Kamis, 12 Februari 2015

Masalah Sastra Indonesia? Para Politikus

Masalah Sastra Indonesia?  Para Politikus

AS Laksana   ;   Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia.
JAWA POS, 08 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

"APA masalah sastra Indonesia menurut Anda?’’ Itu pertanyaan yang sesungguhnya tidak tepat ditujukan kepada saya. Saya bukan orang yang tekun mengamati sastra Indonesia. Namun, saya menjawab juga pertanyaan itu karena dia bertanya. Saya menjawab: Sama dengan masalah persepakbolaan di negara ini, sama dengan masalah pendidikan, sama dengan masalah kemacetan di Jakarta, sama dengan masalah pemberantasan korupsi, sama dengan masalah-masalah lain yang tidak kunjung bisa dibereskan.

Kami bertemu pekan lalu. Dia datang dari Jerman untuk mewawancarai para penulis Indonesia karena tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan pada Frankfurt Book Fair.

’’Kami memberikan nyaris seluruh perhatian dan memeras pikiran untuk politik,’’ kata saya. Itu jawaban yang tampak tidak relevan, tetapi menurut saya memang begitu. Masalah sastra, juga masalah-masalah lain di luar sastra, di negara ini muncul karena perpolitikan kita gagal menumbuhkan harapan bahwa negara ini bisa diperbaiki. Dan kita tidak pernah memikirkan pelbagai urusan lain secara sungguh-sungguh karena terlalu banyak energi dan pikiran yang disedot oleh urusan politik.

Satu pertanyaan yang lain adalah siapa penulis Indonesia yang paling layak diperkenalkan kepada dunia. Saya katakan semua. Semua orang yang menulis dengan sungguh-sungguh patut diperkenalkan. Kita tidak pernah memperkenalkan para penulis kita sendiri ke dunia yang lebih luas. Internet memungkinkan untuk itu. Iran melakukannya. China melakukannya. Bahkan, para penulis Afghanistan melakukannya. Di awal 2000-an, saya pernah menemukan situs web para penulis Afghanistan dalam bahasa Inggris. Dari situs web itu, kita bisa membaca cerita-cerita mutakhir mereka, para penulis dari negara yang situasinya sangat mencekam.

Mestinya kita memperkenalkan diri dengan cara seperti itu juga. Setidaknya, ada situs web berbahasa Inggris yang memperkenalkan karya para penulis Indonesia. Tetapi, hal itu tidak akan terpikirkan jika kita tidak pernah memberikan perhatian. Lagi-lagi, urusan politik terlalu menguras kita. Pernyataan-pernyataan para politikus sungguh merusak bahasa dan hampir setiap hari ada saja pernyataan yang membuat kita marah. Pernyataan para politikus itu dan cara mereka berbahasa sama belaka kelasnya dengan remaja galau.

Mari sedikit mencermati bahasa yang dituturkan orang. Seorang gadis yang merasa nasibnya buruk mungkin suatu saat mengatakan, ’’Semua lelaki tak bisa dipercaya.’’ Kita tahu ada generalisasi di sana. Tidak mungkin dia mengenal semua lelaki di dunia ini. Tidak mungkin dia mempunyai pengalaman menyakitkan dengan semua lelaki di dunia ini. Kita juga tahu bahwa kalimat itu menyimpan pengalaman atau kejadian tertentu di lapis bawah permukaannya. Gadis itu barangkali memiliki satu, atau dua, atau tiga pengalaman dengan lelaki dan dia dikecewakan. Lalu, dengan pengalamannya yang sedikit itu, dia membuat kesimpulan yang dia berlakukan untuk ’’semua lelaki’’.

Bahasa tutur orang, Anda tahu, sering mengandung unsur generalisasi semacam itu. Menteri Tedjo, anggota kabinet yang cukup produktif berkata-kata, juga seperti itu. Seolah-olah meyakini bahwa orang ingin mendengar pendapatnya, suatu hari dia melontarkan pernyataan tentang ’’Dukungan rakyat yang tidak jelas’’.

Saya menduga, Pak Menteri itu belum lama diturunkan di dunia ini. Mungkin umurnya baru beberapa hari dan dia belum memiliki pengalaman yang memadai. Kalimatnya memiliki lapisan kosong, sebuah growong yang besar sekali, di lapisan bawahnya. Dia jelas tidak memahami arti people power, dia belum lahir ketika Presiden Jokowi memenangi pemilihan presiden karena dukungan rakyat, dan dia tidak pernah membaca Pangeran Kecil karya penulis Prancis Antoine de Saint-Exupery. Jika Pak Menteri membaca novel itu, dia akan mendapati adegan seorang raja yang sedih karena hanya sendirian di negerinya dan tidak memiliki rakyat.

Belakangan, Menteri Tedjo mengeluarkan lagi kalimat, ’’Pegawai KPK seperti buruh.’’ Kalimat itu pasti menyimpan persepsi tertentu di lapisan bawah, menyiratkan pemahaman yang kurang baik atau keganjilan cara pandang terhadap kosakata buruh.

Saya yakin dia tidak akan berhenti bicara dan masih akan memproduksi pernyataan-pernyataan lain yang lebih mencengangkan. Dalam memahami kecenderungan seperti itu, saya sepenuhnya mempercayai Einstein: ’’Ada dua hal yang tak punya batas. Yang pertama adalah alam semesta dan yang kedua adalah kebodohan manusia. Untuk yang pertama, saya masih kurang yakin.’’

Sikap paling bijaksana dalam berurusan dengan Menteri Tedjo, saya kira, adalah menunggu saja. Dia pasti bicara lagi. Bicara lagi. Bicara lagi. Sekiranya ada banyak orang seperti dia, kita bisa menyusun buku kumpulan kutipan dengan judul Kumpulan Kutipan Paling Njelehi di Dunia Fana Ini. Itu bisa menjadi buku laris jika Anda menerbitkannya dan Anda tergolong orang yang bernasib bagus.

Mungkin Menteri Tedjo adalah salah satu nasib buruk bagi negara ini, di luar beberapa nama yang lain. Dia hadir tanpa diduga-duga. Tetapi, nasib buruk memang sering muncul tanpa kita duga.

Beberapa waktu lalu, sebelum kabinet diumumkan, kita mendapati selebaran, semacam poling, yang dibikin untuk menjaring pendapat masyarakat tentang nama-nama yang layak mengisi posisi di kementerian-kementerian tertentu. Saya agak senang dengan hal itu. Saya berpikir bahwa poling semacam itu akan berguna sebagai masukan bagi presiden untuk memilih menteri-menterinya. Paling tidak, rakyat mulai dilibatkan kali pertama dalam urusan penyusunan kabinet.

Sekiranya benar suara rakyat dihormati dalam penyusunan kabinet, kita bisa mengatakan bahwa kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia, baik yang memilih pasangan tersebut atau yang tidak memilih mereka. Mungkin hasilnya tidak akan sempurna. Orang yang dipilih oleh orang banyak belum tentu juga bisa berfungsi secara baik sebagai menteri. Dalam sejumlah kesempatan, kita masing-masing memiliki pengalaman bahwa tidak selalu orang yang didukung oleh orang banyak bisa bekerja dengan baik.

Ternyata, kita tahu kemudian bahwa jajak pendapat itu hanya hura-hura kecil dari kalangan bawah. Ia tidak memiliki pengaruh signifikan dan politik berjalan seperti biasa, dengan tabiat seperti sebelum-sebelumnya. Sejumlah nama dalam kabinet menerbitkan kekecewaan. Orang lantas membicarakan ketidakmampuan Jokowi dalam menghadapi desakan para patron politik.

Lalu, muncul pertanyaan menggelitik tentang kabinet yang disusun oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu. Apakah di antara 200 juta orang di Indonesia ini tidak ada yang lebih baik untuk menduduki posisi-posisi itu? Untuk melahirkan the dream team yang bisa menjadikan negara ini lebih baik?

Dengan kenyataan kita hari ini, apa boleh buat, kita harus mengatakan tidak ada. Kemungkinan memilih beberapa puluh orang anggota kabinet sama sulitnya dengan memilih sebelas orang di lapangan sepak bola. Kita memiliki 200 juta orang dan tidak mampu memilih sebelas pemain, dengan beberapa cadangan, yang bisa menjadi pemenang dalam kompetisi.

Mesin politik kita, tampaknya, sama bobroknya dengan PSSI yang gagal menghasilkan pemain-pemain dengan kecakapan memadai untuk bertanding di level yang lebih tinggi. Ia hanya mampu menghasilkan orang-orang yang gigih dan militan untuk mewujudkan kepentingan mereka sendiri.

Saya sering kagum kepada orang-orang yang menyimpan niat jahat di kepala. Biasanya orang-orang yang menyimpan niat jahat lebih tekun dan lebih gigih dalam mewujudkan apa yang mereka inginkan. Mereka sanggup mempertahankan keinginan mereka dan pantang menyerah sampai apa yang mereka inginkan terwujud.

Sebaliknya, orang-orang baik tidak setekun dan segigih itu dalam mewujudkan apa yang mereka inginkan. Orang yang berniat baik, Anda tahu, sering mudah menyerah. Hal itu sedikit banyak tecermin dalam kelakar sehari-hari orang Jawa, ’’Sing waras ngalah.’’ Kalimat itu tentu mengandung niat baik untuk mempersingkat perkara atau agar kita tidak beradu jidat dengan orang-orang yang kurang waras. Jika Anda berurusan dengan orang yang kurang waras dan Anda meladeninya, itu berarti akan ada dua pihak yang kurang waras. Saya bayangkan seperti itulah niat mulia dari kalimat tersebut.

Akan tetapi, kelakar atau kalimat bijak itu sebetulnya menyimpan perkara besar. Jika yang waras terus mengalah, yang merajalela adalah yang kurang waras. Itu situasi yang bakal membikin kita sendiri putus asa pada akhirnya, yaitu ketika orang-orang yang kurang waras semakin banyak jumlahnya dan menguasai panggung.

Dunia politik kita sudah membuktikan betapa mengerikan efek dari mentalitas ’’sing waras ngalah’’. Sebab, wilayah itu pada akhirnya hanya dikuasai orang-orang yang kurang waras. Dan orang-orang yang kurang waras akan cenderung merekrut kader dari kalangan yang sama dengan mereka. Itu malapetaka. Orang-orang yang waras tidak akan tahan bergumul setiap hari dengan ketidakwarasan.

Itu situasi kita hari ini. Dan akan terus seperti itu sampai kita bisa memperbaiki rekrutmen politik kita. Itu masalah serius karena kepada merekalah institusi bernama negara ini kita pasrahkan segala urusannya.

Jadi, apa masalah sastra Indonesia? Para politikus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar