Jumat, 13 Februari 2015

Pilkada dan Prospektus Kota

Pilkada dan Prospektus Kota

Arif Afandi   ;   Ketum BKS-BUMD-SI dan Dirut Wira Jatim Group
JAWA POS, 12 Februari 2015
                                                        
                                                                                                                                     
                                                

TAHUN ini, sejumlah kota dan kabupaten menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak. Jika tidak ada perubahan, di Jawa Timur saja ada 18 kota dan kabupaten yang akan menggelar agenda politik lima tahunan tersebut. Bayangkan gegap gempitanya. Lebih dari sepertiga daerah di provinsi ini menggelar pilkada barengan. Sebagian, pasti akan muncul figur baru memimpin daerah tersebut. Sebagian, mungkin incumbent masih tetap berjaya.

Lantas apa yang diharapkan dari pelaksanaan pilkada serentak di seluruh Indonesia itu? Tentu kualitas pilkada yang lebih baik daripada sebelumnya. Kualitas dalam pelaksanaannya, pengawasannya, dan hasil yang diperolehnya. Selain untuk mengurangi penyimpangan, pilkada serentak dimaksudkan untuk menghasilkan kepala daerah terpilih yang lebih baik.

Persoalannya adalah kepala daerah yang bagaimana yang dibutuhkan bangsa ini ke depan? Apakah pilkada serentak tersebut masih akan bisa menghasilkan tampilnya anak bangsa dari daerah yang baik-baik seperti selama ini? Apakah standar kepemimpinan yang dibutuhkan daerah ke depan sama seperti sebelum ini? Semua pertanyaan itu menarik untuk dikaji.

Dilema Parpol

Pilkada di Indonesia memasuki putaran ketiga pemilihan secara langsung. Sejak diterapkannya desentralisasi pemerintahan pada 2001, pilkada langsung pertama digelar 2005. Sebelumnya kepala daerah dipilih DPRD. Nuansa desentralisasi memang sudah terasa sejak bupati dan wali kota dipilih DPRD. Namun semakin terasa setelah digelar pilkada langsung. Sejumlah wali kota dan bupati yang menonjol merupakan hasil pilkada langsung.

Kalau kita cermati dari proses pilkada langsung selama ini, ada dua fase pemilihan. Pertama, ketika partai politik (parpol) masih sangat kuat dan menjadi preferensi pemilih dalam menentukan kepala daerahnya. Kedua, fase ketika pamor parpol mulai menurun. Pada fase ini, figur dan popularitas personal calon sangat menentukan. Pada fase pertama, kekuatan jaringan sangat menentukan. Sedangkan pada fase kedua, proses pencitraan menjadi kunci keberhasilan.

Akankah fase pilkada berikutnya masih seperti fase sebelumnya? Kita masih harus melihat hasil pilkada serentak mendatang. Namun, bisa diperkirakan, citra parpol sebagai kekuatan pengusung dan pendukung masih belum pulih seperti semula. Ini tantangan bagi para pimpinan parpol untuk mengembalikan citranya. Apa pun, parpol sangat dibutuhkan karena amanat konstitusi. Parpol sangat dibutuhkan sebagai pilar penting bagi demokrasi.

Hanya, ketika citra partai dalam kondisi jeblok, ia tidak akan menjadi rujukan pemilih. Bahkan, pada fase kedua pilkada langsung, banyak calon kepala daerah yang berusaha menjaga jarak dengan partai dalam proses kampanye sampai pemilihan. Partai dianggap menjadi ”beban” yang mengganggu citra figur mereka. Singkatnya, pada fase kedua pilkada langsung, partai hanya berfungsi sebagai pengusung.

Memasuki fase ketiga pilkada langsung ini, ternyata parpol belum berhasil memoles dirinya. Mereka belum sukses mengembalikan kepercayaan publik sebagai lembaga pembawa aspirasi rakyat. Dalam posisi seperti ini, parpol masih membutuhkan calon yang mempunyai kekuatan personal. Mereka tidak akan bisa mengandalkan mesin dan jaringan partai untuk memenangi pilkada selama figur calonnya tidak kuat secara personal.

Bagi parpol, inilah fase tersulit. Mengusung figur kuat nonkader berisiko ditinggalkan setelah pilkada selesai. Jika mengusung kader tanpa mempertimbangkan kekuatan personal calonnya, kemungkinan kalah makin besar. Tampaknya, parpol masih harus berkompromi dengan memilih calon dengan kemungkinan punya loyalitas yang cukup terhadap partai pengusungnya. Masih dibutuhkan waktu untuk mendongkrak kepercayaan publik sehingga dipercaya pula saat mengusung calon.

Prospektus         

Ketika figur masih menjadi andalan dalam proses memenangi pilkada, kekuatan personal seorang calon menjadi andalan. Personalitas itu harus diketahui publik. Personalitas dibangun atas dasar rekam jejak. Rekam jejak yang baik tersebut harus tersebar ke publik. Maka, rekam jejak yang baik dengan dukungan polesan citra akan menjadi modal besar dalam memenangi pemilihan. Dalam konteksnya ini, popularitas menjadi syarat awal kandidat untuk sukses.

Namun, makin maju masyarakat, popularitas saja tidak cukup. Makin dibutuhkan tambahan alasan rasional dalam memilih. Apa itu? Program yang ditawarkan. Dalam terminologi korporasi disebut prospektus. Yakni gambaran tentang profil kota saat ini dan masa depan. Melalui gambaran tersebut, seseorang bisa memprediksi masa depan perusahaan atau kota itu. Melalui prospektus perusahaan, seseorang akan memutuskan akan membeli saham atau tidak.

Ke depan, sebuah kota bisa dibayangkan sebagai perusahaan. Wali kota atau bupati adalah CEO (chief executive officer) yang me-manage kota. Dia yang menentukan apakah kotanya nyaman dihuni, punya prospek ekonomi yang memadai, dan masa depan yang menjanjikan. Seorang CEO tidak hanya membuat regulasi dan memikirkan pendapatan. Tapi juga mengelola uang pajak yang dibayar warga untuk mendorong perputaran ekonomi ke depan. Hanya dengan perputaran ekonomi yang bagus, warga bisa disejahterakan.

Pemerintah kota tak hanya menjadi pemberi izin dan mengatur tata kota. Tapi juga memberikan jaminan agar izin itu mempunyai prospek yang menjanjikan. Orang yang berinvestasi di kota tersebut mau mengeluarkan uang jika secara bisnis memberikan prospek yang menjanjikan. Contohnya, pemerintah tak hanya mengobral izin pendirian hotel. Mereka juga bertanggung jawab bagaimana mendatangkan orang ke kota itu, mengisi jumlah kamar yang tersedia.

Tampaknya, ke depan makin dibutuhkan para kepala daerah yang CEO. Bisa me-manage sumber daya kota dengan baik, dapat membuat prospektus yang menggiurkan, dan tentu punya komitmen membangun sistem parpol yang tepercaya. Dibutuhkan sosok negarawan. Tidak hanya berpikir kesuksesan dalam memimpin kota. Tapi juga memikirkan kelanjutan sistem politik kotanya. Semoga ada dan bisa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar