Jumat, 13 Februari 2015

Kiblat Hukum Kita

Kiblat Hukum Kita

Mochtar Pabottingi   ;   Profesor Riset LIPI
KOMPAS, 12 Februari 2015
                                                        
                                                                                                                                     
                                                

Kapan pun dan di negara mana pun kondisi penyelenggaraan hukum berada pada tingkat ideal manakala ia dipandu oleh atau sejalan dengan arah dan dialektika politik juga pada tingkat idealnya.

Harus diakui bahwa ada perkiblatan prinsipiil-universal dari hukum pada politik, terutama pada konstitusi. Konstitusi tak lain dari himpunan prinsip politik menyangkut sumber, tujuan, kegunaan, dan pembatasan kekuasaan. Konstitusi merupakan hasil deliberasi atas keputusan makropolitik para pemimpin suatu bangsa untuk mendirikan negara. Elan vital tiap konstitusi demokratis dalam negara-bangsa adalah politik pada esensi dan jabaran agenda makropolitiknya yang tercerahkan. Lantaran esensi dan jabaran demikian itulah, ia dijadikan induk hukum.

Politik berada pada tingkat ideal manakala ia menggalang kehidupan bersama untuk mencapai kemajuan bersama dalam hal kesejahteraan, harkat, dan keadilan di dalam kolektivitas politik. Dengan ideal dan dalam napas ini pulalah hukum mesti ditempatkan. Titik kolektivitas politik maupun kolektivitas hukum ideal tercapai dalam simbiosis bangsa (nasion) dan demokrasi. Bangsa dan demokrasi bisa dirumuskan sebagai kolektivitas dan sistem politik yang bersifat egaliter-otosentris.

Sifat otosentris mengacu pada keadaan ketika segenap warga negara saling menopang dan saling memuliakan sebagai suatu himpunan dalam prinsip kesetaraan bernegara-bangsa yang non-diskriminatif. Kata ”otosentris” (autocentric) di sini berarti pemihakan dan pemuliaan bagi himpunan bangsa sendiri di dalam prinsip- prinsip kebajikan politik universal di tengah koeksistensi kompetitif lintas bangsa, yang hingga kini masih ditandai oleh banyak ketidakadilan sistemik yang berakar dalam.

Konstitusi, agenda makropolitik

Sejak Ethica Nicomachea, Magna Carta, hingga Declaration of Independence—dan bagi kita sejak Pancasila dan/atau Mukadimah UUD 1945 (termasuk mutiara-mutiara kearifan dari khazanah lintas suku pada bangsa kita)—hukum dan politik tak pernah bisa dan memang tak semestinya dipisahkan. (Pancasila tentu harus dipahami bukan sebagai semata seperangkat ideal muluk, melainkan sebagai hasil kristalisasi dan sublimasi politik yang jujur tulus dari para Bapak Bangsa kita vis-à-vis berabad perjuangan protonasion dan terutama Pergerakan Nasional serta Revolusi Kemerdekaan di Tanah Air.) Konstitusi seperti dalam pemahaman Aristoteles tiada hentinya menegaskan ketakterpisahan antara hukum dan politik itu. Begitulah maka dia menyimpulkan dalam Ethica Nicomachea bahwa ”hukum adalah ’hasil kerja’ politik”.

Bukti bahwa konstitusi adalah suatu agenda makropolitik terbaca jelas misalnya dari kalimat pembuka Konstitusi Amerika: ”Kami rakyat Negara-Negara Serikat, demi membangun suatu kesatuan yang lebih sempurna (a more perfect Union) … dengan ini memaklumkan dan menetapkan Konstitusi Amerika Serikat”. Ini juga tampak jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Negara kita didirikan untuk membentuk suatu pemerintahan ”yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia … dan keadilan sosial”.

Pada tahun 2002, saat amandemen konstitusi masih berlangsung riuh, saya menekankan niscayanya penegasan bahwa pada tiap negara demokrasi, hukum merupakan bagian inheren di dalam rasionalitas politik demokrasi, bukan sebaliknya. Rasionalitas politik itulah yang meniscayakan adanya Konstitusi dan kemudian Mahkamah Konstitusi. Hukum tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari rasionalitas politik demokrasi.

Bisa dikatakan bahwa konstitusi adalah momen ketika rasionalitas politik dijadikan hukum tertinggi. Ia dijadikan hukum tertinggi bukan demi hukum per se, melainkan demi dan dalam rangka rasionalitas politik dengan agenda makropolitik itu. Inilah yang dimaksud oleh Giovanni Sartori ketika menulis bahwa ”the formal definition of law presupposes the constitutional state” (Pabottingi, ”Memburuknya Krisis Konstitusi Kita”, 2002). Dalam istilah ”negara hukum”, kata ”hukum” adalah penyifat dari kata ”negara”, bukan sebaliknya. Di mana pun dan kapan pun, tiap negara-bangsa haruslah dibaca dan ditempatkan dari waktu ke waktu menurut evolusi, dialektika, dan ideal-ideal sejarahnya masing-masing.

Singkatnya, negara hukum kita akan menjadi bangkrut atau mengerdil jika ia tidak dipandu oleh politik dalam paradigma nasion/demokrasi dan menurut persenyawaannya dengan ideal-ideal Pancasila.

Dalam kerangka pemahaman inilah, kita harus menghadapi kemelut politik yang timbul sekitar sebulan terakhir menyangkut kontroversi kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) dan/atau perseteruan antara KPK dan Polri bersama Plt Sekjen PDI-P (selanjutnya disebut Polri Plus). Kemelut politik ini bersumber pada kontroversi hukum yang membesar dan melar nyaris tak terkendali bukan terutama karena posisi-posisi hukum yang di dalamnya bertentangan secara diametral, melainkan karena lenyapnya kesadaran mengenai keniscayaan perindukan hukum pada politik (baca: konstitusi) atau pada arah, evolusi, dan dialektika politik kita.

Argumen-argumen konstitusional memang ramai juga dilontarkan, tetapi itu banyak dilakukan secara kerdil dengan tekanan hanya pada sisi prosedural-legalitasnya, bukan pada sisi tujuan-tujuan substantifnya—apalagi pada kegentingan status atau kondisi dialektis mutakhir bangsa kita (the current state of our nation).

Untuk menyikapi kontroversi KPK dan Polri Plus secara arif dan adil, kita pertama sekali harus melihat letak permasalahan dalam konteks arah dan dialektika negara- bangsa kita, khususnya dalam pergulatannya yang sungguh berat melawan wabah korupsi yang kian lama kian parah dan yang secara langsung kian mengancam sendi-sendi kenegaraan dan pemerintahan kita.

Kemelut politik ini tak bisa direduksi sebagai masalah-masalah pribadi atau hak-hak konstitusional individu. Dari rezim ke rezim, terutama di bawah Orde Baru dan pada tahun-tahun pertama Reformasi (terlepas dari kekuatan tekad dan ketetapan-ketetapan politiknya untuk memberantas KKN), negara-bangsa kita telah kalah melawan wabah korupsi itu yang kian lama kian menjadi monster.

Setiap warga negara kita yang arif dan jujur pasti mengakui bahwa sudah bertahun-tahun kita berada dalam ”kondisi darurat korupsi”. Dan dalam kehidupan bernegara-bangsa kita, tak ada yang tak dirusak dan dibusukkan oleh kondisi demikian.

Baru sedari 2002, dengan dibentuk dan diundangkannya KPK, kita memperoleh momentum untuk benar-benar menggebrak wabah korupsi yang telah memonster itu. Dengan tepat laku korupsi telah dicanangkan sebagai ”kejahatan luar biasa” (an extraordinary crime). Terlepas dari rangkaian tuduhan miring terhadapnya, KPK sejak berdirinya telah membuktikan diri sebagai cukup ampuh dalam mencegah serta membongkar kasus-kasus korupsi kakap. Melihat hasil-hasil itu, dukungan masyarakat bangsa bagi KPK juga makin lama makin kuat.

Namun, hukum Archimedes tak hanya berlaku di ranah sains, tetapi juga di ranah politik, yaitu dalam pergulatan antara kebaikan dan keburukan di dalam negara-bangsa dan/atau pemerintahan. Semakin kuat kehendak dan tenaga untuk menegakkan pemerintahan adil bersih, semakin kuat pula kehendak dan tenaga untuk meneruskan pemerintahan culas kotor. Begitulah, maka gelombang demi gelombang kriminalisasi terhadap KPK terus berlangsung. Hanya orang pandir yang tak bisa melihat bahwa di balik rangkaian gelombang kriminalisasi itu adalah betapa besar dan tak habis-habisnya keinginan kekuatan-kekuatan keburukan di negeri kita untuk membubarkan KPK.

Pengeruhan hukum

Setiap warga negara dituntut untuk menyadari bahwa terlepas dari kekurangan-kekurangan (baik yang nyata maupun yang direkayasa) yang menandai KPK, perjuangan untuk mempertahankannya bersifat eksistensial. Perjuangan itu tak hanya bisa menentukan maju-mundurnya negara-bangsa kita, tetapi juga sehat-sakit, hidup-mati, dan mulia-hinanya. Jauh hari Sokrates sudah mengingatkan kita: ”Kehinaan bekerja lebih cepat daripada kematian”. Ya, karena bagi setiap manusia atau bangsa terhormat, kehinaan memang jauh lebih buruk daripada kematian. Ia sudah membunuh reputasi kita sebelum ajal. Kematian hanyalah instansi tamatnya hidup, tetapi kehinaan terekam abadi sebagai jejak hidup—bau busuk yang akan terus berkisar ke mana-mana sepanjang masa.

Dalam kemelut KPK-Polri Plus, pertama-tama harus ditekankan bahwa hampir semua pihak melakukan atau bisa dituduh melakukan kesalahan. Memang tak ada manusia dewa. Justru lantaran ketiadaannya itulah, kita harus bisa memilah-milah aneka jenis dan gradasi rangkaian kesalahan, rangkaian motif, penghalalan cara, dan kriminalisasi yang terjadi. Kita perlu mengakui bahwa dalam kasus ini ada kesalahan prosedural dan kesalahan substansial juga dalam jenis dan gradasi yang berbeda-beda.

Di tengah kompleksitas kemelut masalah, keadilan terpuji hanya bisa ditegakkan dengan menyimak secara teliti rangkaian jenis dan gradasi dari kesalahan-kesalahan yang terjadi.

Misalnya, satu pertanyaan bisa diangkat, satu saja: apakah motif ”balas dendam” Abraham Samad, jika betul ada, dalam penetapan BG sebagai tersangka lebih berbobot nista daripada motif keberangan pihak-pihak tertentu, juga jika betul ada, karena terganjalnya plot mereka untuk melenyapkan peluang bagi terbongkarnya rangkaian megakorupsi para penyelenggara negara beserta rangkaian laku korupsi destruktif dalam tubuh lembaga-lembaga penegakan hukum selama belasan tahun terakhir?

Menghadapi masifnya pengeruhan di ranah hukum selama sebulan terakhir, kita sama sekali tak boleh melepaskan dari spotlight agenda utama bangsa kita untuk menegakkan pemerintahan yang bersih. Untuk itulah KPK dibentuk. Ia bertugas menyelamatkan republik kita dari kanker KKN—dari kondisi ”darurat korupsi”— yang disebarkan begitu dalam dan parah oleh maupun lewat kompleksitas para penyelenggara negara terutama di sepanjang Orde Baru dan pada tahun-tahun awal Reformasi yang sarat distorsi, kerancuan, dan keserakahan.

Kenyataan ”darurat korupsi” atau ”kejahatan luar biasa” ini masih berlaku dengan daya destruktif yang sungguh masih penuh. ”Kriminalisasi” total dan sewenang-wenang terhadap pimpinan KPK haruslah dibaca dalam kerangka hukum Archimedes di ranah politik tadi: makin kuat tekanan untuk membongkar kehinaan dalam laku dan kehidupan bernegara, makin kuat pulalah reaksi balik dari para pemangku kepentingan yang menghendaki agar rangkaian kehinaan tak terbongkar dan terus merajalela.

Kondisi darurat korupsi ini melanda pemerintah dan masyarakat luas, termasuk lembaga-lembaga resmi penegak hukum itu sendiri. Tugas untuk mengatasi kondisi ”darurat korupsi” adalah tugas eksistensial mahautama pada titik dialektika kontemporer dari negara-bangsa kita. Kita bisa menyebutnya politik dalam acuan tertinggi (politics in the highest order) dan dari status itu juga menjadi hukum dalam acuan tertinggi (law in the highest order). Ke situlah hukum kita mesti berkiblat.

Selama kondisi ”darurat korupsi” masih berlaku, selama itu pula KPK mengemban hukum dalam perkiblatan politik tertinggi itu. Begitulah, maka seluruh penyelenggara negara yang bajik, terutama di dalam lembaga-lembaga penegak hukum, mestilah membulatkan hati dalam menggalang upaya bersama himpunan rakyat yang juga bajik demi memastikan bahwa politik dan hukum dalam acuan tertinggi itulah yang berlaku.

Insya Allah, energi dan akal budi bangsa kita tak akan pernah kurang untuk menjabarkan kiat-kiat yang adil dan terpuji demi mewujudkan suatu kehidupan bernegara-bangsa secara indah dan benar. Memang hanya dengan jalan itu kita bisa menyelamatkan bangsa dan demokrasi kita sekaligus—dan dengan itu pula menyelamatkan ”tri-amanah” kita: Amanah Tanah Air, Amanah Kemerdekaan, dan Amanah Republik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar