Senin, 09 Februari 2015

Pilkada Serentak Beban Baru MA

Pilkada Serentak Beban Baru MA

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
MEDIA INDONESIA, 07 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

KESEPAKATAN fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota (pilkada) secara serentak dari Desember 2015 ke Februari 2016 patut diapresiasi.Sebagaimana diketahui, Perppu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang disetujui DPR menjadi undang-undang menetapkan pilkada serentak pada Desember 2015, tetapi menimbulkan polemik akibat waktu pelaksanaan yang mepet. Maka itu, penundaan pilkada serentak selain memberi ruang untuk melakukan revisi bagi DPR karena beberapa materi perlu diperbaiki, juga berguna bagi penyelenggara yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU-KPUD) untuk melakukan persiapan yang jauh lebih matang.

Namun, dari satu aspek itu tetap membawa konsekuensi berupa penambahan beban baru bagi Mahkamah Agung (MA).Pasal 157 mengatur, dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/ kota ke pengadilan tinggi yang ditunjuk MA.Padahal, sebelumnya sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) ditangani Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi melalui putusan MK pilkada dinilai bukan rezim pemilu.

Penanganan sengketa hasil pilkada dikembalikan ke MA, kecuali DPR merevisi dengan membuat nomenklatur baru bahwa sengketa pilkada dapat ditangani lembaga di luar peradilan. Lembaga tersebut bisa berbentuk badan khusus yang fokus menangani sengketa hasil pilkada. Sekiranya tetap menunjuk MA melalui pengadilan tinggi yang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa hasil pilkada, tentu MA harus siap dan menyiapkan hakim-hakim khusus.

Objek sengketa

Objek sengketa perselisihan hasil pilkada ialah hasil penghitungan suara yang ditetapkan termohon atau KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, yang dapat memengaruhi penentuan pasangan calon untuk mengikuti putaran kedua, atau terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah. Kalau DPR tidak merevisi calon yang boleh ikut, pilkada hanya diikuti calon kepala daerah atau tidak lagi dipilih secara berpasangan dengan wakilnya. Pemilihan wakil kepala daerah diajukan calon terpilih paling lambat satu bulan setelah dilantik. Wakil gubernur diajukan gubernur terpilih kepada presiden melalui menteri dalam negeri, sedangkan wakil bupati/wali kota yang diajukan kepada menteri dalam negeri oleh bupati/wali kota terpilih melalui gubernur.

Setidaknya ada dua hal penting yang perlu dipersiapkan menghadapi kemungkinan sengketa hasil pilkada. Pertama, harus mempersiapkan dukungan teknis berupa ruang sidang yang memadai untuk mengantisipasi banyaknya pengunjung sidang, serta hakim khusus yang mengerti dan memahami demokrasi dan kepemiluan. Berdasarkan informasi yang beredar di media massa, MA menyiapkan empat pengadilan tinggi yang mengurusi sengketa pilkada, yaitu di Pengadilan Tinggi Jakarta, Medan, Surabaya, dan Makassar.

Kedua, untuk mengurangi sengketa hasil pilkada berujung di pengadilan, semua persoalan sebaiknya diselesaikan pada tingkatannya. Para petugas penyelenggara pemilu seperti KPU dan jajarannya sampai TPS, panitia pengawas pemilu (panwas), kepolisian, dan kejaksaan tidak membiarkan suatu persoalan menggantung. Itu harus diselesaikan sendiri karena sudah ada jalur dan tata caranya. Jangan dilimpahkan ke tingkat atas sampai menumpuk di KPU kabupaten atau KPU provinsi. Pengalaman selama ini begitu lemah penegakan hukum pemilu seperti pada pelanggaran adminis trasi pemilu, tindak pidana pemilu, dan perselisihan administrasi pemilu yang tidak ditangani sampai tuntas.

Meskipun pada akhirnya perselisihan hasil pemilu dibawa ke pengadilan, tetap saja ada yang meragukan hasilnya karena begitu banyak persoalan yang menumpuk dan semuanya diserahkan ke pengadilan. Laporan pelanggaran pemilu dapat dilaku kan warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu, atau peserta pemilu. Setelah panwas menerima dan mengkaji laporan pelanggaran, itu kemudian diklasifikasi dan diarahkan kepada lembaga yang berwenang menangani dan memutuskannya.

Ada enam bentuk pelanggaran pemilu dan lembaga yang menanganinya. Pertama, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diselesaikan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, diatur dalam Pasal 251 UU Nomor 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, Anggota DPD, dan DPRD, ialah pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu.

Kedua, pelanggaran administrasi pemilu diselesaikan KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota. Ketiga, sengketa pemilu diselesaikan Bawaslu atau panwas. Keempat, tindak pidana pemilu diteruskan panwas kepada kepolisian, kejaksaan (Gakkumdu), dan diputus di pengadilan umum. Kelima, sengketa tata usaha negara pemilu diperiksa dan diputus di pengadilan tinggi tata usaha negara. Keenam, perselisihan hasil penetapan pilkada yang dilakukan KPUD diperiksa dan diadili MA melalui pengadilan tinggi yang ditunjuk.

Kualitas pilkada

Pilkada langsung dan serentak membutuhkan persiapan matang, terutama menjaga kualitas pilkada yang selama ini penuh kecurangan dan bentrok antarpendukung calon yang kadang melibatkan penyelenggara. Kalau penyelenggaraan pilkada masih seperti sebelumnya, akan muncul lagi tuntutan agar pilkada dikembalikan saja ke DPRD. Pilkada langsung dan serentak sudah menjadi pilihan lantaran dianggap lebih efisien dari sisi waktu, perhatian, dan biaya.

Ini harus dijadikan momentum emas untuk mendorong peningkatan kualitas kehidupan demokrasi di daerah yang lebih baik. Paling tidak mengantisipasi potensi terjadinya kegaduhan politik, seperti bentrok antarmassa pendukung, meneror penyelenggara pemilu, sampai membakar kantor KPUD dan kantor instansi pemerintah. Kalaupun ada sengketa, pelanggaran, atau tindak pidana pemilu, harus segera diselesaikan sesuai dengan tingkatannya.Kita harus memilih pemimpin daerah yang berintegritas, jujur, dekat dengan rakyat, serta tidak akan korupsi setelah terpilih.

Selama ini sering muncul keluhan dengan menuding sistem politik Indonesia gagal menyeleksi pemimpin yang betul-betul berkualitas. Pemimpin yang mampu melakukan perbaikan dan perubahan. Kita tidak boleh menengok ke belakang yang penuh persoalan dan menimbulkan perpecahan di antara warga masyarakat. Salah satu potensi yang bisa memicu konflik ialah masih ada partai politik yang belum tuntas masalahnya secara internal. Sebut saja Partai Golkar dan PPP, sebab bukan hanya intern partai yang dirugikan, melainkan juga dapat berimbas ke masyarakat. Parpol harus menuntaskan konflik internalnya sebelum pendaftaran calon kepala daerah.

Akhirnya, semoga sengketa hasil penghitungan suara tidak menumpuk karena selain dapat membebani MA, juga mengindikasi penyelenggara pilkada, partai politik, dan calon kepala daerah tidak siap mengikuti proses demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar