Menetapkan
Status Tersangka
Herie Purwanto ; Kasat
Reskrim Polres Magelang Kota
|
SUARA
MERDEKA, 17 Februari 2015
KATA tersangka akhir-akhir ini ”populer” seiring dengan
”musim” penetapan tersangka, baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Publik menaruh perhatian
karena status itu dikenakan kepada pejabat institusi penegak hukum. Penetapan
status itulah yang dianggap oleh beberapa pihak berdampak pada Komjen Budi
Gunawan. Sebelumnya DPR, lewat Komisi III, sudah menyetujui pencalonannya
sebagai kapolri setelah dia lolos fit and proper test. Demikian pula
penetapan status tersangka para komisioner KPK, dari ketua Abrahaman Samad,
wakil ketua Bambang Widjojanto, Adnan Pandupraja, dan Zulkarnain.
Penetapan itu membawa konsekuensi atas jabatan dan
kapasitas mereka sehingga memunculkan dukungan pro dan kontra dari publik.
Hal yang menjadi substansi permasalahan, apakah ada perbedaan tahapan di KPK
dan Polri dalam menetapkan status tersangka? Ada anggapan dari sebagian
masyarakat bahwa pengenaan status tersangka oleh KPK bisa dilakukan secara
tibatiba tanpa diawali pemeriksaan sebagai saksi lebih dulu. Adapun Polri
menetapkan seseorang menjadi tersangka setelah melalui proses penyelidikan, dan
minimal telah menemukan dua alat bukti.
Konsekuensi hukum atas penetapan status tersangka oleh KPK
bisa dipastikan berakhir lewat proses persidangan. Pasalnya, penyidikan oleh
komisi antikorupsi tersebut tidak mengenal penghentian penyidikan. Adapun penyidikan
terkait penetapan status tersangka oleh penyidik Polri, sangat dimungkinkan
dihentikan bila tidak cukup bukti, perkaranya bukan termasuk tindak pidana,
dan dihentikan demi hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 109 Ayat (2) KUHAP.
Ketentuan dalam hukum positif kita itulah yang membedakan dan memberikan
gambaran, akan ke mana proses itu setelah seseorang ditetapkan sebagai
tersangka. Dalam kasus yang menimpa petinggi KPK, sebagian masyarakat menduga
ada kriminalisasi.
Menurut saya, kriminalisasi adalah bentuk rekayasa
sehingga dugaan atau sangkaan itu seyogianya diluruskan mengingat mempunyai
implikasi hukum di kemudian hari. Bisakah penyidik melakukan rekayasa dalam
tugasnya atau mengkriminalisasi seseorang? Dalam konteks rekayasa terhadap
petinggi dan pejabat negara, lebihlebih terhadap pimpinan KPK, hal itu
rasanya tidak mungkin, dengan mendasarkan beberapa hal. Pertama; yang jadi
dasar penetapan tersangka terhadap para petinggi KPK adalah perbuatan tindak
pidana biasa, dan dilaporkan oleh pihak yang hak dan kewajibannya dijamin
oleh undang-undang. Mereka juga membawa bukti dan saksi yang diuji dalam
gelar perkara. Bisa Diaudit Kedua; perjalanan berkas perkara melibatkan unsur
kejaksaan sebagai jaksa penuntut umum (JPU), yang ikut meneliti kelengkapan
formal dan material berkas supaya penyidikan bisa transparan dan punya
akuntabilitas. Bila ada unsur rekayasa, dipastikan jaksa penuntut umum
menemukannya.
Penyidik Polri tidak mungkin berkonspirasi dengan pihak
penuntut umum. Ketiga; terlepas ada kepentingan atau tidak, tiap laporan yang
diterima oleh Polri memang harus ditindaklanjuti, demi terpenuhinya hak-hak
pelapor. Akan menjadi hal yang kontraproduktif bila Mabes Polri menolak atau
mengabaikan laporan dari masyarakat. Meskipun secara objektif juga menjadi
pertanyaan besar, mengapa secara beruntun muncul laporan terkait dengan para
petinggi KPK?
Berpijak dari sini, sebagaimana disebutkan Philippe Nonet
dan Philip Selznick dalam buku Hukum Responsif (2013), lembaga-lembaga
kontrol yang memiliki spesialisasi seperti polisi, menjadi pusatpusat
kekuasaan independen. Lembaga itu ”terisolasi” dari konteks sosial yang bisa
memperlunak dan menolak otoritas politik. Secara kekinian, Mabes Polri harus
memosisikan diri sebagai pihak yang dapat menolak intervensi kepentingan apa
pun, baik internal maupun otoritas politik dalam penegakan hukum. Tanpa harus
mendalihkan apa pun, Mabes Polri dituntut menunjukkan jati diri untuk ikut
mewujudkan tertib hukum sebagai bagian dari proses keterwujudan kesejahteraan
bangsa dan negara.
Mendasarkan paradigma itu, tentu Mabes Polri tidak
mengorbankan institusi hanya demi misalnya memenuhi satu atau dua kepentingan
hingga harus memaksakan diri melalui upaya kriminalisasi. Proses penyidikan
yang dilakukan terhadap para petinggi KPK dan penetapan status Komjen Budi
sebagai tersangka seyogianya diposisikan pada porsi hukum dan bisa diaudit
oleh siapa pun.
Pemosisian dan ketransparanan itu supaya tidak menimbulkan
anggapan bahwa hukum digerakkan untuk tujuan dan kepentingan tertentu dan
oleh pihak tertentu. Tujuan senyatanya hukum adalah keterwujudan sebuah
kepastian, kemanfaatan, dan keadilan, sebagaimana dikatakan Gustav Radbruch. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar