Senin, 09 Februari 2015

Nakal

Nakal

Rhenald Kasali ;  Akademisi, Praktisi Bisnis;
Guru Besar Bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
JAWA POS, 08 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SIAPA yang masa kecilnya tidak pernah nakal? Namanya juga anak-anak, selalu ada cara untuk mencari ’’celah’’. Mencuri buah di kebun tetangga atau berkelahi adalah hal yang biasa. Di sekolah yang isinya lelaki semua, dulu teman-teman saya senang membuat ibu guru cantik mengambek.

Bahkan, ada anak baik yang tiba-tiba panik melihat tas sekolahnya sudah tergantung di leher kambing di lapangan. Sepeda motor guru yang galak pun biasa diumpetin siswa sampai dia panik.

Katanya, nakal adalah cara anak untuk menarik perhatian. Rachel Johnson, presenter TV Inggris, mengakuinya. ’’Of course I'm naughty. I've always had to compete for attention, you see.’’

Tapi, bukan hanya itu. Kenakalan juga pertanda kreativitas. Banyak inovator dunia yang masa kecilnya dikenal nakal. Contohnya, Steve Jobs, pendiri Apple.

Di sekolah dasar, dia mengaku pernah diam-diam menulis pengumuman ini di papan sekolah: ’’Bring your pet to school’’. Esoknya, sekolah pun geger. Seluruh murid membawa hewan peliharaan. Anjing-anjing berlarian memburu kucing. Guru-guru pun bingung.

Masih ada lagi. Dia membujuk teman-temannya agar memberi tahu nomor kombinasi kunci rantai pengaman sepeda mereka yang diparkir di sekolah. Begitu ada kesempatan, Jobs pun mengubah nomornya. Sepulang sekolah, seluruh murid yang membawa sepeda sibuk mencari nomor kombinasi yang sudah diubah Jobs.

Presiden Ke-4 RI (almarhum) Gus Dur juga pernah memberikan pengakuan serupa. Konon, saking nakalnya, Gus Dur beberapa kali dihukum dengan diikat di tiang bendera depan rumah oleh ayahnya, KH Wahid Hasyim.

Dia juga gemar memanjat pohon hingga jatuh dari ketinggian dan tangannya patah. Itu pun tidak sekali. Dia mengambil makanan dan memakannya di atas pohon, lalu ngantuk dan tertidur di atas sana. Akibatnya, dia pun jatuh dan tulangnya patah. Tangannya nyaris diamputasi. Untungnya, dokter mampu menyambung kembali.

Jobs dan Gus Dur adalah dua di antara beberapa tokoh dunia yang mengakui kenakalan masa kecilnya. Masih banyak lagi tokoh lainnya. Misalnya, Bill Gates, ahli fisika Albert Einstein, Presiden AS John F. Kennedy, megabintang basket Michael Jordan, atau mungkin juga saya sendiri.

Kita Yang Celaka

Tapi, apa jadinya bila kenakalan seseorang baru terjadi pada usia dewasa? Ini juga banyak contohnya. Kita bingung melihat anak yang masa kecilnya begitu serius, juara kelas, justru menjadi koruptor atau gemar party pada hari tuanya. Ini jelas, kitalah yang celaka. Latihan kreativitas itu tidak dipakai untuk pengabdian bagi kemanusiaan dan inovasi, melainkan dibawa mati sia-sia.

Belum lama berselang, kita membaca berita tentang pengusaha nakal yang menimbun barang-barang tertentu, bahkan mengoplosnya sehingga terjadi kelangkaan dan kematian. Harga-harga pun melonjak gila-gilaan, sampai empat kali lipat.

Anda ingat bukan dengan kasus harga bawang yang pernah menembus Rp 100 ribu per kilogram? Atau, mereka yang mengoplos miras, beras, gula, minyak zaitun, obat-obatan, dan sebagainya. Siapa yang susah? Kita semua.

Gara-gara sering dioplos dengan kopi dari daerah lain, importer kopi Toraja dari Jepang bahkan memilih berkebun sendiri atau membeli langsung dari petani di Toraja. Akibatnya, banyak eksporter kopi yang bisnisnya terganggu.

Kita juga pernah mendengar sebutan banker dan menteri yang nakal. Itu merujuk pada perilaku para banker atau pejabat yang melakukan markup nilai kredit atau proyek dan sebagian dananya ternyata mengalir kembali ke kocek mereka. Akibatnya, proyek menjadi tidak feasible lagi dan macet total.

Jangan heran pula mengapa prestasi sepak bola kita terus merosot. Kita sudah lama mendengar di sana banyak orang dewasa (pengurus) yang nakalnya minta ampun, membuat atlet kita pun menjadi nakal.

Prestasi sepak bola kita juga tidak optimal. Selalu kalah di ujung penantian tatkala kita tengah bergairah dan mengimpikan kemenangan.

Beberapa bank yang karena kredit macetnya bertimbun akhirnya ditutup. Nasabah pun kalang kabut. Pemerintah juga mesti menyuntikkan dana. Dari mana uangnya? Dari pajak yang secara rutin kita bayarkan. Artinya, uang kita juga.

Anda tentu tahu tentang hakim, jaksa, dan polisi nakal. Ketika mereka berkolaborasi, jadilah mafia peradilan. Negara kita pun hancur lebur. Tidak ada lagi kepercayaan dan berlakulah hukum rimba. Tidak ada rasa nyaman selain perampasan dan kebencian.

Kata orang di luar sana, keadilan di sini bisa dibeli, menjadi milik pemegang kuasa dan pemilik uang. Kita betul-betul dibuat celaka ketika yang nakal adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan. Seperti yang kita saksikan di parlemen belakangan ini, kalangan politisi terus mendesak agar presiden mengangkat orang pilihan mereka yang mungkin saja bermasalah. Mereka menyandera hidup kita.

Molimo

Kenakalan punya banyak rupa. Orang-orang tua di Jawa kerap menyebutnya sebagai perangkap molimo alias 5M. Apa saja? Main (tergila-gila judi), madon (main perempuan), maling (mencuri, korupsi atau mengambil yang bukan haknya), madat (mengisap candu), dan minum (suka meminum minuman keras atau yang memabukkan).

Saya berharap kehebohan cicak vs buaya jilid III tidak menjadi contoh kasus yang berbau molimo itu, meski selentingannya santer terdengar. Saya juga berharap pimpinan KPK dan Polri tidak merusak reputasi mereka dengan asal tuduh atau memainkan kekuasaan.

Di luar itu, saya sangat sebal kalau perilaku orang dewasa yang benar-benar berengsek tersebut hanya disebut nakal. Mestinya lebih dari itu. Hanya, saya tidak sampai hati menuliskannya di sini. Tapi, Anda tentu tahu kan maksudnya? Iya, kata yang itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar