Kamis, 12 Februari 2015

Jokowi dan Jebakan Kepentingan

Jokowi dan Jebakan Kepentingan

Fathorrahman Ghufron   ;   Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
KOMPAS, 11 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

MASA kepemerintahan Joko Widodo sudah memasuki 100 hari. Dalam rentang waktu ini, ada titik rentan yang terkait dengan pos kekuasaan karena diisi oleh orang-orang yang tidak sesuai dengan harapan publik. Mulai dari komposisi kabinet, penunjukan Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri tunggal, hingga komposisi Dewan Pertimbangan Presiden.

Puncaknya adalah pengajuan nama Budi Gunawan sebagai calon tunggal kepala Polri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mencoba mengingatkan Jokowi bahwa jejak rekam Budi Gunawan tersandung masalah korupsi malah berujung pada penangkapan Bambang Widjojanto dan penuntutan pimpinan KPK dengan pasal-pasal lama yang nyaris di luar nalar sehat.

Lebih celaka lagi, dalam menyikapi ”perseteruan” yang menggelinding bak bola salju ini, orang-orang di lingkaran Jokowi menambah runcing keadaan. Misalnya dengan pernyataan pendukung KPK adalah masyarakat tidak jelas, demagog, politik balas dendam, dan semacamnya.

Jelas emosi masyarakat bergolak dan mereka mempertanyakan sikap kenegarawanan Jokowi sebagai Presiden yang sangat diharapkan keberpihakannya kepada suara rakyat (vox populi).

Pertanyaannya, mengapa Jokowi sedemikian lemah? Bukankah netralitas dan profesionalitas menjadi salah satu adagium utama Jokowi saat mencalonkan diri sebagai presiden? Di manakah dream teamJokowi yang dijanjikan sebagai penggerak 9 program Nawa Cita yang berspiritkan Tri Sakti agar revolusi mental bisa terlaksana?

Apa boleh buat. Saat ini banyak rakyat kecewa karena postur kekuasaan Jokowi jauh panggang dari api. Namun, semarah-marahnya rakyat, sebenarnya masih ada harapan bahwa Jokowi akan merumuskan hak prerogatifnya secara mandiri. Apalagi, banyak partai pendukung yang memanfaatkan ”keluguan” Jokowi di pentas perpolitikan.

Lalu, seberapa jauh Jokowi mampu menyadari centang-perenang kekuasaan di masa pemerintahannya? Akankah suasana balas budi politik selalu menjadi alasan melahirkan postur kekuasaan?

Pada titik inilah refleksi kritis perlu kami sampaikan agar niat baik Jokowi untuk mengubah keadaan rakyat Indonesia ke arah lebih maju tidak tersandera oleh partai-partai pendukungnya.

Jebakan kepentingan

Di awal Jokowi menjadi presiden, komposisi penghalau kebijakan dan kewenangan pengaturan kekuasaan bisa jadi hanya berasal dari Koalisi Merah Putih. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa partai pendukung pun bisa menjadi batu sandungan Jokowi dalam menetapkan program kepemerintahan ataupun pelaksananya.

Betapa tidak, Jokowi yang sejak awal belum menunjukkan figur aslinya sebagai pemimpin berparadigma horizontal selalu dikendalikan petinggi partai Koalisi Indonesia Hebat. Bukan tidak mungkin berbagai pihak yang sejak awal tidak mendukung Jokowi kian mempercanggih move politiknya dan memperkeruh suasana.

Bukan tidak mungkin pula, dalam suasana keruh, kelompok pendukung dan penentang Jokowi akan ”berselingkuh” dan menerapkan pendekatan ”seolah-olah” yang serba kamuflase. Pada titik ini, posisi Jokowi akan menjadi musuh bersama yang diharapkan redup agar bisa digulingkan.

Kepentingan menjadi semacam realitas sosial yang terbangun dari interaksi berbagai pihak yang memberikan kesepakatan tentang sebuah keuntungan yang hendak dilakukan. Keuntungan menjadi interval lanjutan dari sebuah kepentingan yang diperjuangkan. Melalui rasionalitas instrumental—meminjam istilah Max Weber—kepentingan memperoleh keuntungan menjadi cara terbaik untuk mencapai tujuan melalui tindakan yang paling efisien.

Bangkitlah Jokowi

Ketika Tim Independen yang diketuai Buya Syafii Maarif melansir pernyataan bahwa penunjukan Budi Gunawan bukan keinginan Jokowi, kecurigaan publik semakin terbukti bahwa pengisian berbagai elemen kekuasaan di masa pemerintahannya di bawah skenario beberapa figur kuat partai pendukungnya.
Dalam kaitan ini, apa yang direkomendasikan Tim Independen agar Jokowi tidak tunduk kepada partai apa pun, tetapi harus mengutamakan kepentingan rakyat, menjadi peluang besar Jokowi untuk berbenah.

Setidaknya suasana kisruh selama 100 hari kekuasaannya menjadi pelajaran berharga bahwa manakala independensinya sebagai presiden tunduk di bawah partai, nama baik Jokowi yang sudah dikonstruksi sebagai satria piningit, pembawa harapan, akan tergilas oleh vested interest.

Dengan kata lain, merujuk pada pemikiran J Kristiadi dalam tulisan ”Kuasa Lingga Merajah Negara” (Kompas, 27/1/2015), apabila Jokowi menyerah kepada kendali patronase politik, ia adalah presiden yang diperlakukan sebagai boneka politik.

Namun, apabila Jokowi tunduk kepada konstitusi dan kehendak rakyat, maka Jokowi harus berjuang habis-habisan bersama rakyat mengukir Indonesia yang maju, adil makmur, dan berkeadilan.

Maka, gegernya KPK yang dikriminalisasi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab harus dibaca sebagai blessing in disguise di pengujung 100 hari kekuasaan Jokowi. Dari peristiwa ini, Jokowi harus semakin sadar bahwa rakyat tidak rela jika kewenangannya sebagai presiden dicabik oleh kesewenangan segelintir pengurus partai.

Rakyat masih merindukan keotentikan sikap Jokowi yang tangkas, lugas, tegas, dan supel dalam menjalankan tugas kepemerintahannya dalam lima tahun mendatang.

Maka, Waspadalah Jokowi! Intrik kekuasaan tidak hanya terjadi karena niat pelakunya, tetapi juga karena adanya kesempatan yang dibiarkan tumbuh menjadi jebakan kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar