Senin, 09 Februari 2015

Lihatlah Jakarta dan Surabaya

Lihatlah Jakarta dan Surabaya

Gatot Sudjito ;  Anggota DPR Fraksi Partai Golkar
JAWA POS, 07 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SETELAH dinobatkan sebagai kota paling tidak aman di dunia, beberapa hari lalu (5/2) harian ini merilis stop-start index yang dikeluarkan Castrol bahwa Jakarta merupakan kota dengan lalu lintas terburuk di dunia. Itu sama halnya termacet di dunia. Lebih mengejutkan lagi, Kota Surabaya pun masuk peringkat terburuk keempat dengan indeks 29.880 stop-start di dunia. Apa yang dirilis Castrol tersebut mungkin 30–40 tahun lalu yang masih lengang tidak pernah dibayangkan jika predikat kota termacet di dunia akan tersematkan untuk Jakarta dan Surabaya.

Kenyataannya, kondisi jalanan di Jakarta dan Surabaya semakin hari kian padat. Kemacetan yang seharusnya merupakan anomali perkotaan justru berubah seperti tradisi normal di kota tersebut. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, migrasi dari desa ke kota, meningkatnya kelas menengah, dan tingginya pertumbuhan kendaraan yang tidak berimbang dengan perluasan jalan mendorong terciptanya lalu lintas yang semakinsemrawut dan padat.

Mindset masyarakat masih menempatkan kota sebagai sentrum ekonomi sehingga memberikan daya tarik bagi mereka. Karena itu, mereka berbondong-bondong pergi ke pusat kota. Faktanya, lapangan pekerjaan memang banyak tersedia di perkotaan, sedangkan di perdesaan relatif kecil. Lahirnya UU Nomor 06/2014 tentang Desa memberikan harapan bagi percepatan pembangunan desa sehingga denyut nadi perekonomian tidak hanya terpusat di perkotaan.

Jumlah penduduk yang terus meningkat dengan meningkatkan kelas menengah menciptakan permintaan terhadap kendaraan kian tinggi. Di sisi lain, kondisi tersebut dapat memberikan keuntungan kepada negara atas pemasukan pajak kendaraan. Tapi, dalam jangka panjang, keadaan itu berdampak pada kepadatan dan kemacetan yang tidak ekonomis. Contohnya, rata-rata warga Jakarta dalam sehari menghabiskan waktu 6 jam di jalan karena kemacetan. Itu berarti, dalam setahun, mereka menghabiskan 720 jam atau setara 3 bulan waktu kerja efektif.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pada 2014 memprediksi penjualan mobil di tanah air mencapai 1,2 juta unit. Bahkan, diperkirakan 37 persen populasi kendaraan yang ada di Indonesia beredar di Jakarta dan sekitarnya. Beban yang ditanggung Jakarta dalam peningkatan kendaraan sangat tinggi. Tidak heran, Jakarta kemudian dinobatkan sebagai kota termacet di Indonesia.

Kesadaran Masa Depan

Jika diurai, kemacetan tidak lagi melulu menjadi masalah Jakarta dan Surabaya. Bahkan, beberapa dekade lalu, macet hanya milik Jakarta. Kini, kemacetan mulai merambah ke kota-kota di daerah lain seperti Surabaya, Jogjakarta, Semarang, Bandung, Medan, dan Makassar. Hal ini merupakan sirene tanda bahaya bagi kota-kota tersebut. Jika tidak cepat melakukan pembenahan dari semua lini, kemacetan akan menjadi masalah besar sebagaimana yang terjadi di Jakarta.

Dengan demikian, kita harus mulai membangun kota yang berkesadaran masa depan. Kota yang berkesadaran masa depan adalah kota yang sanggup mengatasi dan mencegah terjadinya problem-problem laten perkotaan seperti kemacetan, kriminalitas, dan kemiskinan. Jika ini tidak dilakukan sejak dini, kota-kota di Indonesia akan seperti Jakarta saat ini; macet, padat, dan penat. Jakarta yang macet dan padat harus dijadikan cermin masa depan seluruh kota di Indonesia jika cara penanganan dan desain perkotaannya tidak ditata dengan baik dari sekarang.

Kota-kota yang tidak terbelit macet seharusnya mulai memikirkan pembangunan dan penguatan sistem transportasi masal. Meningkatnya kelas menengah dan mudahnya akses memperoleh kredit kendaraan menciptakan tingkat penggunaan terhadap kendaraan bermotor sangat tinggi. Hadirnya budaya konsumtif dan glamor di masyarakat mendorong peningkatan pengguna kendaraan pribadi sehingga penggunaan kendaraan tidak lagi berdasar kebutuhan, tetapi pertimbangan gengsi dan prestise.

Kondisi tersebut mengakibatkan migrasi besar-besaran dari pengguna angkutan umum ke pengguna kendaraan pribadi. Saat ini banyak daerah di mana kendaraan angkutan umum tidak diminati masyarakat karena sudah memiliki kendaraan pribadi; mobil dan sepeda motor. Jika kondisi itu dibiarkan tanpa ada rekayasa untuk mengantisipasi lonjakan pertumbuhan kendaraan, siap-siap kota tersebut akan bernasib seperti Kota Jakarta.

Pembangunan dan peningkatan sarana jalan umum bukan langkah solutif untuk mengatasi kemacetan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Sebab, itu akan berhadapan dengan laju pertumbuhan manusia yang dinamis dan terus meningkat, sedangkan ketersediaan lahan statis dan terbatas. Karena itu, keberadaan moda transportasi masal harus segera diwujudkan kota-kota lainnya, sekalipun masalah kemacetan belum menjadi persoalan utama. Tapi, itu akan menjadi masalah di waktu mendatang jika tidak diantisipasi sejak dini.

Membangun kota yang berkesadaran masa depan harus segera dilakukan seluruh komponen stakeholder yang terlibat dalam membangun perkotaan. Kota-kota di Indonesia yang dulunya lengang dan saat ini mulai macet sebaiknya menjadi cerminan bagi kota-kota di Indonesia lainnya. Tidak menutup kemungkinan, jika tanpa antisipasi, lima tahun mendatang kota selain Jakarta dan Surabaya bisa masuk lima besar kota termacet di dunia. Semoga tidak terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar