dikoreksi. Upayahukum luar biasa melalui peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dapat ditempuh KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar