Rabu, 11 Februari 2015

Tebak-tebakan Buah Manggis

Tebak-tebakan Buah Manggis

M Aji Surya   ;   Pengamat Sosial, Tinggal di Jakarta
DETIKNEWS, 10 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Sampai dengan hari ini (10/02/15), sebagian besar masyarakat Indonesia insya Allah masih diliputi rasa penasaran yang membuncah. Mereka geram dan jengkel terhadap lambannya Presiden Jokowi mengambil keputusan terkait penyelesaian “perseteruan” KPK vs Polri. Bisa jadi, kegeraman itu akan serta merta berubah menjadi kemarahan kalau akhirnya apa yang diharapkan tidak terealisasi.

Saya sendiri mencoba mendekati ritme Jokowi ini dari kultur Jawa yang kebetulan kental dalam dirinya. Sebagai orang Solo dan besar dengan adat istiadat Jawa, sangat bisa dimengerti kalau kemudian cara penyelesaian masalah yang dipakai Jokowi adalah falsafah Jawa. Itu semua karena setiap manusia meyakini bahwa budaya yang membangun dirinya dapat bermanfaat untuk mengarungi kehidupan, termasuk menyelesaikan persoalan.

Tebak-tebak buah manggis, saya menduga, bahwa Pak Jokowi meyakini konsep “menang tanpo ngasorake” atau memenangkan pertarungan tanpa harus merendahkan semua pihak, bisa dipakai dalam penyelesaian perseteuran ini. Di sini, target harmoni dikedepankan dan konflik dihindari.

Penggunaan falsafah ini bisa jadi dianggap efektif (tepat) apalagi sang Presiden sebagaimana disebut oleh banyak pihak, dalam keadaan yang terjepit. Presiden sepertinya dalam posisi “maju kena mundur kena”. Melantik BG menuai kritik masyarakat, tidak melantik (saat itu) menyiratkan ketidakkonsistenan. Membela KPK dengan mengorbankan Polri pasti dianggap tidak adil, demikian pula sebaliknya. Belum lagi, kisruh soal hukum ini kemudian melebar jauh ke ranah politik di mana banyak anggota partai ikut bermain di dalamnya. Betul-betul membuatnya lieur.

Sejak saat itu, sebenarnya, masyarakat Indonesia sedang melihat aneka jurus yang dimainkan oleh Presiden untuk keluar dari “jebakan Batman”. Salah-salah ambil keputusan maka risikonya sangat besar. Diperlukan sebuah strategi yang jitu mengingat Jokowi bukanlah pengendali partai dan tidak memiliki amunisi yang cukup untuk memenangkan pertempuran dengan mudah.

Itulah mengapa, falsafah Jawa tadi plus jiwa pedagangnya mungkin dianggap sebagai ramuan lumayan ampuh dalam menyelesaikan masalah yang rumit ini. Maklumlah, seorang pedagang biasanya sangat rasional dalam mengambil keputusan dengan cara mencari kawan sebanyak mungkin (menjauhi permusuhan). Ketika terjadi penggabungan antara keduanya maka diharap ada penyelesaian masalah dan diraih keuntungan.

Bila mau menengok ke belakang, track record Jokowi lihai dalam memainkan konsep ini. Hal itu terlihat saat ia menjadi Walikota Solo maupun Gubernur Jakarta. Melakukan pembicaraan berkali-kali tanpa lelah dan pada akhirnya apa yang diinginkan dapat dicapai. Fenomena “penggusuran” ala Jokowi adalah model “menang tanpo ngasorake” atau bisa juga disebut pendekatan “win-win solution”.

Sebenarnya Jokowi memiliki wewenang yang cukup untuk segera menyelesaikan masalah jika saja ia mau. Hanya saja, keputusan yang muncul di tengah-tengah suasana yang tidak matang diperkirakan akan melukai beberapa pihak. Dan hal ini tidak dikehendaki oleh sang Presiden asal Solo (Jawa) tersebut. Ia, meskipun terlihat tidak berjamaah (relatif sendiri), namun terus mencoba memenangkan pertempuran hebat.

Tampaknya juga, Presiden Jokowi melihat kenyataan ini lalu mengeluarkan jurus tambahan yang disebut “ngluruk tanpo bolo” atau datang ramai-ramai tanpa bala tentara. Artinya, di tengah himpitan yang luar biasa itu, ia mencoba menggandeng berbagai pihak, termasuk lawan politiknya, agar kemudian berbalik memberikan dukungan kepadanya. Demikian juga dengan memanggil berbagai pihak untuk memberikan masukan kepadanya, mulai dari mantan presiden Indonesia sampai tim 9 yang tidak akan diresmikan. Semua komunikasi itu dibiarkan terbuka sedemikian rupa sehingga terbangun opini publik yang matang untuk kemudian sang presiden tinggal mengetok palu tanpa ada yang bisa menyanggah.

Hal penting yang harus dipahami dalam proses yang dalam bahasa kerennya disebut soft diplomacy tersebut adalah waktu yang dibutuhkan tidak sedikit. Perlu masa yang panjang sehingga bisa menyulut konsitituennya gemes dan marah. Tidak mengherankan, ketika itu semua terjadi pada saat 100 hari kepemimpinan Jokowi maka rapot kinerjanya, dinilai beberapa kalangan, tidak semuanya bagus.

Saya agak menduga, pengambilan keputusan yang terkait dengan “perseteruan” KPK-Polri yang terkesan diulur sampai kepulangan dari lawatan ke tiga negara ASEAN tersebut adalah karena sang Presiden tidak yakin waktu pengambilan keputusan sudah pas. Keadaan belum begitu matang untuk sebuah keputusan besar. Diharapkan, perkembangan komunikasi publik yang terbentuk selama ditinggalkan sebagai dampak dari berbagai diskusi maupun pemberitaan lebih mematangkan keadaan. Begitu presiden pulang, semua matang, keputusan telah disiapkan dan ia tinggal meneken dan mengumumkan. Tidak ada yang melawan.

Dari tebak-tebak buah manggis yang mungkin terjadi berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka kemungkinan besar Presiden Jokowi akan mengambil jalan harmoni sesuai slogan save KPK save Polri. Dugaan saya, soal ketaatan hukum (an sich) menjadi alasan dalam pengambilan keputusan. Rakyat dianggap sudah memahami bahwa ada “masalah” baik di BG maupun di beberapa pimpinan KPK, sehingga penegakan hukum menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan.

Bila asumsi ini benar adanya, maka Presiden akhirnya tidak akan memberikan “pembelaan” kepada siapapun yang diduga memiliki masalah hukum, apalagi bukti-bukti telah mengarah kesana. Baik unsur pimpinan KPK maupun BG akan dilepas begitu saja sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

Yang agaknya pasti adalah bahwa Presiden tidak akan membiarkan KPK lumpuh dengan dijeratnya beberapa pimpinannya dalam masalah pidana. Dengan kekuasaanya, ia bisa mengeluarkan keputusan tentang pengangkatan pelaksana tugas dari kalangan yang kredibel sehingga dapat menenangkan publik secara umum. Dus, selesailah semua masalah. KPK terselamatkan sementara penegakan hukum tidak terciderai. Tetap sesuai koridor janji-janjinya dalam pemilu.

Dari sini, presiden kemudian akan menyusun langkah-langkah strategis agar masalah semacam ini tidak terjadi di kemudian hari. Bahkan langkah-langkah besarnya kali ini dijadikan semacam jalan (stepping stone) untuk meningkatkan bargaining-nya baik di mata partai yang mengusungnya atau yang sempat berseberangan dengannya.

Meskipun demikian, jangan pernah lupa bahwa Jokowi adalah pribadi yang seringkali diluar konteks pikiran masyarakat awam. Sepak terjangnya kadang bukan hanya out of the box namun sering not in the box. Keberaniannya untuk mengeksekusi mati pengedar narkoba yang menyebabkan dirinya berhadap-hadapan langsung dengan dunia luar, hanyalah satu contohnya.

Jadi, jangan kaget juga bila sang Presiden mengambil jalan yang diluar nalar lumrah masyarakat dan logika politik kaum politisi. Senyumnya yang sering mengembang dan bicaranya yang sepotong-sepotong memiliki multi-tafsir. Membaca sepak terjang Jokowi adalah membaca manusia Jawa yang harus mengedepankan sebuah konsep “reading behind the lines”.

Sesuatu yang pasti, apapun yang diputuskan oleh Jokowi nanti, bila menciderai rasa keadilan masyarakar maka damage control nya akan sulit. Kredibilitasnya akan meluncur cepat seperti air terjun di Tawangmangu, Solo. Namun bila mampu mendamaikan KPK dan Plori sekaligus memberikan kepuasan publik, maka bintang Jokowi akan bersinar kembali. Mari kita nantikan keputusan sang Presiden. Wallahu a’lam bisawab. Ilmu alam susah dijawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar