Wahabi
dan NU Sama?
Mohammad Khoiron ; Wakil Ketua Pengurus
Wilayah
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama DKI Jakarta
|
REPUBLIKA,
18 Februari 2015
Sebagai organisasi yang melestarikan paham Ahlusunnah wal Jamaah serta menjunjung
tinggi nilai-nilai toleransi di tengah masyarakat multikultural seperti
Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) mendapat tempat signifikan di hati rakyatnya.
Ini dibuktikan secara kuantitas anggotanya yang hampir 80 persen rakyat
Indonesia menjadi warga NU.
Jika ditelisik lebih jauh, NU lahir akibat keresahan para
ulama atas kebijakan Raja Ibnu Saud yang saat itu ingin membongkar makam Nabi
Muhammad SAW karena dinilai menjadi biang kemusyrikan dan menjadi perusak
kemurnian tauhid. Sudah bisa dipastikan kebijakan Raja Saudi ini bukanlah
murni dari kerajaan, tapi ada kelompok yang sengaja ingin menyingkirkan
tradisi baik, semisal ziarah dan bertawasul di makam Rasulullah yang sudah
berjalan ratusan atau mungkin ribuan tahun di sana.
Berangkat dari fenomena ini, para ulama di Nusantara
berinisiatif membatalkan kebijakan Raja Ibnu Saud untuk membongkar makam
Rasulullah. Akhirnya, berangkatlah KH Wahab Hasbullah, KH Ghanaim al-Misri,
dan KH Dahlan Abdul Kahhar dengan menamakan diri sebagai Komite Hijaz.
Alhasil, setelah mereka menemui raja, kebijakan yang dikeluarkan sang raja
pun dicabut dan dibatalkan.
Penulis ingin menyanggah beberapa poin yang
pernah ditulis KH Mustafa Ya’qub dalam "Opini" Republika, Jumat
(13/2). Sebagaimana yang beliau tulis,
"Untuk menilai paham Wahabi, kita haruslah membaca kitab-kitab yang
menjadi rujukan paham Wahabi, seperti kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah,
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan termasuk kitab-kitab karya Syekh Muhammad
bin Abdul Wahab yang kepadanya paham Wahabi itu dinisbatkan. Sementara untuk
mengetahui paham keagamaan Nahdlatul Ulama, kita harus membaca, khususnya
kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy'ari yang mendirikan Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama."
Sejauh yang penulis ketahui, antara NU dan Wahabi tidaklah
mempunyai titik temu sama sekali, bahkan keduanya mempunya
perbedaan yang sangat mencolok, baik dari akidah, maupun praktik syariatnya.
Adalah Wahabi, sebutan bagi pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab
merupakan aliran yang sangat radikal. Aliran mereka yang menyimpang, banyak
dipaparkan para ulama yang hidup pada zaman di mana Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab melakukan dakwahnya itu, katakanlah semisal Syekh Sulaiman bin Abdul
Wahhab al-Najdi yang tidak lain kakak kandungnya.
Dalam salah satu karyanya, yaitu al-Shawaiq al-Ilahiyah fi
al-Raddi ‘ala al-Wahabiyah halaman 18, Syekh Sulaiman menyatakan, Syaikh
Muhammad Abdul Wahhab adalah seorang yang (1) mengklaim dirinya sebagai
mujtahid mutlak, (2) menolak pendapat orang lain, (3) mewajibkan orang lain
mengikuti pendapatnya, (4) mengafirkan lawan polemiknya, dan (5) mengafirkan
semua umat Islam yang tidak sejalan dengannya. Ini jelas berbeda dengan
kenyataan di balik sosok ulama yang benar-benar menjadi panutan umat,
katakanlah semisal al-Imam al-Syafi’i dan imam mujtahid mutlak lainnya.
Nyatanya, apa yang diklaim saudara kandung Syekh Muhammad
bin Abdul Wahhab itu diamini dirinya sendiri. Dalam salah satu karyanya,
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mengklaim bahwa (1) kesyirikan umat Islam
selain Wahabi lebih berat daripada kesyirikan kaum musyrik jahiliyah, (2)
para wali Allah yang menjadi wasilah umat Islam adalah orang fasik, pezina,
pencuri, tidak shalat dan lainnya.
Tidak hanya itu, pada karyanya yang lain, Syekh Muhammad
bin Abdul Wahhab juga mengatakan, ilmu fikih merupakan ilmu yang menyebabkan
seseorang menjadi syirik, para ulama ahli fikih dianggap sebagai setan berupa
manusia, dan karenanya ilmu fikih harus ditinggalkan.
Menyikapi beberapa pernyataan Syekh Muhammad Bin Abdul
Wahhab ini, tentu sangat berbeda dengan apa yang terjadi di tengah-tengah
kaum Nahdliyin. NU sangat memuliakan para wali Allah lewat haul yang diadakan
di beberapa tempat, juga menjadikan ilmu fikih sebagai pijakan memutus
problematika umat, baik kaitannya dengan ibadah mahdlah maupun ghairu
mahdlah. Kegiatan bahtsul masail menjadi trademark tersendri bagi warga NU
dalam melestarikan khazanah fikih Islam.
Menurut KH Mustafa Ali Ya’qub, paling tidak ada empat poin
yang menjadi titik temu NU dan Wahabi. Pertama, pada sumber syariat Islam,
kedua-duanya, menurut beliau, merujuk pada Alquran, al-Hadis, al-Ijma, dan
al-Qiyas. Benarkah demikian? Dalam praktik dakwahnya, kaum wahabi banyak
menyeru umat Islam, khususnya mereka yang awam untuk kembai kepada Alquran
dan al-Hadits semata, serta mengesampingkan al-Ijma dan al-Qiyas. Para ulama
yang mempunyai legitimasi melakukan ijma dan qiyas dianggap sebagai setan
berupa manusia. Lalu, di mana titik temu NU dengan Wahabi?
Pada poin kedua beliau beranggapan, antara Wahabi dan NU sama-sama
azan dua kali. Sejauh yang penulis ketahui, ada pertentangan yang sangat
meruncing antara Syaikh Nasiruddin al-Bani dengan Syekh al-Utsaimin. Kedua
ulama ini sama-sama ulama berpengaruh di kalangan kaum Wahabi. Menurut
Nasiruddin al-Bani, azan dua kali pada Jumat adalah perkara bid’ah yang
haram. Klaim al-Bani ini dibantah oleh Syekh al-Utsaimin, ia menganggap
Syaikh al-Bani tidak memiliki ilmu lantaran membid’ahkan azan pertama yang
ditambah oleh Sayidina Utsman.
Pada poin ketiga, KH Ali Mustafa Ya’qub menyatakan,
"Dalam beragama, baik Wahabi maupun NU menganut satu mazhab dari mazhab
fikih yang empat. Wahabi bermazhab Hanbali dan NU bermazhab salah satu dari
mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Baik Wahabi (Imam Ibnu
Taymiyyah) maupun NU (Imam Muhammad Hasyim Asy’ari), sama-sama berpendapat
bahwa bertawasul (berdoa dengan menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang
saleh) itu dibenarkan dan bukan syirik."
Sejauh yang penulis ketahui, walaupun kaum Wahabi
mengklaim diri sebagai penganut mazhab Hanbali, tapi dalam praktiknya mereka
banyak menyalahi pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal. Salah satu contoh dalam
praktik mencium mimbar dan makam Rasulullah SAW, misalnya. Dalam hal ini Imam
Ahmad mengatakan, memegang dan mencium mimbar dan makam Nabi SAW dengan
tujuan takarub kepada Allah tidak apa-apa (tidak dilarang dan tidak syirik).
Namun, hal ini dibantah Ibnu Taimiyyah. Ia menganggap
mengusap, mencium, dan menempelkan pipi ke makam Nabi SAW dilarang agama
berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin, dan termasuk syirik. Begitu juga
mengenai tawasul, kaum Wahabi banyak mencela praktiknya karena dinilai
merusak sendi-sendi kemurnian tauhid yang menyebabkan seorang Muslim
terjerumus ke kemusyrikan. Mengenai ini, tentu kaum Nahdliyin berbeda persepsi.
Tawasul merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah serta visi dan
misi NU itu sendiri.
Adapun mengenai pandangan KH Hasyim Asy’ari terhadap Ibnu
Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau menyatakan di dalam
karyanya yang berjudul Risalah Ahlusunnah wal Jamaah, "Dan di antara
golongan-golongan tersebut adalah kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridho, mereka juga mengambil bid’ahnya Muhammad Bin Abdul
Wahab al-Najdi, Ibnu Taimiyyah dan dua muridnya, yakni Ibnul Qoyyim dan Ibnu
Abdil Hadi. Mereka mengharamkan apa yang telah disepakati umat Islam sebagai
kesunahan, yakni bepergian untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW, mereka
menyelisihi umat Islam dalam hal itu juga hal-hal yang lain."
Dari apa yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari di atas dapat
dipahami, NU dan Wahabi mempunyai corak dan perbedaan yang sangat kontras
serta tidak mempunyai kesamaan sebagaimana yang dipahami KH Ali Mustafa
Ya’qub. Namun, sekali lagi, apa yang menjadi sanggahan penulis atas opini KH
Mustafa Ya’qub di atas berdasar pada kajian komparatif
deskriptif. Sedangkan dalam opini yang ditulis, beliau lebih
menekankan kepada komparatif analisis. Karena kajiannya bersifat analisis, yang ditekankan
adalah unsur persamaan kedua belah pihak, yaitu NU dan Wahabi. Wallahu a’lam bis shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar