MENENTANG DEMOKRASI GAJAH
Perjuangan
Kontemporer Pelajar di Thailand dan Pertanyaan Terkait Posisi Gerakan Pelajar
Indonesia
Andre Barahamin ; Peneliti Lepas dan
Mahasiswa Pasca-Sarjana
di Mahasarakham University, Thailand; Editor IndoPROGRESS
|
INDOPROGRESS,
18 Februari 2015
SETELAH berhasil menyasar Yingluck,[1] junta militer di
bawah komando Jendral Prayuth Chan-ocha kini membidik anggota lain dari
keluarga Shinawatra.
Somchai Wongsawat, yang merupakan saudara ipar Thaksin,
kini sedang menghadapi tuntutan ‘penyalahgunaan kekuasaan’ oleh pengadilan.
Tuduhan itu terkait pembubaran protes anti pemerintah yang diorganisir oleh
Kaus Kuning di tahun 2008.[2] Ketika peristiwa itu terjadi, Wongsawat sedang
menjabat sebagai Perdana Menteri. Posisi ini diembannya selama 80 hari
sebelum kemudian ia dipaksa turun oleh keputusan pengadilan dan dilarang
terlibat politik selama lima tahun. Sebelumnya Wongsawat dipilih sebagai
pejabat pengganti untuk menggantikan perdana menteri sebelumnya Samak Sundaravej,
salah satu tokoh kunci People Power Party (PPP) setelah memenangkan pemilu
Desember 2007, dipaksa mundur oleh pengadilan karena skandal acara
masak-memasak di sebuah program TV.
Kecurigaan bahwa kriminalisasi terhadap Wongsawat terkait
dengan pemilu makin menguat karena junta militer tidak menunjukkan komitmen
serupa untuk kasus lain. Semisal tidak adanya inisiatif hukum dari National
Anti-Corruption Commision (NACC) untuk menyelidiki kasus tragedi Songkran
Berdarah di tahun 2010, yang menewaskan lebih dari 80 orang pendukung Kaus
Merah dan mencederai ratusan lainnya.[3] Kasus tersebut melibatkan Abhisit
Vejjajiva, salah satu figur terkemuka Kaus Kuning dan pemimpin partai
Demokrat yang menjabat sebagai perdana menteri saat peristiwa itu terjadi.
Pengamat politik, Pavin Chachavalponpun, mengatakan kepada kantor berita
Agence France Presse (AFP) bahwa manuver ini dilakukan oleh junta sebagai
cara untuk memastikan bahwa kelompok Thaksin benar-benar tidak akan
berkutik.[4] Taktik ini merupakan konsekuensi logis kekhawatiran militer
terkait penyelenggaraan pemilu yang dijanjikan akan diadakan pada awal tahun
depan.[5] Hal ini mengacu kepada kenyataan sejarah politik di mana sejak
tahun 2001, kubu elit politik yang berada di seputar Thaksin selalu memenangkan
pemilu.[6]
Namun serangan bertubi-tubi PM Prayuth[7] kepada para
pendukung Shinawatra bersaudara, seperti didiamkan begitu saja. Yingluck dan
para elit politik Pheu Thai Party (PTP), cenderung bersikap pasif dan memilih
tidak melakukan konfrontasi terbuka. Sikap itu menurut intelektual-cum
aktivis Giles Ji Ungpakorn tidaklah mengagetkan, karena pada dasarnya
elit-elit politik Thailand adalah kaum royalis.[8] Salah satu kelompok yang
hingga kini termasuk minoritas yang masih terus melakukan perlawanan, adalah
gerakan pelajar.
Tulisan ini bermaksud mengajukan pertanyaan bagi gerakan
pelajar di Indonesia dengan terlebih dahulu menjelaskan dinamika internal
gerakan pelajar di Thailand di tengah iklim pasivisme, kelumpuhan gerakan
demokratik dalam kampus, serta buruknya sistem pendidikan yang dijaga dengan
ancaman senjata.
Tentang Pendidikan di Thailand
Pendidikan di Thailand tidak berubah sejak perjuangan
menentang kudeta militer 1976 dan era kebangkitan gerakan sosial di dekade
1990-an. Banyak kritikus menganggap bahwa sistem pendidikan di Thailand masih
mengandung karakter konservatif dan feodal. Dua hal tersebut dianggap sebagai
salah satu penyebab degradasi kualitas pendidikan negara ini secara massif
dalam 15 tahun terakhir. Ranking ‘The Global Competitiveness Index’ yang
dirilis oleh World Economic Forum 2014, menempatkan Thailand di posisi 31 di
bawah Singapura (2) dan Malaysia (20) dan jauh lebih baik dari Indonesia
(34), Filipina (52) dan Vietnam (68).[9]
Namun progress ekonomi ternyata berkebalikan dengan
kondisi yang terjadi dalam dunia pendidikan Thailand. Test of English as
Foreign Language (TOEFL) Thailand di tahun 2013 merupakan yang terburuk kedua
dari 56 negara Asia.
Sementara laporan dari Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) menyebutkan bahwa angka PISA capaian
Thailand sejak 2003 hingga 2012, tidak mengalami perubahan signifikan.[10]
Dari segi produktivitas akademik dalam indeks SCOPUS, Thailand semakin jauh
tertinggal di belakang Malaysia dan Singapura.
Padahal sejak Thaksin berkuasa, Thailand membelanjakan
lebih dari 20 persen anggaran nasional untuk sektor pendidikan. Kebijakan ini
terus berlanjut ketika Yingluck menempati posisi sebagai perdana menteri.
Sebagai perbandingan, di tahun 2003 Thailand mengalokasikan 140 milyar THB
untuk anggaran pendidikan. Tahun 2009, jumlah ini meningkat di angka 350
milyar THB. Tahun 2012, 460 milyar THB dibelanjakan untuk pendidikan. Tahun
2014, Thailand membelanjakan lebih dari 500 milyar THB (atau mencapai 200 trilyun
rupiah). Sementara jumlah pelajar di Thailand di tahun 2014 diperkirakan
telah mencapai 15 juta orang. Ini berarti setiap pelajar mendapat subsidi
sebesar 33.000 THB (atau sekitar 13 juta rupiah).[11]
Thailand Development Research Institute (TDRI) menilai
Thailand terjebak dalam glorifikasi label-label internasional dan pencapaian
statistikal. Lembaga ini mencatat bahwa program-program (bertaraf)
internasional justru tidak membawa manfaat bagi internal pendidikan di
Thailand. Hambatan utama adalah lemahnya penguasaan bahasa Inggris di
kalangan pelajar serta tenaga pengajar lokal. Dalam laporannya TDRI mencatat
bahwa lebih dari 50 persen pembiayaan pendidikan ironisnya dihabiskan untuk
membayar tenaga pengajar, khususnya dosen dan pengajar asing. Temuan tersebut
menyebutkan bahwa Thailand tidak memiliki standar kualifikasi untuk tenaga
pengajar asing, terutama bagi yag akan mengajar bahasa Inggris. Sehingga
orang-orang yang dibayar untuk mengajar, sama sekali tidak kompeten, dipilih
acak dengan pendekatan rasial dan terdiri dari orang-orang yang tidak
memahami filosofi pendidikan. Selain itu tentunya adalah korupsi, yang juga
melanda Kementerian Pendidikan Thailand.[12]
Hal tersebut menyebabkan di level perguruan tinggi,
universitas-universitas di Thailand mengalami kesulitan untuk berkompetisi
dengan universitas yang berasal dari negara anggota ASEAN lain seperti
Singapura dan Malaysia. Presiden TDRI Somkiat Tangkitvanich mengklaim, tenaga
pengajar di Thailand dibayar terlalu mahal namun memiliki kinerja yang
mengecewakan.[13] Sementara Netiwit Chotiphatphaisal berargumen bahwa para
pendidik di Thailand sedang menyangkal relasi antara demokrasi dan pendidikan
yang berakibat pada ‘kebingungan’ untuk bagaimana menginterpretasikan
pemikiran kritis dan adaptif terhadap perkembangan.[14]
Thaksin memang memulai demokratisasi finansial dalam dunia
pendidikan di Thailand dengan cara mengatur kembali distribusi anggaran
pendidikan agar lebih merata ke wilayah Utara (Chiang Mai, Chiang Rai dan
sekitarnya), daerah Isaan (Khon Kaen, Mahasarakham dan sekitarnya) serta
daerah Selatan (Songkhla, Pattani dan sekitarnya). Sejak tahun 2001, Thaksin
juga memulai percepatan programatik dalam pendidikan Thailand, seperti
masifikasi program internasional, intensifikasi bahasa Inggris sebagai bahasa
belajar mengajar, internasionalisasi sekolah-sekolah dan penandatanganan
kerjasama dengan berbagai institusi pendidikan di Eropa dan Amerika. Namun
percepatan-percepatan programatik ini memakan korban dengan seringnya terjadi
pergantian menteri pendidikan di Thailand. Semasa dua periode menjabat
sebagai PM, Thaksin menunjuk 9 orang untuk menangani urusan pendidikan, namun
dianggap gagal sebelum kemudian dicopot. Editorial harian The Nation 4
Oktober 2012, merujuk hal ini sebagai salah satu penyumbang
kegagalan-kegagalan pendidikan di Thailand di masa Thaksin. Tradisi politik
ini kemudian berlanjut di masa Yingluck, yang memiliki tiga orang menteri
pendidikan sebelum ia dilumpuhkan oleh kudeta.
Hal tersebut membuktikan bahwa demokratisasi Thaksin dalam
dunia pendidikan di Thailand, sama sekali tidak menyentuh level filosofis.
Worajet Pakeerat dari Thammasat University mengatakan, kemunduran pendidikan
di Thailand ikut dipengaruhi oleh tidak adanya inisiatif bersama untuk
memodernisasi karakter pendidikan mereka. Ketiadaan inisiatif itu tampak
jelas dengan absennya upaya-upaya untuk mendorong demokratisasi institusi
pendidikan, khususnya di level peguruan tinggi.[15] Konservatifisme membuat
Thailand terjebak pada sentimen dan ketakutan bahwa demokratisasi pendidikan
hanya akan mengarah pada liberalisme serta memicu serangan terhadap Raja dan
keluarganya. Feodalisme itu misalnya tampak pada penggunaan Lese Majeste
untuk membatasi perdebatan-perdebatan akademik di lingkungan universitas.[16]
Kajian-kajian politik, sejarah dan berbagai cabang ilmu sosial di Thailand,
terpaksa sibuk untuk berkelit dari kemungkinan ‘yang dapat menyinggung’
keluarga Kerajaan, jika tidak ingin berakhir di penjara.[17]
Faktor lain yang ikut menguatkan cengkraman feodalisme
dalam pendidikan Thailand, dipengaruhi oleh kecenderungan masyarakat untuk
bersikap pasif. Kebudayaan Thailand yang sangat dipengaruhi oleh Buddha
Terravada, justru diinterpretasikan sebagai penerimaan (kepasrahan),
menghindari konflik yang berakibat pada tiadanya tradisi untuk berdebat,
serta penghargaan berlebihan terhadap hirarki sosial yang didasarkan pada
status dan umur. Hal ini berujung pada sistem belajar mengajar di Thailand
yang berpusat pada guru atau dosen.[18]
Sistem pendidikan di Thailand juga begitu kental dengan
militerisasi. Dua hal yang paling kasat mata yang dapat merepresentasikan hal
tersebut adalah standarisasi potongan rambut ala militer untuk pelajar
tingkat dasar dan menengah, serta penggunaan seragam untuk level pendidikan
tinggi.[19] Selain itu, militerisme juga ditanamkan melalui indoktrinasi yang
menekankan kepatuhan terhadap Raja dan simbol-simbol monarki serta memandang
tentara sebagai pelindung keluarga kerajaan. Di Thailand bagian Selatan, di
daerah-daerah di mana perjuangan memerdekakan diri begitu terasa, militerisme
dalam pendidikan membuat institusi pendidikan dipandang para insurgen sebagai
simbol kerajaan dan menjadi target serangan. Human Rights Watch (HRW)
melaporkan, jumlah sekolah dan guru yang menjadi korban kekerasan semakin
meningkat sejak 2004.[20]
Junta militer makin menegaskan intervensi militerisme
dalam pendidikan, ketika National Council for Peace and Order (NCPO) pimpinan
Jendral Prayuth meluncurkan “Dua Belas Nilai Dasar” yang kemudian diintegrasikan
ke dalam kurikulum Thailand 2015-2021.[21] Penerapan dua belas nilai tersebut
termasuk memaksa para pelajar agar memfokuskan diri belajar dan tidak boleh
terlibat dalam aktivitas politik. Untuk memastikan bahwa pelajar menjauh dari
politik, diciptakanlah proses inisiasi dalam pendidikan Thailand yang disebut
SOTUS (Seniority, Order, Tradition, Unity and Spirit). Mulai dipraktekkan
sejak tahun 1980, SOTUS menjadi bagian tidak terpisahkan dari lingkaran
kekerasan fisik dan mental yang eksis di seluruh universitas di Thailand.
Perploncoan yang tidak manusiawi dengan legitimasi kampus dan
pembenaran-pembenaran moralis bahwa SOTUS merupakan alat untuk mendidik
seseorang menjadi warga negara yang baik. Penyelenggaraan SOTUS mulai memicu
protes di masa Thaksin setelah banyak keluarga korban mulai mempersoalkan hal
tersebut. Namun hal itu tidak berhasil menghentikan SOTUS sama sekali.
Gerakan Pelajar Kontemporer
Thailand
Gerakan pelajar di Thailand memang sedang berupaya
membangun dirinya kembali setelah dihancurkan militer di tahun 1976. Walaupun
sempat bergeliat kembali bersamaan dengan maraknya protes sosial pertengahan
dekade 1990-an, gerakan pelajar kembali surut dan hampir mati.[22] Tidak
seperti Indonesia dan Burma yang memiliki serikat pelajar di level nasional,
yang kemudian mendirikan cabang di kampus-kampus, gerakan pelajar Thailand
justru terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah antara
satu kampus dengan kampus yang lain. Lima orang aktivis pelajar dari Khon
Kaen University yang berafiliasi dengan Dao Din, dan melakukan sabotase
terhadap pidato diktator Prayuth di Khon Kaen, tidak memiliki hubungan
struktural dengan kelompok Soom Giew Dao, meski mereka berasal dari
universitas yang sama.
Ada kelompok Sapanah Dome yang beroperasi di Thammasat
University (TU), di mana terdapat juga Thai Student Center for Democracy
(TSCD) dan League of Liberal Thammasat for Democracy (LLTD). Di Kasetsart
University, terdapat kelompok aktivis pelajar yang menamakan diri Free
Kasetsar University. Di Mahasarakham University (MSU) ada Puan Sangkhom,
Plook Hug dan Free Thai. Kelompok bernama Love Thai aktif bergerak di seputar
Chiang Mai University. Sementara di Roi Et Rajabhat University (RERU),
terdapat Nok Koon Jae dan Naksueksa Kon Nueng yang aktif di Ubon Ratchathani
University (URU).
Masing-masing kelompok ini memiliki agenda dan pendekatan
politik yang berbeda-beda sebelum terjadinya kudeta militer terhadap Thaksin
di tahun 2006. Awalnya, kelompok pelajar berupaya menjauhkan diri dari
konflik antara Kaus Merah dan Kaus Kuning dengan cara melakukan
pengorganisiran akar rumput di luar kampus, meningkatkan kesadaran politik
pelajar di dalam kampus dan upaya untuk membuka ruang-ruang diskusi kritis
baik di dalam maupun di luar kampus. Mereka juga bergerak menuntut reformasi
undang-undang pendidikan Thailand yang dianggap tidak demokratis. Sebagian
dari kelompok mahasiswa tersebut juga aktif terlibat dengan beberapa NGO yang
bekerja di sektor HAM.
Krisis politik yang diakhiri dengan kudeta militer tahun 2006,
menjadi pemicu yang menyatukan isu perjuangan berbagai kelompok aktivis
pelajar. Menyadari bahwa mereka merupakan kelompok minoritas di kampus, para
pelajar kemudian mulai mengambil sikap tegas menolak militerisme dan kemudian
ikut aktif mengintervensi ruang-ruang politik, seperti melayangkan petisi dan
mulai melatih diri untuk melakukan protes.
Kerjasama-kerjasama antar berbagai kelompok pelajar yang
sebelumnya terisolasi, kemudian berupaya disatukan dalam isu penolakan kudeta
dan tuntutan untuk menyelenggarakan pemilu secepatnya. Pengorganisiran dalam
lingkungan kampus juga mulai marak dilakukan yang dibarengi dengan
kegiatan-kegiatan di luar kampus. Namun masalah ketiadaan dukungan finansial
dari dalam kampus mendorong banyak kelompok pelajar kemudian menerima uluran
tangan dari NGO-NGO.
Kerjasama-kerjasama antara kelompok pelajar dengan NGO
kemudian menemui jalan buntu ketika militer kembali melakukan kudeta Mei
kemarin. Banyak kelompok pelajar memutuskan untuk menghentikan hubungan kerja
sama mereka dengan kelompok NGO. Hal ini disebabkan oleh manuver politik
berbagai kelompok NGO yang dianggap terlibat membuka jalan bagi tentara.
Keterlibatan banyak NGO dalam protes-protes Kaus Kuning menegaskan
keberpihakan kelompok mereka sebagai royalis dan kelas menengah. Hal tersebut
mendorong banyak kelompok mahasiswa yang tidak bersepakat kemudian secara
perlahan mengalihkan dukungan dan fokus pengorganisasian mereka ke
basis-basis Kaus Merah.
Namun perlawanan pelajar terhadap kudeta kali ini tidak
mudah. Junta melarang lebih dari lima orang berkumpul. Memperagakan Salam
Hunger Games dalam berbagai bentuk juga akan ditindak tegas.[23] Orang-orang
dilarang untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang kondisi politik Thailand
atau berhadapan dengan dakwaan menghina negara dan akan dikenakan pasal-pasal
Lese Majeste. Prayuth menutup semua kanal dan kampus-kampus dilarang
menyelenggarakan pertemuan-pertemuan politik tanpa mengantongi ijin resmi
pemerintah. Atas nama stabilitas politik, tidak boleh ada yang bertanya kapan
militer akan mengembalikan kekuasaan kepada sipil dan segera menyelenggarakan
pemilihan umum.
Hingga 15 Desember, tercatat sudah 634 orang yang
dipanggil menghadap NCPO. Kebanyakan dari mereka dicurigai atau dianggap
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan aturan yang dicanangkan junta
militer. Jumlah orang yang ditangkap telah menyentuh angka 340 orang, di mana
171 orang ditangkap saat melakukan protes damai. Dari jumlah tersebut, 56
diantaranya adalah aktivis pelajar. NCPO juga telah mengajukan tuntutan hukum
terhadap 106 orang yang dianggap banyak pihak sebagai upaya meredam kebebasan
berpendapat di Thailand. Sementara itu, 19 orang telah dikenakan UU Lese
Majeste. Menyusul kemudian pembatalan atau pembubaran 39 acara publik, yang
sebagian besarnya digagas oleh pelajar karena dicurigai mengandung muatan
politis.[24]
Statistik di atas menjadi alasan mengapa satu-satunya
pilihan logis yang tersisa bagi gerakan pelajar di Thailand adalah dengan
melakukan taktik gerilya. Setiap orang dan setiap kelompok selalu berupaya
menemukan solusi bagaimana mengintervensi atau melakukan sabotase agar pesan
demokratik anti kudeta dapat dikirim. Hal ini dikerjakan bersamaan dengan
upaya-upaya pemberantasan ‘buta politik’ melalui distribusi literatur dan penyelenggaraan
kursus-kursus politik. Untuk membiayai kerja-kerja tersebut, berbagai
kelompok pelajar terus berinovasi untuk menemukan cara mandiri dalam ekonomi.
Trauma pengkhianatan kelompok NGO di masa lalu dinilai sebagai pelajaran
berharga tentang kemandirian basis ekonomi dan sikap politik.
Kemana Solidaritas Pelajar
Indonesia?
Baru-baru ini, suksesnya tuntutan pendidikan gratis di
Chile mendapat sorotan banyak aktivis di kampus-kampus di Indonesia, yang
kemudian merayakan kemenangan gerakan di Chile secara diam-diam dan
menganggapnya sebagai inspirasi perjuangan. Chile menyambung ‘demam Latin’
yang berlangsung sejak beberapa tahun sebelumnya. Jauh mundur ke belakang,
gerakan pelajar di Yunani, Italia dan Prancis-lah yang mendapat perhatian di
Indonesia. Sejarah gerakan pelajar di negeri-negeri itu dibedah, dianalisa,
lalu didiskusikan untuk menemukan benang-benang penghubung. Jika ada
perkembangan terbaru, maka informasi tersebut hampir dapat dengan mudah
ditemukan. Namun bagi gerakan pelajar di Indonesia, gerakan kolega mereka di
Thailand adalah sesuatu yang asing.
Kondisi tersebut seakan mengacuhkan fakta bahwa meski
tidak berbatasan secara geografis, namun secara regional Thailand dan
Indonesia memiliki hubungan yang saling memengaruhi dalam bidang ekonomi dan
politik. Contohnya adalah ketika berlangsungnya krisis Asia yang menghantam
Thailand dan Indonesia di tahun 1996. Hari ini, hubungan tersebut diperkuat
dengan integrasi kedua negara ini ke dalam zona ekonomi ASEAN, selain
tentunya berbagai kesepakatan bilateral yang sudah lebih dahulu dijalin. Di
masa lalu, Thailand dan sebagian Indonesia juga terhubung secara budaya, yang
jejak-jejaknya dapat dilacak pada peninggalan Buddhisme di kedua negara ini.
Banyak yang mengacuhkan sejarah politik Thailand dan
Indonesia yang terhubung dan tidak dapat dipisahkan. Ketika kampanye perang
dingin berlangsung paska Perang Dunia II, Thailand dan Indonesia menjadi mata
rantai yang memastikan kemenangan kubu non-komunis di Asia Tenggara.
Berdirinya ASEAN yang digagas Thailand dan Indonesia bersama Singapura,
Malaysia dan Filipina, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari konflik
tersebut.
Selain itu, Thailand dan Indonesia juga memiliki beberapa
kemiripan yang tidak bisa diacuhkan. Misalnya, bagaimana kedua negara ini
memberlakukan pendekatan militer di Pattani (Thailand) dan Papua (Indonesia).
Segregasi dan diskriminasi regional juga mudah ditemukan yang menjadi
kemiripan lain antara Thailand dan Indonesia. Belum lagi menyebut soal
dominasi dan peranan militer dalam ranah politik di kedua negara ini yang
menguat paska redanya Perang Dingin di akhir 1970-an. Sehingga menjadi
sesuatu yang tidak masuk akal jika kemudian, dengan berbagai ‘kecocokan
geopolitik’ kedua negara, aktivis pelajar di Indonesia justru mengalami kemarau
informasi terkait apa yang sebenarnya sedang berlangsung di Thailand.
Pertanyaannya adalah, apakah skema liberalisasi pendidikan
yang sedang dijalankan di Indonesia dan Thailand merupakan dua hal yang tidak
berkaitan dan sama sekali berbeda?
Apakah kecurigaan bahwa privatisasi pendidikan yang marak
berlangsung di kedua negara tidak akan bermuara pada rancangan besar
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang mensyaratkan keterbukaan pasar untuk
mempercepat dan mempermudah mobilitas dan transaksi modal?
Apakah kondisi demokrasi di Thailand akan memberikan
pengaruh bagi gerakan pelajar di Indonesia? Apakah kualitas demokrasi di
Indonesia akan memberikan pengaruh bagi perkembangan dan perbaikan demokrasi
di Thailand?
Seberapa perlu gerakan pelajar di Indonesia menghubungkan
dirinya dengan gerakan pelajar di Thailand dan di negara lain di ASEAN?
Seiring menjelangnya MEA, pertanyaan-pertanyaan di atas
semakin menjadi penting untuk menjadi bahan refleksi dan kemudian harus
dijawab oleh gerakan pelajar di Indonesia. Namun siapapun juga dapat
mengacuhkan kenyataan geopolitik MEA, sekaligus mengingkari konteks bahwa
Thailand dan Indonesia akan menjadi satu kampung yang sedang dipersiapkan
menjadi barisan konsumen. ●
|
REFERENSI
[1] Awal Januari 2015, National Legislative
Assembly (NLA) mengeluarkan keputusan hukum untuk melakukan “impeachment”
terhadap Yingluck Shinawatra terkait “kesalahan manajemen” dalam skema subsidi
beras ketika ia menjabat sebagai PM. Keanehannya adalah proses tersebut dilakukan
justru ketika Yingluck tidak lagi memegang kekuasaan. Keputusan ini membuat
Yingluck dilarang untuk terlibat dalam politik selama 5 tahun sejak keputusan
ditetapkan.[2] Sejak Agustus hingga Desember 2008, para pendukung Kaus Kuning menyegel kantor perdana menteri sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan yang dipimpin Somchai Wongsawat. Ia kemudian memerintahkan polisi untuk membubarkan paksa para demonstran yang menduduki kantor perdana menteri. Dua orang tewas dan lebih dari tujuh puluh orang terluka.http://www.nytimes.com/2008/10/07/world/asia/07iht-08thai.16744393.html?_r=1&
[3] “Bloodiest Thai Clashes in 18 Years”, Al Jazeera, diunduh 16 Februari 2015 http://english.aljazeera.net/news/asia-pacific/2010/04/20104113019324124.html
[4] “Key Thaksin Ally to Face Thai Court Over 2008 Crackdown”, Yahoo News, diunduh 16 Februari 2015 https://au.news.yahoo.com/world/a/26269747/key-thaksin-ally-to-face-thai-court-over-2008-crackdown/
[5] “Thai PM says democracy roadmap on schedule, pool early next year”, Reuters, diunduh 16 Februari 2015 http://www.reuters.com/article/2015/02/04/us-thailand-politics-idUSKBN0L810220150204
[6] Sejak 2001, pemilu di Thailand berlangsung tahun 2001, 2005, 2007, 2011, dan 2013. Semua pemilu tersebut dimenangkan oleh kubu Shinawatra bersaudara.
[7] Setelah memimpin kudeta, Jendral Prayuth Chan-ocha mendirikan National Commission for Peace and Order (NCPO) yang kemudian membubarkan parlemen. Untuk menjalankan fungsi legislatif, NCPO menunjuk kembali seluruh anggota parlemen dari kelompok pendukung kudeta. Parlemen inilah yang kemudian menetapkan Prayuth sebagai PM, setelah menang mutlak dalam pemilihan yang “demokratik”.
[8] Giles Ji Ungpakorn, “Unfortunately, Thaksin is a Royalist”, Ugly Truth Thailand, diunduh 16 Februari 2015 https://uglytruththailand.wordpress.com/2015/02/11/unfortunately-taksin-is-a-royalist/
[9] Klaus Schwab (ed), “The Global Competitiveness Report 2014-2015”, World Economic Forum, (Geneva: World Economic Forum, 2014)
[10] OECD, “PISA 2012 Results in Focus”, The Organization for Economic Cooperation and Development, (OECD, 2014)
[11] Bandingkan dengan anggaran pendidikan di Indonesia tahun 2014 yang menyentuh 371 trilyun, setelah tahun sebelumnya membelanjakan 345 trilyun. Sementara jumlah pelajar di Indonesia mencapai 60 juta orang. Yang berarti setiap murid mendapatkan subsidi sebesar 5.250.000 per orang.
[12] Untuk analisa dan perbandingan statistikal secara komprehensif, silahkan baca TDRI Quarterly Review dari edisi September 2000, hingga September 2014.
[13] Somkiat Tangkitvanich, “Education System Ills, Setting Up Future Failure”, Bangkok Post, diunduh 11 Januari 2015 http://www.bangkokpost.com/opinion/opinion/342521/education-system-ills-setting-up-future-failure
[14] Netiwit Chotiphatphaisal, “Confused Thai Educators”, New Mandala, diunduh 17 Februari 2015 http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/07/16/confused-thai-educators/
[15] Salah satu parameter awal untuk mengukur jalan tidaknya demokratisasi dalam kampus-kampus di Thailand adalah terkait pelaksanaan SOTUS di setiap awal tahun ajaran. SOTUS adalah metode perploncoan dan seperangkat seremoni-seremoni yang diwajibkan bagi pelajar untuk ikut serta.
[16] Wikipedia, Lese Majeste in Thailand, diunduh 17 Februari 2015 http://en.wikipedia.org/wiki/L%C3%A8se_majest%C3%A9_in_Thailand
[17] Prachatai, “Thammasat Historian Summoned to testify on Lese Majeste Case against Renowned Royalist Sulak”, diunduh 16 Februari 2015 http://www.prachatai.com/english/node/4633
[18] Andre Barahamin, “Fighting Against Cognitive Capitalism in Southeast Asia: Introduction on Student Movement in Myanmar, Thailand, the Philippines and Indonesia”, (makalah dipresentasikan dalam sebuah serial diskusi mengenai pendidikan di Hue Pedagogical Center, Hue, Vietnam, Mei 2014).
[19] Di Thailand, bachelor degree diwajibkan menggunakan seragam. Sedangkan strata master and doctoral degree memang tidak lagi menggunakan seragam mesti harus berpakaian “sopan”. Penggunaan jeans, rambut gondrong bagi laki-laki akan dianggap “tidak sopan”.
[20] Human Rights Watch, “Targets of Both Sides: Violence against Students, Teachers, and Schools in Thailand’s Southern Border Provinces”, (HRW: New York, September 2010)
[21] Prachatai, Education Ministry to integrate junta’s 12 core values into Education Curriculum. Diunduh 16 Februari 2015. http://www.prachatai.com/english/node/4215
[22] Kanokrat Lertchoosakul, The Rise of the Octobrists: Power and Conflict among Former Left Wing Student Activists in Contemporary Thai Politics. (PhD diss., Department of Government, the London School of Economics and Political Science, 2012)
[23] Andre Barahamin, “Distrik Thai: Potret Thailand Paska Kudeta 22 Mei 2014”, Harian IndoProgress, diunduh 15 Februari 2015 http://indoprogress.com/2014/12/distrik-thai-potret-thailand-paska-kudeta-22-mei-2014/
[24] Andre Barahamin, “Short Spit: Demokrasi Gajah”, Small Note, diunduh 16 Februari 2015 http://andrebarahamin.net/short-spit-demokrasi-gajah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar