Rabu, 11 Februari 2015

Menanti Palu Jokowi

Menanti Palu Jokowi

Refly Harun   ;   Pengamat dan Pengajar Hukum Tata Negara
DETIKNEWS, 10 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Perdebatan mengenai calon Kapolri saat ini, bisa jadi, bukan lagi soal dilantik atau tidaknya Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG), melainkan siapa calon baru yang akan diajukan. Sinyal untuk mengajukan calon baru itu sesungguhnya sudah terlihat ketika pada 16 Januari lalu Presiden Jokowi memutuskan untuk ‘menunda’ pelantikan BG dan lebih memilih Komjen Badrodin Haiti (BH), sang Wakapolri, untuk melaksanakan tugas, wewewang, dan tanggung jawab Kapolri.

Dari sisi politik, pilihan untuk melantik BG ibarat jalan bebas hambatan. Paripurna DPR telah menyetujui untuk memberhentikan Jendral Sutarman dan menggantikannya dengan BG. Status tersangka BG tak mengurangi hasrat hampir semua kekuatan politik untuk menjadikan mantan ajudan Presiden Megawati itu sebagai Kapolri.

Bila Jokowi melantik BG, tak akan ada protes DPR. Satu-dua pakar hukum pun ikut nimbrung dengan menyatakan bahwa tidak ada pilihan bagi Jokowi karena BG sudah disetujui DPR. Persetujuan DPR diibaratkan persetujuan rakyat. Karena rakyat sudah setuju BG jadi Kapolri, Jokowi harus melantik, terlepas apa pun status yang sedang disandang BG saat ini. Tak peduli pula bahwa dengan menjadi tersangka, BG sudah pasti akan menjadi terdakwa. Sudah pasti pula BG akan ditahan sebelum digiring ke pengadilan tindak pidana korupsi.

Isyarat Mundur

Nyatanya, Jokowi tidak memilih persetujuan yang sudah diberikan tersebut. Sutarman tetap diberhentikan, tetapi nasib BG digantung hingga ada kejelasan terhadap proses hukumnya. Padahal, siapa pun tahu, penyelesaian status hukum BG hingga berkekuatan hukum tetap tidak mungkin selesai dalam jangka waktu satu-dua minggu.

Akil Mochtar saja, sejak ditangkap pada 2 Oktober 2013 dan dinyatakan sebagai tersangka keesokan harinya, hingga kini masih menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kraacht). Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu masih menunggu putusan MA atas upaya kasasi yang ia ajukan setelah pengadilan negeri menjatuhkan putusan penjara seumur hidup, yang kemudian dikuatkan pengadilan tinggi.

Fakta ini harusnya dapat menggiring BG untuk menjadi tahu dan sadar diri. Jokowi menjalankan komunikasi politik Jawa, tidak menyatakan secara eksplisit apa yang dimaui. Lebih mengandalkan bahasa tersirat ketimbang tersurat. Padahal, maksud Jokowi tegas: BG mundur saja agar Presiden tidak terbelenggu.

Maksud itu lebih jelas lagi ketika dua pewarta menyampaikan pesan Jokowi. Pertama, pernyataan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, bahwa “akan lebih indah bila BG mundur”. Yang lebih gamblang adalah pesan yang disampaikan Buya Syafii Maarif. Jokowi, kata mantan Ketua PP Muhammadiyah tersebut, menyatakan melalui telepon tidak akan melantik BG.

Satu isyarat dan dua pesan dari dua pewarta tersebut tetap tak membuat BG mundur. Bisa dimengerti bila pilihannya begitu, karena siapa pun yang sudah ditetapkan sebagai tersangka KPK selama ini tidak bisa lolos. Semua pesakitan KPK menjadi terpidana. Semua dihukum. Belum ada sang pengecuali.

Beberapa waktu lalu, saat membela kliennya, pengacara Anas Urbaningrum sangat yakin mampu memecahkan telur tidak pernah kalah KPK. Ia yakin mampu membebaskan mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut. Nyatanya, Anas tetap dihukum. Baru-baru ini, pengadilan tinggi hanya mengurangi lamanya hukuman, dari delapan menjadi tujuh tahun. Anas tetap bersalah.

Dalam kasus BG, keteguhan tidak mau mundur itu karena back up politik yang kuat. Empat orang yang ditengarai paling berpengaruh bagi Jokowi – Megawati, Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Hendropriyono – semuanya menginginkan BG dilantik. Tidak hanya ingin, tetapi juga mendesak. Bisa juga dikatakan memaksa.

Praperadilan

Lagi-lagi Jokowi bergeming, tidak bergeser dari posisi awal untuk cenderung tidak melantik. Angin Jokowi akan mengumumkan calon Kapolri baru berembus kencang sebelum keberangkatan ke luar negeri, 5 Februari lalu. Namun, Megawati dan para petinggi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bertandang ke istana. Entah apa yang disoal, tetapi satu yang terkonfirmasi adalah pelantikan menunggu proses praperadilan.

Praperadilan, bisa jadi, diharapkan menjadi juru selamat BG. Skenarionya, bila permohonan praperadilan atas penetapan status tersangka BG dikabulkan, bola panas akan mengarah ke Jokowi lagi. Desakan untuk melantik BG akan bertambah kencang. Lain halnya bila permohonan praperadilan ditolak.

Padahal, pemula hukum pidana pun tahu, status tersangka tak bisa dipraperadilankan. Bila mekanisme praperadilan diberi kewenangan untuk bisa menguji satus tersangka, jelas akan menjadi lonceng kematian bagi KPK. Semua tersangka akan berbondong-bondong membawa status mereka ke hadapan hakim tunggal di pengadilan negeri.

Namun, yang perlu digarisbawahi, andaipun praperadilan dimenangkan oleh BG, KPK tetap dapat melakukan dua hal. Pertama, mengajukan peninjauan kembali ke MA dan kedua menetapkan kembali BG sebagai tersangka dengan prosedur yang dianggap benar. Tindakan ini seperti ketika polisi disalahkan dalam proses penangkapan dan penahanan. Tangkapan tinggal dilepaskan, lalu ditahan lagi dengan prosedur yang dianggap benar. Praperadilan sama sekali tidak menyentuh substansi soal dugaan tindak pidana korupsi oleh BG.

Bagi seorang pejabat publik sekelas Kapolri, substansi jauh lebih penting ketimbang prosedur. Dalam diri pejabat publik sekelas Kapolri, tidak melulu hak yang harus diketengahkan, melainkan juga kepercayaan publik. Diakui atau tidak, kewarasan publik pasti menghendaki Kapolri yang tidak terbelit masalah hukum. Lantai kotor hanya bisa dibersihkan dengan sapu bersih.

Lalu, apa lagi yang harus ditunggu Jokowi? Dijepit banyak karang kepentingan memang tidak enak bagi sang Presiden, yang notabene bukan darah biru partai – hingga kerap dicap “petugas partai”. Terlebih, penjepit untuk segera melantik BG justru mengalir deras dari PDIP sendiri, partai pengusung utama.

Namun, sesulit apa pun keputusan yang harus diambil, seorang pemimpin pada akhirnya memang harus mengambil keputusan. Risiko selalu akan menghadang. Keberanian dan kecermatan menghitung risiko menjadi taruhan. Mudah-mudahan keputusan yang diambil itu bukan dengan mengorbankan hari nurani, akal sehat, dan janji politik sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita: memilih Kapolri yang bersih.

Pukul 1.20 WIB dini hari ketika saya menyelesaikan tulisan ini, whats up saya dikirimi berita Presiden sudah mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma. Welcome back Pak Jokowi. Kami menanti ketukan palu Bapak sebagai Presiden yang kami pilih, bukan sebagai ‘petugas partai’.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar