Senin, 09 Februari 2015

Bahasa Indonesia dalam MEA 2015

Bahasa Indonesia dalam MEA 2015

Liliana Muliastuti  ;  Kandidat Doktor Pendidikan Bahasa;
Penanggung Jawab Akademik Pengajaran BIPA UNJ
MEDIA INDONESIA, 07 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

ADA satu hal strategis yang sering terlewatkan dalam sorotan mengenai persiapan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku mulai Desember 2015. Begitu banyak wacana dan sorotan, tetapi hampir seluruhnya lebih banyak membicarakan persiapan tersebut dari segi kepentingan strategis Indonesia, khususnya di bidang ekonomi.

Mungkin karena isu politik dan ekonomi dianggap lebih `seksi', sehingga hal-hal penting yang menyangkut kebudayaan nasional dalam MEA 2015 tak tersentuh. Padahal, persiapan pelaksanaan MEA 2015 jika diha dapi dengan tahapan-tahapan yang tepat dan benar akan memberi kontribusi positif bagi produk kebudayaan nasional kita. Hal itu khususnya menyangkut posisi bahasa nasional kita, bahasa Indonesia.

Selama ini kita dihadapkan pada pertanyaan penting, yakni seberapa besar peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional? Sadarkah kita, MEA 2015 ternyata juga membuka kesempatan lebih luas buat internasionalisasi bahasa Indonesia. Memang sampai hari ini, bahasa Indonesia belum memiliki aura transnasional--meminjam istilah Ben Anderson. Sistem global selalu mengaitkan pengaruh sebuah bahasa dengan pengaruh negarabangsa pengguna bahasa tersebut dari segi sejarah, kebudayaan, politik, dan ekonomi negara-bangsa bersangkutan.

Namun, sadarkah kita pada kecerdasan visi para pendiri (founding fathers) republik ini? Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang menegaskan sikap menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (lingua franca) ialah bukti ketajaman visi tersebut. Indonesianis seperti Ben Anderson mencatat, satu-satunya negara di Asia Tenggara yang mencapai sebuah bahasa nasional tanpa tentangan dan yang sekaligus juga merupakan lingua franca ialah Indonesia.

Bahasa Indonesia merangkul semuanya secara alamiah. Di Malaysia saja, bahasa Melayu harus diterapkan paksa oleh orangorang Melayu yang dominan secara politik, tetapi ditentang orang Tionghoa, India, dan orang-orang `Kalimantan Utara' yang bercakap entah dalam bahasa aslinya sendiri yang asing (Tionghoa, India) atau lingua franca (Inggris).
Kita memang harus merawat optimisme terhadap eksistensi bahasa Indonesia, tetapi tak cukup hanya itu. Indonesia harus serius berbenah pada bidang perlindungan, pengembangan, dan pembinaan bahasa Indonesia.

Pengembangan pengajaran BIPA

UU kita sendiri mengamanahkan perjuangan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Pasal 44 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan menyatakan, ayat (1) “Pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.“ Disambung ayat (2), “Peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan.“
Nah, sekarang kesempatan untuk mendorong bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional semakin terbuka lewat persiapan kita menyongsong MEA 2015. Dari mana kita harus memulainya?

Pintu untuk internasionalisasi bahasa Indonesia bisa dibuka lebar lewat pengembangan pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Lembaga penyelenggara pengajaran BIPA, baik di dalam maupun di luar Indonesia akan semakin berperan penting dalam era MEA 2015. Bukan hanya sebagai ujung tombak pengajaran BIPA, mereka juga menduduki fungsi strategis dalam menjalankan amanah undang-undang itu.

Pada kenyataannya, negara ASEAN, seperti Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Filipina serius mempersiapkan diri untuk MEA 2015. Negara-negara itu telah memberikan pelatihan bahasa Indonesia di samping bahasa Inggris bagi calon tenaga kerjanya. Sebagaimana diungkapkan Chairperson Enciety Business Consult Kresnayana Yahya, bahwa sejumlah negara ASEAN telah jauh-jauh hari belajar bahasa Indonesia untuk bisa masuk pasar Indonesia.

Para penyelenggara pengajaran BIPA dan lembaga terkait akan menghadapi ujian profesionalisme pada era MEA 2015.Kita relatif tertinggal dalam persiapan. Karena itu, hanya tersisa waktu kurang dari setahun untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah (PR) yang terkait dengan pengajaran BIPA, antara lain, apakah kita telah mempersiapkan pengajar BIPA untuk menghadapi MEA? Siapakah itu pengajar BIPA? Dan apakah kita sudah memiliki parameter kualifikasi pengajar BIPA?

Saat ini, Indonesia belum memiliki program sertifikasi untuk pengajar BIPA. Pengajar BIPA di dalam maupun di luar negeri masih memiliki kualifikasi beragam. Berdasarkan pengamatan dan kunjungan penulis ke lembaga penyelenggara pengajaran BIPA di dalam dan luar negeri, pengajar BIPA sungguh beraneka warna. Mulai dari yang berkualifikasi S-1 hingga S-3. Ada yang berlatar belakang pendidikan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa asing, dan nonbahasa. Tidak mengherankan jika kompetensi mereka pun sangat beragam.

Dalam hal ini, Indonesia bisa dikatakan terlambat mengantisipasi. Padahal, dalam menghadapi MEA 2015, semua profesi diukur dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang menempatkan lulusan S-1 pada level 6 dan S-2 pada level 8, sedangkan level 7 diisi oleh pendidikan profesi. Untuk pendidikan guru, saat ini ada guru lulusan sarjana pendidikan (S-1 Pendidikan) dengan gelar S.Pd dan ada guru lulusan pendidikan profesi guru (PPG) dengan gelar Gr, berdasarkan Permendikbud Nomor 87 tahun 2013.

Setiap lembaga penyelenggara pengajaran BIPA saat ini memiliki kurikulum yang beragam sesuai kebutuhan peserta BIPA. Badan Pengembangan dan Pembina an Bahasa, pada 24-27 November 2014, sudah mulai menyusun embrio standar kompetensi minimal yang harus dicapai para siswa BIPA untuk enam jenjang dengan berbasis Common European Framework of Reference (CEFR).

Hal ini merupakan satu langkah kemajuan, mengingat untuk pergaulan di komunitas ASEAN, kesepakatan kompetensi merupakan hal yang penting. Para pengguna jasa pengajaran BIPA akan bertanya, yakni kompetensi apa yang akan dicapai jika mereka masuk dalam sistem pembelajaran kita? Lalu, bagaimana legalitas sertifikat yang akan mereka peroleh? Untuk hal ini, para penyelenggara pengajaran BIPA harus bekerja sama dengan Badan Bahasa, mengingat pengakuan kompetensi mereka akan diukur dengan Uji Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI) yang semoga akan segera menjadi Uji Kemahiran BIPA (UKBIPA).

Mengapa UKBIPA? Dalam pandangan penulis, harus ada parameter tersendiri dalam mengukur penguasaan bahasa Indonesia untuk penutur asing. Tidak fair jika penguasaan bahasa Indonesia mereka diukur dengan menggunakan parameter UKBI yang sebenarnya lebih cocok untuk orang Indonesia sendiri. Penulis mengusulkan perlunya kesepakatan parameter lain dalam mengukur penguasaan Bahasa Indonesia penutur asing, yaitu dengan menggunakan UKBIPA yang saat ini masih dalam perencanaan Badan Bahasa.

Waktu yang tersisa hanya kurang dari setahun untuk mempersiapkan ini semua. Semoga kerja sama antara penyelenggara BIPA dan para pemangku kepentingan BIPA terjalin lebih erat untuk menyongsong MEA 2015. Hikmahnya, yaitu internasionalisasi bahasa Indonesia berpeluang menjadi lebih bergema karena para pelaku ekonomi dan industri juga akan terlibat menerapkan kebijakan yang berdampak pada meningkatnya penutur bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar