Rabu, 11 Februari 2015

Jakarta Belum Aman

Jakarta Belum Aman

Dicke Nazzary Akbar   ;   Kandidat Doktor di Hafencity University Hamburg
KOMPAS, 10 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

LAPORAN hasil survei Economist Intelligence Unit yang menggelari Jakarta sebagai kota paling tidak aman dari 50 kota besar dunia merupakan kritik yang baik bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sayangnya, cara mengantisipasi laporan ini—dengan meningkatkan razia dan patroli, memasang CCTV di setiap sudut Ibu Kota, bahkan yang paling ekstrem menempatkan penembak jitu di titik-titik rawan kejahatan—menunjukkan ketidakpahaman yang mendalam terhadap hasil survei tersebut.

Pertama-tama, perlu diluruskan bahwa indikator yang digunakan dalam survei tersebut berjumlah 44 buah, dibagi lagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu keamanan digital, kesehatan, infrastruktur, dan personal.

Dari seluruh indikator, angka kematian korban bencana alam merupakan indikator terburuk Kota Jakarta (peringkat ke-50), diikuti dengan akses terhadap kesehatan (49), jumlah ketersediaan dokter (49), akses makanan yang aman dan berkualitas (49), dan kualitas pelayanan kesehatan (48).

Adapun beberapa indikator kriminalitas mendapatkan nilai pada ambang rata-rata, seperti persepsi keamanan (peringkat ke-33), kegiatan kelompok kriminal (23), dan kejahatan berat (16). Artinya, pokok masalah ”ketidakamanan” Jakarta bukan bertumpu pada masalah kriminalitas.

Kapasitas layanan

Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diluncurkan pada awal pemerintahan Jakarta Baru, mulai 10 November 2012, masih merupakan terobosan terbaik dari seluruh program kerja. Keterjaminan warga, terutama golongan miskin dan rentan miskin, pada akses kesehatan dipastikan akan mendorong kualitas hidup warga Kota Jakarta.

Laporan akhir tahun Kompas (31/12) yang memaparkan pertumbuhan pasien pengguna KJS 300.000 pasien per tahun signifikan menunjukkan pemenuhan kebutuhan warga. Berbagai program inisiatif, seperti klinik layanan di rumah susun, layanan gawat darurat melalui telepon, dan peningkatan kelas puskesmas menunjukkan usaha pemerintah meningkatkan kinerja KJS.
Namun, pekerjaan rumah pemerintah masih cukup banyak. Kasus-kasus penolakan pasien akibat kamar penuh atau fasilitas tidak tersedia masih terjadi (Kompas, 2/12).

Dalam survei Economist Intelligence Unit (EIU), jumlah ketersediaan dokter dan tempat tidur rumah sakit di Jakarta masih tertinggal jauh dibandingkan dengan kota negara tetangga, seperti Bangkok dan Ho Chi Minh City. Dengan rencana awal target peserta KJS 4,7 juta jiwa, tentu saja kapasitas sumber daya pelayanan kesehatan harus menjadi prioritas utama pemerintah sekarang ini.

Rumitnya proses administrasi yang sering menghambat warga terhadap akses pelayanan harus segera diselesaikan. Keberadaan program Kartu Indonesia Sehat sebagai pengembangan Jaminan Kesehatan Nasional pun sempat dikhawatirkan memperumit program KJS. Integrasi data dari berbagai program sosial ini menjadi satu kesatuan dalam E-KTP harus menjadi impian, setidaknya untuk menjawab ketumpang tindihan metode ”kartu”.

Korban banjir

Sejauh ini, apabila dibandingkan dengan musim hujan tahun-tahun sebelumnya, frekuensi dan lama kejadian banjir genangan di beberapa titik terlihat menurun. Namun, masalah utama Kota Jakarta ini masih jauh dari kata selesai.
Sebagai ancaman bencana alam terbesar perkotaan versi PBB, banjir memang bukan perkara yang mudah. Terlebih lagi bagi Jakarta yang secara geografis sudah mengundang genangan. Maka, Jakarta perlu waktu dan usaha ekstra untuk menghadapi masalah ini.

Selain itu, dampak pasca banjir, seperti penyakit leptospirosis, harus pula menjadi perhatian utama pemerintah. Walaupun tidak mengambil korban materiil seperti banjir, penyakit ini pada 2014 merenggut korban jiwa 18 orang, dengan total keseluruhan 104 kasus. Artinya, angka korban kematian akibat penyakit pasca banjir hampir sejajar dengan korban kematian bencana banjir pada tahun yang sama. Padahal, angka ini belum ditambah dengan korban dari penyakit lain yang berhubungan langsung dengan banjir ataupun musim hujan, seperti diare, demam berdarah, dan infeksi saluran pernapasan.

Keterjaminan pedestrian

Kewajiban penyertaan jalur pedestrian atau trotoar pada setiap jalan lalu lintas umum tersurat secara jelas dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kenyataannya, Koalisi Pejalan Kaki memperkirakan hanya 6 persen dari jalanan di Kota Jakarta yang memiliki trotoar dan 80 persennya dalam kondisi tidak layak. Pantaslah jika survei EIU menempatkan Kota Jakarta pada indikator keramahan jalur pedestrian di peringkat ke-39.

Apabila kondisi ini tidak ditindaklanjuti dengan usaha serius pemerintah meningkatkan ketersediaan jalur pedestrian, dapat dipastikan program pemerintah mengembangkan infrastruktur transportasi massal, seperti MRT, monorel, dan bus berjalur khusus, pun akan menjadi sia-sia. Pada hakikatnya, jalur pedestrian adalah tulang punggung transportasi massal.

Selain ketersediaan trotoar, kenyamanan dan keamanan kaum pedestrian pun masih jauh dari harapan. Kasus pengguna sepeda motor yang menaiki trotoar atau menggunakannya sebagai lahan parkir masih terus terjadi. Padahal, menurut hierarki, pedestrian memiliki takhta tertinggi dibandingkan pengguna moda transportasi lainnya.

Di persimpangan kecil negara maju—yang sudah memahami betul hierarki ini—pengguna kendaraan bermotor akan selalu berhenti, memberikan kesempatan bagi kaum pedestrian untuk menyeberang terlebih dahulu. Sebuah budaya yang masih menjadi mimpi di Kota Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar