Senin, 09 Februari 2015

Menatap KPK Lumpuh

Menatap KPK Lumpuh

Mahfudz Ali ;  Dosen Pascasarjana Untag Semarang, Pembina KP2KKN Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 07 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

DARAH mahasiswa yang tertumpah di kampus Universitas Trisaksi dan sejumlah kejadian memprihatinkan yang mengiringi kelahiran era reformasi, sekarang ini seolah-olah terkubur tanpa makna. Pada masa itu, di antara sejumlah tuntutan masyarakat adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dinilai ’’tidak mampu’’ memberantas KKN. Dirasa mendesak mewujudkan institusi baru dengan sejumlah kewenangan besar supaya mampu memberantas budaya KKN.

Perdebatan antarelite politik, pegiat LSM antikorupsi, akademisi, dan elemen masyarakat berujung pada kelahiran lembaga baru dengan otoritas memadai, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kini, pelemahan KPK sudah sampai tahap memprihatinkan, dan dalam hitungan hari komisi itu bisa lumpuh. Setelah komisioner Busyro Muqoddas mengakhiri masa baktinya, sampai kini belum diputuskan penggantinya.

Berikutnya, Bambang Widjojanto sudah berstatus tersangka, sedangkan tiga lainnya, yaitu Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain, berstatus terlapor dan bisa dipastikan berubah menjadi tersangka. Konsekuensi hukum setelah berstatus tersangka, menurut UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, komisioner harus nonaktif dari jabatannya (Pasal 32 Ayat 2) sehingga komisi tersebut lumpuh.

Sejumlah saksi dan tersangka yang dipanggil KPK, seolah-olah kompak untuk mangkir dari panggilan itu, dan KPK tak berdaya memaksanya. Fenomena pelumpuhan, bahkan penghancuran lembaga antikorupsi bukanlah gejala khas Indonesia mengingat beberapa negara mengalami nasib serupa.

Komisi sejenis di Korea Selatan yang awalnya demikian perkasa memberantas korupsi, dalam perjalanannya harus menelan pil pahit dan tak berdaya karena berubah fungsi sebagai pencegah korupsi. Demikian pula di Thailand yang awalnya bisa memperkarakan sejumlah menteri, berikut perdana menteri, belakangan harus menerima dalam kekangan rezim penguasa.

Tampaknya tinggal lembaga antikorupsi di Hong Kong dan Tiongkok yang masih berjaya. Apakah KPK bakal senasib dengan lembaga serupa di Korsel dan Thailand? Senyatanya, pelemahan KPK bukanlah cerita baru.

Beberapa upaya telah dilakukan politikus busuk, pengusaha hitam, penyelenggara negara dan pejabat pemerintah yang korup. Modusnya dari mempereteli otoritas dan anggaran, perekrutan SDM, hingga tembakan langsung ke sasaran seperti sekarang, yaitu memperkarakan para komisioner dan penyidiknya.

Sulit untuk tidak menyimpulkan begitu mendengarkan persidangan di MK tahun 2009, sewaktu penegak hukum mengkriminalisasikan komisioner KPK Chandra Hamzah-Bibit Samad Riyanto. Seandainya Jokowi istikamah pada mekanisme pengisian penyelenggara negara dengan melibatkan PPATK dan KPK, sebagaimana saat mengangkat menteri maka sengkarut antarlembaga penegak hukum tidak berhilir seperti ini.

Sudah terang-benderang bahwa yang dia ajukan sebagai calon kapolri terkena spidol merah dari PPATK dan KPK, kenapa tetap diajukan? Ketika calon itu menjalani tes di DPR, lalu keluar penetapan status tersangka, kenapa Jokowi tidak menarik pengajuannya? Terlepas siapa yang mengusulkan nama Budi Gunawan kepada Presiden, yang pasti pengangkatan dan pemberhentian kapolri adalah tanggung jawab presiden, bukan tanggung jawab pengusul.

Tantang Jokowi

Mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Sydney Australia menantang keberanian Jokowi-JK untuk mewujudkan Nawacita yang dulu gencar digemakan dalam kampanye Pilpres 2014. Visi misi ke-4 Nawacita adalah menolak negara lemah, dengan mereformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, kata mahasiswa dari University of Sydney, Yuna Farhan, Senin (2/2/15).

Mahasiswa dan masyarakat di Sydney yang tergabung dalam Jaringan Mahasiswa dan Masyarakat Antikorupsi Indonesia di Sydney (Jarimanis), menyatakan saat ini kepentingan oligarki menyandera Jokowi dan berujung pada pelemahan KPK dan kriminalisasi komisionernya. Presiden harus segera menyelamatkan KPK, dan dia yang dipilih langsung oleh rakyat harus hadir sebagai representasi rakyat, bukan representasi partai. Jokowi harus berani kehilangan dukungan elite politik ketimbang dukungan rakyat.’

Semasa pemerintahan SBY-Hatta Rajasa, ketika komisioner KPK tinggal dua orang, Presiden SBY menerbitkan perppu untuk posisi plt menggantikan Antasari Azhar dan Chandra-Bibit yang menjadi tersangka. Kini, setelah komisioner KPK hampir pasti tidak ada yang tersisa, apakah Jokowi mau mengikuti jejak SBYdalam kerangka penyelamatan KPK? Semua terpulang pada kenegarawanan Jokowi, atau membiarkan KPK bernasib sama dengan lembaga sejenis di Korsel dan Thailand? Jangan biarkan koruptor berpesta-pora menatap KPK lumpuh dan mati suri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar